Hidayatullah.com– Jika diperhatikan secara lebih cermat, ada beberapa pengusaha kuliner, terutama warung-warung makan, termasuk pada kemasan produk pangan, yang mencantumkan klaim dengan pernyataan “100 persen halal”.
Jelas klaim dan pernyataan itu sangat berlebihan, bahkan bisa jadi keliru. Sebab, dalam ketentuan syariah, disebutkan: Al-halalalu bayyinun, wal-haraamu bayyinun”.
Yang halal itu merupakan ketetapan hukum yang jelas, dan sebaliknya, yang haram telah pula jelas.
Demikian dikemukakan Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Ir Muti Arintawati, Msi di Bogor, Jawa Barat, belum lama ini.
28 Tahun LPPOM MUI, Proses Sertifikasi Halalnya Diadopsi Banyak Negara Lain
“Klaim atau pernyataan dan persepsi semacam itu jelas keliru, dan karenanya tentu harus diluruskan,” ujarnya dalam kata pengantarnya pada pembukaan Pelatihan Sistem Jaminan Halal (SJH) di fasilitas pelatihan LPPOM MUI, Global Halal Center Bogor.
Sebabnya, jelas Muti, kalau suatu produk tercampur dengan yang haram, sekecil apapun, maka ia menjadi terkontaminasi dengan yang haram. Hukumnya pun menjadi haram pula.
“Jadi tidak bisa dinyatakan bahwa suatu produk itu 90 persen atau bahkan 99 persen halal karena bercampur atau sekadar tercampur dengan yang haram, walaupun sangat sedikit,” tuturnya menandaskan.
Contohnya Khamar dan Rhum
Muti menjelaskan panjang lebar. Sebagai contoh adalah penggunaan khamar dalam produk kue. Misalnya khamar sebagai rhum, salah satu bahan tambahan dalam membuat kue Black Forest.
Flavor (perisa) rhum memang merupakan ciri khas Black Forest. Ada aroma harum yang menusuk hidung dan rasa yang agak dingin.
Dalam kaidah syariah disebutkan, hukum asal mengonsumsi atau menggunakan khamar seperti bir, arak, dan rhum, haram hukumnya. Selain itu khamar juga dihukumi najis.
Dan karenanya, masih terangnya, membuat flavor dengan aroma khamar, hukumnya pun haram. Sekalipun tak ada kandungan khamar di dalamnya. Apalagi flavor rhum ternyata masih menggunakan khamar atau alkohol sebagai pelarut.
Contoh berikutnya yang diungkapkan adalah kue sus yang menggunakan fla, yang di antara bahannya memakai rhum. Jadi dalam tinjauan Fiqhiyyah, produk itu selain haram juga bernajis. Maka jelas harus dihindarkan.
“Oleh karena itu, maka jelas produk-produk konsumsi juga perlu diteliti dari sisi kehalalan dan kesuciannya. Agar umat Muslim yang menggunakannya dapat terhindar dari bahan najis yang diharamkan dalam agama,” tegas pimpinan LPPOM MUI ini.
Tidak Boleh Ada Intifa’
Ditambahkan, para ulama di Komisi Fatwa (KF) MUI telah menetapkan fatwa, tidak boleh ada Intifa’ atau pemanfaatan bahan dari khamar dalam proses produksi dan pengolahan produk pangan, obat-obatan, maupun kosmetika.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, jelasnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap minuman yang memabukkan itu haram, dan minuman yang dalam jumlah banyaknya memabukkan, maka segenggam darinya pun haram.” [HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi].
Maka proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI dan penetapan fatwa halal oleh KF MUI, terangnya, merupakan satu usaha untuk memastikan bahan-bahan dan proses yang dilakukan dalam produksi pangan, obat-obatan, dan kosmetika, benar-benar tidak mengandung unsur yang haram maupun bernajis menurut kaidah syariah.
Sedangkan bagi pihak perusahaan, landasan untuk menjamin produksi yang halal ini, menurutnya lagi, adalah dengan memahami dan mengimplementasikan SJH yang konsisten.
Upaya Menjamin Produksi Halal
Dengan demikian, imbuhnya, SJH dengan pelatihan yang diselenggarakan oleh LPPOM MUI merupakan bagian dari upaya menjamin produksi halal yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Pelatihan SJH ini merupakan agenda rutin LPPOM MUI dalam upaya sosialisasi maupun edukasi halal, terutama bagi para stakeholder.
Pelatihan tersebut dilangsungkan pada 24-25 Januari 2017, diikuti 40 peserta dari kalangan perusahaan yang telah mendapat Sertifikat Halal maupun yang akan mengajukan proses sertifikasi halal.
UU Jaminan Produk Halal Bukti Kepedulian Negara Melindungi Umat
Para peserta itu beragam latar-belakang posisi dan jabatan di perusahaan masing-masing; Quality Control, Quality Assurance, Supervisor, Manajer, bahkan juga dari tingkat manajemen.
Selain dari perusahaan yang menghasilkan produk konsumsi, pelatihan juga diikuti oleh beberapa utusan konsultan industri terkait pangan dan lain-lain.
Materi pelatihan diberikan dalam bentuk teori maupun praktik oleh para tenaga ahli LPPOM MUI yang telah berpengalaman. Demikian lansir halalmui.org.*