Hidayatullah.com– Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr Haedar Nashir, mengatakan, saat ini ada tantangan sosial yang sangat kompleks, dimana masyarakat hidup sangat sarat dengan teknologi. Masyarakat banyak diatur oleh sebuah teknologi digital yang bukan hanya mengubah cara berpikir, tetapi juga mengubah perilaku. Kondisi seperti ini riil ada dan tidak bisa dihindari.
Atas dasar itulah, maka Pengkajian Ramadhan Muhammadiyah tahun 2018 ini mengambil tema “Keadaban Digital: Dakwah Pencerahan di Zaman Milenial”. Tema ini diangkat bukan hanya untuk gaya-gayaan, ini adalah masalah bersama yang harus ditangani bersama.
“Generasi milenial itu sebenarnya banyak. Zaman ini kita hidup di tengah perkembangan teknologi digital. Masyarakatnya sangat menguasai teknologi digital. Maka cara berpikirnya masyarakat milenial itu berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka tidak lagi menggunakan hal-hal yang manual,” ujarnya dalam acara Pengkajian Ramadhan 2018 di Kampus FKIP UHAMKA, Jl Merdeka Pasar Rebo, Jakarta Timur, Ahad (27/05/2018) dalam siaran persnya diterima hidayatullah.com, Senin (28/05/2018).
Menurut Haedar, masyarakat seperti itu juga biasanya melompati zamannya. Mereka kritis pada berbagai hal, termasuk pada wilayah agama.
Baca: Jawab Tantangan Arus Teknologi, PP Pemuda Muhammadiyah Luncurkan AppsMu
Mereka juga yang memiliki orientasi ilmiah sangat detail, pada cabang-cabang yang mereka ingin memasukinya. Seperti pada hal-hal yang mereka minati. Mereka tidak suka pada hal-hal yang bersifat absratk. Selain itu, masyarakat tersebut gandrung dengan inovasi.
Bagaimana mendekati generasi ini dengan pendekatan keagamaan. ini adalah tantangan buat ormas Islam termasuk Muhammadiyah. Sebab generasi ini dalam konteks mereka, berada dalam ruang sosial dalam arti yang luas, seperti ekonomi poltik dan budaya, dengan tingkat mobilisasi yang sangat tinggi.
Sebutnya, yang memiliki telepon genggam di dunia sebanyak 5 miliar orang. Di Indonesia yang menggunakan internet sebanyak 143 juta jiwa.
Ia pun mengungkapkan beberapa persoalan ketika seseorang tergantung pada teknologi. Pertama, nalarnya akan instrumental. “Mereka akan berpikir teknis dan sudah terprogram. Manusia di zaman teknologi, pola pikirnya instrumental,” jelasnya.
Kedua, alam berpikirnya cenderung hedonis. Menyenangi hal-hal yang bersifat buatan. Melakukan hal-hal yang tidak biasa.
Ketiga, masyarakat yang sangat berpikir rasional.
Baca: Ketum NU-Muhammadiyah Jalin Silaturahim “Menuju Indonesia Berkeadilan”
“Akibatnya, ada sesuatu yang hilang. Masyarakat seperti ini akan mengalami chaos (mengalami disorientasi diri). Terkadang masyarakat seperti ini mudah panik, bisa gampang marah. Kemudian masyarakat ini juga mengalami kegersangan ruhani. Karena pengajian juga banyak cenderung keras dan selalu menyalah-nyalahkan orang, maka masyarakat akhirnya mencari romantisme. Orang itu akan mencari oase dalam dirinya yang sempat hilang, kemudian memenuhi kebutuhan dan kehausan dirinya,” ungkapnya.
Masyarakat seperti ini, mereka berada di posisi menengah ke atas. Tetapi karena gersang, tidak menemukan kepuasan, maka dia akan mengalami kegelisahan. Hidupnya penuh konflik, pertarungan dan kegersangan, maka dia akan mencari dunia lain yang akan memuaskan dirinya. “Maka dalam konteks keagamaan ada yang merindukan surga,” imbuhnya.
Maka, lanjutnya, lahirlah orang-orang yang mencari kepuasan spiritual. Bahkan ada juga melampaui kebenaran agamanya seperti mengaku nabi, atau mencari ratu adil. Kondisi chaos kemudian merindukan keindahan yang sifatnya artifisial.
“Kemudian ada lagi pihak lain yang kemudian menginginkan cepat masuk syurga. Maka dalam kondisi itu mereka lari pada ajaran-ajaran radikal dan menjadi teroris. Jadi apa yang terjadi di Surabaya atau tempat lain, dilakukan oleh orang yang memiliki mimpi-mimpi milenial,” sebutnya.
Baca: Ketua Umum PP Muhammadiyah: Remaja Indonesia Kini Menjadi Anak Android
Kemudian, di dunia maya, relasi sosial itu bersifat maya, tetapi sangat keras. Di sana ada perang opini, perang ujaran, ada hoax. Maka sebenarnya manusia tidak boleh berlebihan, karena beberapa hal: Pertama, manusia tidak boleh mengedepankan egonya sendiri secara berlebihan. Maka dampaknya adalah ego itu menguasai diri, kemudian kita mengagungkan dirinya karena nafsu. Kedua, orang yang memujakan diri pada syahwat.
“Maka dalam kondisi seperti ini Muhammadiyah harus mengedepankan akhlak yang baik dan akhlak yang utama. Muhammadiyah harus mendidik keadaban, ini di atas tarbiyah,” sebutnya.*