Hidayatullah.com — Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Prof Budi Santoso Purwokartiko baru-baru ini viral usai unggahan status di media sosialnya pada 27 April 2022 menjadi kontroversi. Tulisan Budi mendapat banyak tanggapan yang mengecam lantaran mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Budi, dalam unggahannya, secara gamblang menunjukkan sikap antipati terhadap mahasiswa yang mengucapkan kalimat dalam ajaran Islam, seperti insya Allah, barakallah, hingga qadarallah.
Budi bahkan tidak segan melabeli mahasiswa perempuan yang berjilbab. “Tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun,” demikian salah satu unggahan guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tersebut yang viral, dikutip Ahad (1/5/2022).
Atas tindakannya itu, Budi dilaporkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Direktur Utama LPDP Andin Hadiyanto. Pernyataan itu diungkapkan oleh Irvan Noviandana dalam surat terbuka yang dirilis pada Sabtu (30/4).
“Budi Santosa sebagai pihak yang mewawancarai peserta Program Dikti sebagaimana yang disampaikan pada tulisannya mengatakan kalimat yang bernuansa SARA bahwa ’12 mahasiswi yang diwawancarai tidak ada satupun yang menutup kepala ala manusia gurun sehingga otaknya benar-benar open minded,'” tulis pernyataan tersebut.
“Kami sebagai umat islam sangat tersinggung dengan perkataan yang disampaikan secara terbuka oleh Pewawancara LPDP karena merendahkan syariat agama kami yang mewajibkan para wanita untuk menutup kepala (berhijab) sebagai bentuk kepatuhan dalam agama,” lanjutnya.
Budi Santosa disebut sebagai salah satu pewawancara beasiswa program LPDP. Ia dituding atas ujaran bersifat SARA dan pelecehan secara verbal melalui akun Facebook miliknya.
Selain itu, surat terbuka tersebut menyatakan tulisan Budi Santosa sebagai bentuk pelecehan terhadap mahasiswi dan seluruh wanita di Indonesia.
Berikut isi tulisan Rektor Institut Teknologi Kalimantan Budi Santoso yang kontroversial:
Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5 persen sisi kanan populasi mahasiswa.
Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8, dan 3.9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5, bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan, dan asisten lab atau asisten dosen.
Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagaianya.
Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada dua cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea, Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.*