Hidayatullah.com– Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Prof M Din Syamsuddin kembali angkat suara menyikapi kondisi terkini krisis Papua yang masih memburuk.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menyampaikan kepada kepada semua pihak, khususnya pemangku amanat baik pemerintah maupun wakil rakyat, agar segera menanggulangi keadaan dengan penuh kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab.
“Hindari perasaan benar sendiri bahwa negara boleh dan bisa berbuat apa saja, baik “membunuh rakyatnya” atau “membiarkan rakyatnya dibunuh oleh sesama dan negara tidak bisa berbuat apa-apa”,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (28/09/2019) dalam pernyataannya disampaikan kepada hidayatullah.com oleh stafnya.
Din mengatakan bahwa semua orang yang memiliki hati nurani, sangat sedih mengetahui terjadinya tindak kekerasan di Wamena yang menimbulkan puluhan korban tewas mengenaskan dan ratusan lain mengalami luka-luka berat dan ringan.
Baca: Korban Tewas di Papua Terus Berjatuhan, Warga Waspada & Ketakutan
Ia menilai, kejadian tersebut tidak terlepas dari peristiwa di Papua sejak beberapa waktu lalu berupa aksi unjuk rasa di Sorong, Manokwari, Jayapura, dan tempat-tempat lain bahkan Ibu Kota Jakarta yang memprotes ketidakadilan dan bahkan menuntut kemerdekaan.
Kata Din, seyogianya gerakan protes itu sudah bisa diatasi dan diantisipasi, dan terutama faktor picunya di Surabaya, Jawa Timur, berupa penghinaan terhadap orang Papua sudah harus cepat ditindak tegas.
“Tapi, kita menyesalkan respons aparat keamanan dan penegakan hukum sangat lamban dan tidak adil,” ungkapnya.
Kalau hal demikian berlanjut, maka, lanjut Din, akan dapat disimpulkan bahwa negara tidak hadir membela rakyatnya. “Negara gagal menjalankan amanat konstitusi yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara berperilaku tidak adil dalam menghadapi aksi unjuk rasa yang sebenarnya absah di alam demokrasi. Pemerintah terjebak ke dalam sikap otoriter dan represif yang hanya akan mengundang perlawanan rakyat yang tidak semestinya,” imbuhnya.