Hidayatullah.com–Belakangan ini, topik jejak khilafah di Nusantara kembali hangat diperbincangkan di publik. Mulanya adalah film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara (JKN) yang tayang di Youtube pada 20 Agustus, yang kemudian membawa beberapa polemik seperti pengutipan data yang tak tepat dan lainnya.
Hubungan antara kerajaan Islam di Nusantara dengan Kekhilafahan Utsmani (Ottoman) pada masa lalu pun kembali berusaha digali dan dibuktikan. Banyak pakar sejarah seperti Peter Carrey, penulis biografi Diponegoro berjudul The Power of Prophecy, yang kemudian diminta bersuara mengenai topik ini.
Selain ia, adapula berbagai sejarawan Indonesia yang memiliki pengetahuan mendalam ataupun desertasi mengenai topik ini. Hidayatullah.com berkesempatan untuk melakukan wawancara dengan Dr. Tiar Anwar Bachtiar, seorang pengajar sejarah di Universitas Padjajaran (Unpad) mengenai hubungan Khilafah Utsmani (Turki) di Nusantara. Berikut petikannya:
Sebelum masuk fakta sejarah, mungkin ustadz bisa menyampaikan terlebih dahulu, sebenarnya apa signifikansi dari ada/tiadanya jejak khilafah di nusantara?
Jadi seperti ini, jika kita menemukan jejak khilafah di Nusantara, kita akan lebih paham seperti apa dinamika politik kesultanan di Indonesia pada masa itu. Hal ini menjadi penting untuk meletakkan sejauh mana khilafah itu berpengaruh pada dinamika politik di Indonesia.
Selain hubungan politik, adapula hubungan ekonomi dan keilmuan yang lebih bersifat pragmatis yang sudah jelas terjalin. Sebelum masa kekhalifahan, bahkan sebelum masa Nabi Muhammad, kontak dan hubungan ekonomi itu telah terjadi antara nusantara dengan kawasan Eropa dan Timur Tengah.
Yang kedua keilmuan, hubungan keilmuan itu pasti terjadi karena juga menjadi kebutuhan. Desertasi Azyumardi Azra telah membahas hal ini, meneliti hubungan sanad keilmuan ulama nusantara. Yang perlu diteliti lebih lanjut memang adalah mengenai hubungan kekuasaan. Karena hubungan kekuasaan itu bersifat bottom up (dari bawah ke atas) bukan top down (dari atas ke bawah).
Semua kekuasaan itu berasal dari bawah -dari masyarakat. Jadi jika kita ingin memiliki kekuasaan harus berdasarkan persetujuan masyarakat. Itulah kenapa sistem kepemimpinan itu berbentuk ba’iat. Ba’iat adalah pengakuan kekuasaan dari sekelompok masyarakat terhadap pemimpin atau penguasanya. Berbeda dengan hubungan keilmuan. Ilmu itu sifatnya top down. Contoh: ilmu Islam itu sembernya dari Rasulullah ﷺ, lalu diwariskan kpada para
Sahabat, lalu ke tabi’in, ke para ulama dan begitu seterusnya. Oleh sebab ilmu ini bersifat top down, maka sumber ilmu itu dari atas, bukan dari bawah. Oleh sebab itu, otoritas keilmuan bersifat “otoriter” tidak negosiatif. Politik sebaliknya. Karena sumber kekuasaan itu dari “rakyat” melalui baiat, maka politik selalu bersifat negosiatif. Negosiasi dalam kekuasaan inilah yang seringkali menciptakan hambatan-hambatan untuk tidak mengangkat seseorang menjadi pemimpin atau mengalihkan kepemimpinan kepada orang lain. Ini yang menyebabkan dinamika politik itu tidak sesederhana dinamika hubungan keilmuan.
Maka dari itu jika kita menemukan hubungan politik antara nusantara dengan kekhilafahan akan menjadi sangat manarik untuk memahami dinamikanya yang pasti rumit.
Apakah ada hubungan politik antara kerajaan Islam di Nusantara dengan Utsmani? Dan jika ada, apa bentuknya dan sejauh apa hubungan tersebut?
Inilah yang sampai sekarang masih terus dikaji. Contoh, kemarin, telah ada desertasi dari UIN Jogja yang menilti hubungan antara Kerajaan Demak dengan Utsmani yang sezaman. Tapi apakah hubungan tersebut adalah hubungan politik saling menguasai yang disimbolkan dengan ba’iat? masih belum jelas.
