Hidayatullah.com- Indonesia Halal Watch (IHW) menilai bahwa Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) berpotensi menghilangkan peran ulama dalam proses sertifikasi halal.
Oleh karena itu,Ā Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah mengkritik RUU Cilaka yang memang menuai banyak protes dan penolakan tersebut.
Ikhsan menjelaskan, pada pasal 1 angka 10 Omnibus Law, berpotensi terjadi pengambilalihan fatwa produk dari ulama kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama RI.
Menurutnya, pada pasal tersebut berbunyi, “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal.”
“Maka kami berpandangan bahwa hukum agama telah dikooptasi oleh hukum negara. Sejak kapan BPJPH diberikan hak oleh negara menjadi komisi fatwa? Bukankah itu ranah dan kewenangan ulama?” ungkap Ikhsan kepada awak media di Jakarta, Senin dikutip dari Antara (17/02/2020).
Baca:Ā DPR: Upaya Menghapus Kewajiban Sertifikasi Halal Harus Ditolak
Sedangkan dalam UU 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pasal 1 angka 10 menyebutkan, “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.”
IHW menyatakan bahwa “Ketentuan UU yang sudah diterima dan berlaku di masyarakat harusnya diperkuat lagi oleh negara bukan dicerabut.”
Kalau RUU Cilaka mengesahkan ketentuan pasal 1 angka 10, menurutnya, maka sama halnya BPJPH, Kemenag, dan negara mendelegitimasi peran-peran lembaga keagamaan khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Baca:Ā Anggota Komisi VI Menolak Penghapusan Sertifikasi Halal
MUI, kata dia, adalah tempat bernaungnya ormas Islam, berhimpunnya ulama, zuama (pimpinan organisasi Islam) dan cendekiawan Muslim, dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar, dan 59 ormas Islam lainnya.
“Justru dalam rangka menenteramkan konsumen dan umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, maka ketentuan kehalalan produk harus berdasarkan ketentuan fatwa MUI dan bukan dari yang lain,” ujar Ikhsan.
Ia menjelaskan, terminologi halal dan haram adalah hukum agama yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kompetensi keulamaan. Fatwa produk halal, harus ditetapkan oleh MUI, bukannya malah diserahkan kepada ormas-ormas Islam apalagi oleh orang-perseorangan.
Ikhsan menyatakan, guna menghindari perbedaan fatwa, sudah tepat bahwa penetapan fatwa atas produk halal dilakukan oleh MUI. Kalau penetapan fatwa diberikan kepada negara, segelintir ormas atau perseorangan justru bisa memecah belah umat Islam itu sendiri.*