Hidayatullah.com– Debat pertama capres-cawapres sudah dihelat malam kemarin di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta. Salah satu topik yang dibahas dalam debat itu adalah hukum.
Pakar Hukum Pidana Univeresitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, memandang suasana psikilogis kedua calon berbeda.
Prabowo-Sandi, kata dia, berusaha untuk bersikap santai dan gembira. Namun Jokowi Ma’ruf terlihat tegang dan emosional.
Ini Fickar lihat dari gestur jawaban defensif dan pertanyaan ofensif dari Jokowi-Ma’ruf ke Prabowo-Sandi tentang beberapa realitas penegakan hukum.
Baca: Kader Parpol Jadi Penegak Hukum dinilai Sangat Mengkhawatirkan
Fickar menilai, pendekatan kedua calon dalam mengatasi hukum berbeda.
Prabowo-Sandi, kata Fickar, lebih mendekati persoalan dengan pendekatan kesejahteraan dan fungsi dalam menyelesaikan masalah kerumitan hukum. Sementara pendekatan Jokowi-Ma’ruf untuk memecahkan masalah lebih secara normatif saja.
“Meskipun dari keduanya tidak ada hal baru sebagai terobosan merespons permasalahan,” ujarnya kepada hidayatullah.com pada Jumat (18/01/2019).
Prabowo-Sandi, lanjut Fickar, selain menekankan pada kesejahteraan, juga peran kepemimpinan, sehingga menyebutnya presiden sebagai chief of law envorcement (CLE). Yakni presiden harus hadir jika penegakan hukum tidak berjalan dengan baik. Sementara paslon Jokowi-Ma’ruf menekankan pada peranan sistem hukum yang ada, terlepas dari kelemahannya.
Baca: Fahri Hamzah Kritis Keras KPU soal Debat Pilpres Perdana
“Dari sini terlihat, bahwa di satu sisi PS (Prabowo-Sandi) kurang mengelaborasi CLE. Sehingga terkesan intervensi terhadap hukum. Padahal yang dimaksudkan adalah presiden hadir ketika ada kemacetan hukum. Bukan untuk mendikte begini atau begitu.
Sementara JM (Jokowi Ma’ruf) terlalu percaya pada sistem. Padahal struktur hukum profesionalitas aparat penegak hukum masih seringkali dipengaruhi intervensi kepentingan termasuk uang,” kritiknya.
Lanjut soal tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan. Prabowo Sandi, kata dia, mendekatinya dengan optimalisasi lambaga yang sudah ada seperti BPHN. Tetapi Jokowi-Ma’ruf justru mendekatinya dengan membentuk lembaga baru karena nampaknya lembaga yang ada dianggap tidak berfungsi dengan baik.
Kemudian soal strategi problem ketegasan hukum vs HAM. Jokowi Ma’ruf, kata Fickar, meresponsnya dengan pernyataan bahwa penegakan hukum tidak bertentangan dengan HAM. Sementara Prabowo-Sandi meresponsnya dengan langkah pragmatis, yakni memecat aparat yang melakukan penyimpangan HAM.
“Dari jawaban-jawaban itu nampak perdebatan seperti antar calon presiden baru. Bukan petahana dengan calon baru. Karena petahana kurang menjelaskan hal-hal apa saja yang telah dilakukan selama 4 tahun memerintah,” ujarnya.
Secara keseluruhan, menurut Fickar, debat sudah cukup baik menggambarkan kapasitas dan kapabilitas calon-calon pemimpin Indonesia dengan kelebihan dan kekurangan (plus-minus) masing-masing.
“Kedua solusi bisa dijalankan tergantung karakter kepemimpinan. Tetapi lebih realistis yang bergantung pada sistem yang ada, walaupun perubahannya akan lambat,” tutupnya.* Andi