Hidayatullah.com | NAMA Novel Baswedan mencuat lagi. Seiring dibacakannya tuntutan hukuman pelaku penganiayaan terhadap dirinya.
Yang membuat publik terkejut, tuntutannya demikian ringan. Hanya 1 tahun. Sementara Novel, matanya mengalami cacat permanen. Publik berharap tuntutannya lebih berat, karena pelakukan oknum polisi yang tahu hokum dan mestinya melindungi rakyat.
Novel adalah penyelidik senior KPK. Banyak kasus besar ditanganinya. Termasuk kasus yang melibatkan orang besar di kepolisian.
Banyak tekanan dan ancaman diterima Novel. Mulai dari teror hingga usaha pembunuhan. Itu semua tak pernah membuat dia takut, apalgi mundur.
“Dari sini saya jadi paham, sesuatu yang nilainya besar, tantangannya juga besar. Saya juga menyadari, jika kita memperjuangkan kebenaran, pasti kita dimusuhi. Saya semakin paham saat berkaca kepada Rasulullah ﷺ, juga para Sahabat dan ulama. Beliau-beliau ini memperjuangkan kebenaran, dan karena itu dimusuhi banyak orang,” kata Novel, dikutip dari Majalah Suara Hidayatullah.
Mengapa Novel demikian berani dan kukuh? Inilah jawabannya.
Bagaimana ceritanya sehingga Anda bisa menjadi polisi?
Memang dulu banyak yang menentang saya masuk polisi. Bahkan seorang sahabat sampai mengancam akan memutuskan persahabatan kalau saya masuk polisi. Wah, gila!
Keluarga juga bertanya-tanya, “Kok polisi?” Tapi ibu saya mendukung.
Saya bilang ke teman itu, “Saya akan membuat perubahan. Jika tidak mampu, saya akan keluar.”
Alhamdulillah, janji itu saya tepati. Saya tidak mau mengambil jalan buruk untuk diri saya.. Saya tidak bisa diam kalau ada kezhaliman di sekitar saya.
Ketika di KPK, saya pernah menangani kasus salah satu petinggi Polri. Saya ditekan agar tidak menjangkau bos-bos. Saya bilang, tidak bisa. Saya berdasar fakta saja. Kalau fakta begini, ya begini.
Akhirnya, daripada terus diintervensi dan diancam, sudahlah saya mundur saja. Bagi saya itu mudah saja. Soal rezeki, Allah yang atur.
Anda tidak takut risiko?
Namanya risiko tentu ada. Namun Allah berfirman, “Sekali-kali tidak akan menimpa melainkan apa yang telah ditetapkan Allah.” (at-Taubah [9]: 51).
Ujian-ujian itu justru menguntungkan saya karena akan menjadi pengalaman yang memperkaya ruhani. Pengalaman seperti itu sangat mahal.
Pertanyaannya, apa kita takut dengan risiko-risiko itu? Padahal Allah sudah menjamin. Masak kita tidak percaya pada jaminan Allah?
Kalau benar-benar terjadi, bagaimana?
Yakinlah bahwa Allah sangat sayang kepada hamba-Nya yang berjuang di jalan kebenaran. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan, sayangnya Allah lebih 70 kali sayangnya ibu kepada anak kandungnya. Masak iya Allah yang begitu sayang akan memberi keburukan kepada hamba-Nya yang memperjuangkan kebenaran? Tentu jawabannya tidak mungkin.
Seringkali kita berpikir hanya menggunakan logika dan parameter dunia. Jika perspektifnya salah, itu yang membuat kita takut betulan. Takut membela kepentingan orang banyak. Takut membela agama. Takut kehilangan pekerjaan. Seolah rezeki bukan dari Allah, tapi dari gaji. Padahal Allah itu penentu atas segalanya.
Begitu pula insiden yang membuat mata Anda cacat?
Ini bukan keburukan. Jika menilai buruk, karena dia melihat dari sisi dunia saja. Memang hingga kini saya tak seberapa bisa melihat, namun itu akan menjadi tabungan saya di akhirat. Balasan dari Allah akan jauh lebih besar.
