Hidayatullah.com– Penggusuran warga Kampung Pulo ke rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Jatinegara Barat, Jakarta Timur, dua tahun silam, nyatanya tak menjamin kehidupan mereka kini lebih baik.
Di Rusunawa, masih ada warga miskin yang menjerit lantaran tak mampu membayar sewa alias menunggak. Salah satunya Iwan Setiawan (42).
Ia menyampaikan, tunggakannya sudah 6-7 bulan. Itu senilai Rp 5.754.000. “Terus terang aje saya enggak mampu bayar,” curhat pedagang soto ini saat ditemui hidayatullah.com di tempat jualannya yang berada di dalam Rusunawa, kemarin.
Usaha jualan soto Iwan pun tak lantas mampu melunasi tunggakannya.
“Biar saya usaha dagang, dagang cukup hanya buat makan doang. Pendapatan aje misalnya Rp 200 ribu. Uangnya kembali lagi buat muter modal dan makan. Dagang juga enggak bisa mengharapkan ramai setiap harinya,” tuturnya minta dimengerti. Untuk diketahui saja, harga sewa Rusunawa ini sebesar Rp 300.000 (belum termasuk biaya air dan listrik) per bulan.
Karena tunggakannya itu, Iwan dipanggil oleh pihak unit pengelola Rusunawa hari ini, Rabu (09/08/2017), untuk menandatangani surat perjanjian di atas materai 6000.
Sarkim menyebutkan, sebanyak 482 orang yang menunggak di Rusunawa Jatinegara Barat. Tunggakannya berkisar 3-15 bulan. “Nilainya 1 miliar 89 juta rupiah,” kata dia.
Untuk mengatasi masalah ekonomi penghuninya, Sarkim menganggap pemerintah sudah memfasilitasi dengan puskesmas yang biayanya terjangkau, gratis naik bus Transjakarta, KJP, sembako murah, serta pemberdayaan-pemberdayaan seperti service sepeda motor, service AC, tata boga, tata busana, dan fasilitas lapak pedagang.
“Asal mau,” kata dia. Masalahnya, menurut Sarkim, sebagian penghuni tidak mau ikut pemberdayaan tersebut lantaran hasilnya lama.
Meski begitu, Iwan, penghuni Rusunawa, tampak tetap merasa heran tinggal di tempat ini. Sebab ia seperti dipaksa berhutang bayar sewa.
Padahal, ujarnya, bukan ia yang mencari dan memilih Rusunawa sebagai tempat tinggalnya, melainkan pemerintahlah, dalam hal ini tentu Pemprov DKI Jakarta, yang menempatkannya di sana.
“Saya di Kampung Pulo enggak mikirin utang, tapi pindah di sini mikirin utang,” keluhnya.
Lain lagi kisah Ridwan. Ia justru bersyukur dipindahkan ke Rusunawa. Sebab ia mengaku tempatnya lebih bersih, aman, dan nyaman. “Lokasi di sini lebih layak,” ungkapnya.
Soal biaya sewa, ayah satu anak ini mengaku tidak ada masalah. Wajar saja, pendapatan per bulannya Rp 4-5 juta rupiah per bulan. Ketimbang mengontrak di tempat lain yang bisa Rp 500-700 ribu tiap bulan, kata dia, mending di situ.
“Jadi Rp 300 (ribu), terjangkau lah,” ujar pria yang bekerja di bidang marketing ini. Tapi ia bilang tidak bisa pukul rata semua penghuni bisa bayar sewa.
Baca: Komnas HAM: Penyediaan Rusun Korban Penggusuran Manipulatif
Bukan Cuma Soal Duit
Itu Ridwan. Bagaimana dengan Suheli (60) yang menganggur? Kalau Iwan yang tadi berdagang soto saja masih berhutang pembayaran sewa Rusunawa, maka sudah bisa ditebak jawabannya.
Ya, jangankan untuk sewa, kata Suheli, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah pusing. Ayah lima anak ini mengaku, biaya sewa rumahnya selama ini ditanggung oleh salah seorang anaknya yang bekerja sebagai pelayan toko. Tapi saat ini, kantong anaknya lagi kering alias bokek dan harus membayar sewa rusunawa yang ditempatinya sendiri. Sehingga sang anak tak bisa membantu ayahnya. Alhasil, Suheli menunggak sampai Rp 5.570.000-an.
“Kok saya makin tua makin nyusahin anak,” ucapnya menyesal saat ditemui hidayatullah.com.
Hari itu, Selasa (08/08/2017), Suheli baru saja dipanggil oleh pihak pengelola Rusunawa Jatinegara Barat untuk menandatangani surat perjanjian.
Kata dia, kalau sampai tidak lunas, akan susah untuk memperpanjang sewa lagi. “Perpanjang suseh, emang pengen kita? Terus terang aje emang pengen kita! Bukan, kan. Di sini, kan, saya bilang enggak mimpi-mimpi acan. Kagak! Karena saya dipaksa!” ucapnya kesal.
Sarnah (50) yang duduk di sampingnya ikut nyahut, “Dulu (rumah-rumah) kita dirubuhin, kan, dipaksa suruh pindah. Lagi di Kampung Pulo saya kagak punya utang. Di sini (Rusunawa) punya utang banyak banget.”
Diketahui, penggusuran permukiman warga Kampung Pulo dilakukan Pemprov DKI Jakarta saat masih di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Baca: Sandyawan Ungkap ‘Pola’ Ahok ‘Muluskan’ Penggusuran di Jakarta
Tak cuma masalah duit rupanya, Suheli juga mengungkapkan ikatan kekeluargaan di Rusunawa terasa kendor kalau dibandingkan dengan Kampung Pulo. Sudah tinggal dua tahun pun, tetangga satu temboknya tidak kenal dia. Untuk mengajak tahlilan penghuni Rusunawa pun, kata dia susah.
“Enggak kaya di Kampung Pulo, asal nganga aja, pada dateng.” Rina (48) juga turut merasakan tinggal di Rusunawa seperti hidup sendiri-sendiri.
Kalau begini, apakah ke depan pemerintah, khususnya Pemprov DKI Jakarta, masih berkukuh pakai cara gusur rumah warganya lagi ke rusunawa?* Andi, Zulkarnain