Hidayatullah.com — Ijtima Ulama ke-7 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah berakhir. Forum para ulama itu menyepakati 12 bahasan penting mengenai masalah keummatan aktual. Diantara bahasan itu yakni Dlawabit dan Kriteria Penodaan Agama.
MUI menjelaskan kriteria dan batasan tindakan yang termasuk dalam kategori perbuatan penodaan dan penistaan agama Islam adalah perbuatan menghina, menghujat, melecehkan dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Kitab Suci al-Qur’an, Ibadah Mahdlah seperti Shalat, Puasa, Zakat dan Haji, Sahabat Rasulullah SAW, Simbol-simbol dan atau syiar agama yang disakralkan seperti Ka’bah, Masjid, dan adzan.
Termasuk dalam tindakan Penodaan Agama sebagaimana disebut di atas adalah perbuatan yang dilakukan namun tak terbatas dalam bentuk Pembuatan gambar, poster, karikatur, dan sejenisnya. Pembuatan konten dalam bentuk pernyataan, ujaran kebencian, dan video yang dipublish ke publik melalui media cetak, media sosial, media elektronik dan media publik lainnya. Pernyataan dan ucapan di muka umum dan media.
“Menghina, menghujat, melecehkan dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan agama, keyakinan dan simbol-simbol dan/atau syiar agama yang disakralkan oleh agama hukumnya Haram,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh saat membacakan rekomendasi Ijtima Ulama, Kamis (11/11/2021) di Hotel Sultan Jakarta Pusat.
Berikutnya, terhadap perbuatan menghina, menghujat, melecehkan dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan agama, keyakinan dan simbol dan/atau syiar agama yang disakralkan agama harus dilakukan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu MUI juga memberikan rekomendasi soal Dlawabit dan Kriteria Penodaan Agama. Pertama, Untuk menciptakan kerukunan umat beragama maka harus dilakukan komunikasi, dialog dan upaya-upaya yang dapat mewujudkan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.
Selanjutnya, harus ada peraturan perundangan-undangan yang kuat dan tegas untuk menciptakan kerukunan umat beragama dan memberi sanksi tegas bagi pelaku/organisasi yang melakukan penodaan/penistaan agama yang dapat menimbulkan konflik antar dan intern umat beragama,” terangnya.
Dan terakhir, negara harus bertindak tegas dan adil atas segala bentuk tindak pelanggaran yang mengganggu keharmonisan dan kerukunan beragama, sampai kepada akar masalah atau yang menjadi penyebab konflik berdasarkan UU, seperti pelanggaran terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama.*