Hidayatullah.com– Rilis daftar 200 muballigh oleh Kementerian Agama dikritik Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal.
Menurutnya, rilis itu sebagai bentuk respons reaktif dan tidak memiliki basis argumentasi dan metodologi yang memadai serta melalui proses yang tidak transparan.
Baca: Ketum PP Muhammadiyah Kritik ‘200 Muballigh Rekomendasi Kemenag’
Akibatnya, kata dia, tidak dapat dihindari munculnya kesan publik bahwa rilis tersebut adalah ekspresi ‘low politics’ Kemenag yang ingin mengekslusi ulama atau muballigh atau dai yang kritis dan tidak kompromistik terhadap pemerintah.
Ia memandang, munculnya rilis tersebut sulit dipisahkan dari politik keagamaan penguasa -disadari atau tidak.
Baca: Fahmi Salim Minta Namanya Dicabut dari 200 Muballigh Rekomendasi Kemenag
Juga dinilai telah meninggalkan kesan kuat pada publik, bahwa pemerintah menjadi semacam pemegang otoritas dan narasi kebenaran yang harus ditelan mentah oleh publik karena tidak ada ruang untuk mempertanyakannya, apalagi mengeliminasinya, meskipun tuntutan publik begitu kuat.
“Lebih buruk lagi, pemerintah telah membuat garis pembatas yang tegas antara ‘bersama pemerintah’ atau ‘tidak bersama pemerintah’, yang berakibat pada munculnya suasana tidak nyaman, bahkan saling tuduh dan curiga antar sesama muballigh (distrust). Inilah yang dicurigai publik sebagai politik belah bambu di ranah keagamaan,” ujarnya kepada hidayatullah.com, Senin (21/05/2018).
Baca: MUI: Rekomendasi Kemenag soal 200 Muballigh Tak Harus Diikuti
Jika visi dan pandangan kebangsaan para ulama atau muballigh atau dai dipandang tidak atau belum memadai sesusai standar Kemenag, sambungnya, maka Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah siap bekerja sama dengan Kemenag untuk menyelenggarakan semacam rembuk muballigh nasional tentang visi kebangsaan ini.
“Dalam konteks ini kami menawarkan ideologi kebangsaan Muhammadiyah: ‘Negara Pancasila sebagai Dâr al- ‘Ahdi wa al-Syahâdah‘. Bahwa negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dâr al-ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dâr al-syahâdah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dâr al-salâm),” pungkasnya.
Menag Lukman Hakim Saifuddin membantah jika rilis daftar 200 nama muballigh untuk memilah-milah mana penceramah yang boleh berceramah dan mana yang tidak boleh berceramah.
“Bukan itu tujuannya. Ini semua dalam rangka memenuhi harapan dan permintaan dari masyarakat,” ujar Menag Lukman usai membuka gelaran Syiar Anak Negeri atau lomba nasyid kalangan milineal di Jakarta, kemarin (19/05/2018).
Menurut Menag, rilis daftar nama muballigh itu dalam rangka menjawab pertanyaan masyarakat terkait muballigh yang bisa berceramah, baik di mushalla, masjid, dan tempat pengajian lainnya.
“Artinya di kemudian hari akan muncul nama-nama sesuai dengan masukan yang kita terima dari tokoh-tokoh ulama dan ormas Islam. Sehingga mereka bisa kita manfaatkan ilmunya. Ini daftar yang sangat dinamis dan akan senantiasa mengalami updating dan perubahan penambahan,” ujar Menag.* Andi