EUFORIA kampanye menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) seringkali membuat para calon legislatif (Caleg) larut. Mengobral kata-kata hinga uang. Tak sedikit yang menjurus pada hal-hal yang dilarang Allah Subhanahu Wata’ala. Menggunakan jasa duku, tukang ramal hingga amalan-amalan yang dilarang agama. Bahkan tak sedikit pula Caleg yang gagal masuk parlemen menjadi stress dan ujungnya gila.
Pada Pemilu yang lalu, ada saja kita jumpai para Caleg gagal terkena stres, depresi sampai melakukan percobaan bunuh diri.
Pertengahan bulan Maret 2014, hidayatullah.com mencoba membahas fenomena tersebut bersama psikiater kondang, Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari. Di usianya yang ke 74 tahun, Ia masih terlihat segar. Pikirannya tajam, setajam kritiknya pada para Caleg dan sistem politik negeri ini.
Guru Besar Fakultas Kedokteran UI itu mengakui banyak didatangi para Caleg untuk konsultasi. Ketika Hidayatullah.com bertanya, apakah dibalik konsultasi itu, secara resmi Ia juga menjadi pendukung salah satu partai? Mantan Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Pusat, tahun 1999 itu dengan cepat menyanggah: “Meskipun saya diminta, tapi nggak, karena saya tahu mereka-seperti apa-.”
Inilah wawancara kami dengan penulis berbagai buku analisis kejiwaan itu di lokasi prakteknya: Jl. Tebet Barat I, Jakarta.
Bagaimana tanggapan Prof. Dadang melihat kejiwaan para Caleg sekarang?
Individu masing-masing orang berbeda. Ada yang lemah dan ada yang kuat fisiknya. Kejiwaannya juga bermacam-macam. Dalam menghadapi situasi sosial, reaksinya juga bermacam-macam. Dalam situasi tertentu akan bereaksi, apakah tetap sehat atau sakit. Saat ini, individu itu sedang dalam kondisi Pemilu, jadi Caleg. Tentu bayangannya menggebu-gebu. Kadang-kadang yang Nyaleg, orang biasa saja (dalam hal finansial). Tentu dia sudah mengkhayal dengan harapan tinggi.
Sekarang kampanye lupa semua karena masih dalam fase euforia. Tapi kalau ternyata tidak memperoleh yang diharapakan, di sinilah kecewa. Sudah keluar uang banyak disamping malu sama tetangga karena sudah nyalonin dari partai ini-itu.
Bagaimana reaksinya? Kalau orang beriman, ya sudah, belum takdirnya. Tapi yang kecewa, tidak menerima. Apalagi kalau terjadi kecurangan. Sebab panitia-Pemilu- tidak semuanya jujur. Wah, saya dicurangi, saya ditipu. Kecewa, sakit, stress, sampai pada bunuh diri. Tapi kalau yang lolos Pemilu, biasanya nggak sampai begitu.
Apa pandangan Anda ulah aneh-aneh para Caleg dilihat dalam ilmu kejiwaan?
Mereka serakah. Nabi bersabda, nanti di kemudian hari ada di antara umatku yang menjual ayat-ayat Allah untuk kepentingannya sendiri. Jadi, kita ini terlalu keduniaan. Semua untuk dunia.
Kan sekarang ini banyak yang munafik. Nah, munafik ini masuk ke SQ (Spiritual Quotient). Islam, tapi korupsi. Shalat, tapi korupsi. Itu kan munafik juga. Sudah banyak diingatkan jangan korupsi, eh malah korupsi juga. Apa itu bukan munafik?
Adakah Caleg yang konsultasi sama Profesor?
Ada.
Dari Partai apa?
Macam-macam partai. Semua yang datang ke sini saya kasih buku saya ini: “IQ, EQ, CQ, & SQ, Kriteria Pemimpin Berkualitas.” Saya bilang, mari berdoa. Sudah keluar uang, dijaga betul nawaitunya (niatnya).
Adakah sesungguhnya mereka adalah orang yang galau? Dan sampai tingkat mana kegalauannya?
Galau dalam arti belum manifest sampai sakit jiwa. Mereka pikir, wah ini ada yang nggak bener, nih, pingin berubah. Tapi biasanya kalau sudah duduk di legislative dia berubah lagi.
Seputar apa keluhan dari anggota dewan yang pernah datang pada Profesor?
Ya seputar stress. Mereka mengalami kecemasan, depresi. Ini kan harus beradaptasi. Saya mengusulkan, semua Caleg yang sudah diterima sebelum sidang, dilakukan pembekalan terlebih dulu.
Pembekalan pengetahuan semua bidang. Pakar hukum bicara, pakar kesehatan bicara, pakar ekonomi bicara. Semua pakar berbicara. Beri waktu dua minggu buat para Caleg untuk dibekali. Baru setelah itu mereka masuk ke komisi-komisi. Lha saat ini kan nggak. Yang ada sekarang kacau balau karena tidak ada pembekalan.
Coba, membolos terus-menerus didiamkan saja. Ini bukan su’udzon, tapi pimpinannya harus di-recall. Sampai akhir jabatan, anak buahnya kayak gitu. Kalau nggak ada aturan, bikin aturan dong! Memalukan.
Mereka kan korupsi waktu. Mereka juga bikin usaha di luar, bisnis segala macam. Nah, prasangka itu tidak bisa dihilangkan. Di dalam sidang bikin anggaran ini-itu, ujung-ujungnya terbongkar juga di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika Caleg gagal maju dan ujungnya stress, adakah dampak bagi bangsa dan negara?
Demokrasi kita ini salah sebetulnya. Orang kalau mau jadi Caleg harus ada syarat-syaratnya. Ada tes kepribadian. Yang sehat badan dan sehat moral juga. Tapi, 90 persen bisa dikatakan Caleg sekarang ini adalah Caleg-caleg lama. Bagaimana perilaku Caleg lama? Caleg lama banyak bolos. Sidang-sidangnya kosong. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) menjadi DPP (Dewan Perwakilan Partai). Semua mengakui itu. Jadi, mereka harus didiskualifikasi. Yang dulu bolos-bolos, dicoret, nggak boleh naik lagi.
Bukannya Caleg baru-pun juga seperti itu?
Makanya, dibuat baru sekalian. Syaratnya, untuk menjadi Caleg harus melalui tes. Ini kan nggak. Siapa yang punya uang bisa nyaleg. Padahal seharusnya menjadi anggota dewan itu nggak main-main. Masak ada partai yang mengambil Caleg artis majalah pria dewasa. Kita sudah tahu siapa. Nantinya jadi banyak selingkuhan di DPR dan kenyataannya demikian. Yang lalu-lalu banyak selingkuhan. Lalu kerjanya apa dong?
Nah, bagaiamana supaya mereka bisa sembuh dari penyakit moral?
Nabi bersabda, “Kamu tidak akan berubah kalau kamu sendiri tidak mau berubah. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum itu sendiri tidak mau merubahnya.”
Jika sudah tahu sistemnya seperti itu, dia (Caleg) harus perhitungkan itu. Tapi kebanyakan nggak memperhitungkan kearah sana.*