Pertama, jika dihitung waktu akhirat, kita hidup di dunia hanya 1½ jam. Kedua, Allah menjanjikan balasan yang sangat besar, bahkan tak terhingga. Dengan keuntungan seperti itu, sedikit kehilangan kenikmatan di dunia berupa mata yang tak bisa melihat, saya harus bersedih? Tentu saja tidak.
Sepanjang saya diberi umur, saya akan terus berjuang. Apa yang saya lakukan di dunia belumlah cukup untuk bekal di akhirat. Bahkan Imam Syafi’i, menjelang wafat menyatakan ke para muridnya, beliau menyesal karena merasa kurang amalnya. Nah, apalagi kita?
Kalau masih ada rasa takut, apa yang Anda takuti?
Takut berbuat tidak benar. Takut tergoda. Takut meremehkan hal-hal yang kecil. Takut takabur. Merasa sukses karena diri sendiri. Melupakan Allah. Semuanya ini sangat berat dan sulit. Kadang secara tidak sengaja kita melakukan itu.
Bagaimana caranya terhindar dari apa yang Anda takuti itu?
Memperbanyak instropeksi diri, mendengarkan masukan, kritik, atau bahkan celaan orang dengan berpikir positif. Dan tentunya memperbanyak ibadah dan mengingat Allah SWT.
Sejak kapan belajar agama secara mendalam?
Saya akui, saya belajar agama secara lebih sungguh-sungguh tidak sejak awal. Tetapi sejak saya menghadapi berbagai masalah. Dari agama inilah saya mendapat perspektif bahwa (risiko-risiko) itu bukan penderitaan. Atas izin Allah, saya lebih bisa memahami segala sesuatu yang menimpa saya dengan kaca mata keimanan. Itu semua menambah keyakinan.
Menurut saya, takdir itu sangat jelas dan sangat pakem. Ada teman yang menyanggah, saya diminta melempar bayi dari gedung lantai 10. Pasti bayi itu mati. Benar juga, kata saya dalam hati saat itu.
Pada tahun 2000 saya menjadi komandan pengamanan di Aceh. Pasukan saya pernah diberondong tembakan. Logikanya, saya tentu mati. Namun nyatanya tidak. Sulit menjelaskan dengan akal. Dengan teori probabilitas apapun, itu tak bisa dijelaskan.
Kenapa saya tidak tertembak? Karena Allah belum takdirkan. Dari situ kayakinan saya kepada Allah semakin kuat. Bahwa takdir itu tidak meleset sedikit pun.
Saat ketemu lagi dengan teman yang menyuruh melempar bayi tadi, saya bilang, “Anda salah.” Pertama, bisa jadi hati orang yang akan melempar itu tidak tega sehingga tak jadi dilempar. Kedua, dia dicegah orang lain. Ketiga, kalau toh bayi itu dilempar, ada saja caranya bayi itu selamat, kalau dia belum ditakdirkan mati.
Takdir itu seperti anyaman besi. Sangat kokoh. Tidak seperti teori sosial yang bisa ditarik ke kanan dan ke kiri. Semua yang di al-Qur`an dan Sunnah itu seperti anyaman besi yang sangat kokoh. Tidak goyang. Keyakinan seperti itu yang mestinya kita pegang sebagai seorang Muslim.
Membela kepentingan orang banyak, amar ma’ruf nahi munkar, dan menyampaikan atau berdiri di atas kebenaran, itu jihad yang besar. Bagaimana mungkin kita melakukan amal besar bila di dalam hati ada ketakutan atau keraguan? Bagaimana kita bisa punya tekad bila tidak ada iman?
Jika pekerjaan kita membahayakan atau mengancam jiwa kita, sebenarnya itu menguntungkan kita. Setidaknya, itu membuat kita menjadi lebih taat beribadah. Menjadikan hanya Allah tempat bergantung. Malah, kelonggaran justru bisa membuat kita cenderung lalai dan santai.
Tidak ada sedikit pun kerugian bagi orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Yang ada adalah keutungan demi keuntungan. Itulah kemuliaan.
Saya punya beberapa kawan yang memilih hidup pada jalan yang aman-aman saja. Beberapa di antara mereka sudah meninggal duluan. Itu semakin menguatkan bahwa tidak berarti orang yang mengambil jalan penuh bahaya atau risiko itu bakal lebih cepat matinya. Bahwa yang mengambil hidup aman hidupnya lebih panjang. Tidak begitu.*