Memang hubungan politik itu ada, tapi berdasarkan fakta-fakta yang sejauh ini ditemukan, kemungkinan hanya hubungan diplomatik untuk melancarkan kegiatan ekonomi dan keilmuan, termasuk juga kaitannya dengan haji. Karena Hijaz (kawasan Mekkah-Madinah) pada masa itu berada di bawah kekuasaan Utsmani setelah 1517.
Sebelum Demak, Kesultanan Aceh juga tercatat ada hubungan politik dengan Usmani. Tapi, sejauh dokumen-dokumen yang ditemukan, hubungannya juga hanya bersifat diplomatik. Hubungan ini kemungkinan yang pertama adalah untuk melancarkan hubungan ekonomi dan yang kedua adalah transportasi untuk kepentingan keilmuan dan haji.
Sedangkan soal masyarakat Nusantara menyerahkan kekuasaan pada Utsmani maupun kesultanan lainnya, hingga saat ini belum ada dokumen yang menyatakannya. Contoh, apa yang diklaim oleh Sultan Jogja Hamengkubuwono X pada 2015 mengenai penerimaan pataka dari Utsmani di masa Demak.
Yang menjadi permasalahan pertama adalah klaim mengenai leluhur Mataram adalah Demak sudahlah salah. Mataram tidak bisa disebut penerus langsung kekuasaan Demak.
Yang kedua, beliau hanya menggunakan pataka (bendera) Utsmani sebagai bukti. Pertanyaanya, apa makna dari pataka tersebut? Belum tentu penyerahan pataka tersebut adalah tanda ba’iat. Karena penyerahan pataka bisa bermakna macam-macam, ia bisa sebagai penghormatan, kenang-kenangan dan semacamnya.
Ia sebagai tanda hubungan diplomatik memang mungkin, dengan maksud kedua wilayah dalam kesepahaman untukm saling melindungi itu memungkinkan. Tapi, belum tentu itu adalah penyerahan kekuasaan (Mataram menjadi vassal Utsmani).
Hubungan yang paling intensif sebenarnya adalah dengan Kesultanan Aceh, karena Aceh adalah pintu transportasi menuju Asia Tenggara. Tapi juga sampai sekarang, belum ditemukan pernyataan ba’iat Samudera Pasai (Abad 16) kepada Utsmani atau Kerajaan Aceh lainnya setelahnya.
Banyak lambang dan pakaian di beberapa kerajaan Islam Nusantara mirip dengan lambang Kesultanan Utsmani?
Itu kemungkinan pengaruh budaya. Jika ada hubungan keilmuan pasti ada pengaruh budaya yang ikut tersalurkan. Hal seperti itu tidak selalu manandakan pengaruh kekuasaan. Seperti seseorang yang belajar ke Prancis lalu membuat miniatur menara Eiffel di Indonesia tidak menandakan Indonesia berada di bawah pengaruh kekuasaan Prancis dan lain sebagainya.
Maka dari itu dalam naskah-naskah lama ada istilah imajeri Turki, yakni kecenderungan umat Islam Indonesia mengidolakan Utsmani pada masa itu. Dalam istilah di dokumen lama Usmani itu disebut negeri Ruum (Romawi) yang telah berhasil menaklukan wilayah Romawi (Bizantium).
Apakah ada bantuan militer terhadap kerajaan Islam di Nusantara dan jika ada apakah hal itu melambangkan hubungan kekuasaan?
Hal ini masih harus ditelusuri. Apakah benar ada bantuan militer tersebut. Contoh pada perang Aceh melawan Portugis, bantuan militer itu disebutkan adanya dalam beberapa naskah lokal, namun masih harus digali datanya di arsip-arsip Usmani bagaimana sebetulnya duduk perkara pengiriman bantuan militer itu. Sebab, selain ada bantuan dari Turki, ada juga bantuan militer dari China yang saat itu dikuasi Dinasti Ming.
Ada dugaan, karena Turki bermitra dengan Dinasti Ming saat itu, maka bisa jadi kiriman tentara dari China itu mempertimbangkan faktor Utsmani; atau bahkan mungkin saja atas permintaan Usmani sendiri. Semuanya perlu diperjelas. Tapi juga harus dicatat bahwa adanya bantuan militer belum tentu menandakan Aceh adalah wilayah kekuasaan langsung Utsmani.
Maka dari itu perlu untuk terus menggali dokumen lebih dalam tentang masalah ini. Hubungan-hubungan politik perlu dicari dari dokumen-dokumen negara. Baik dari Samudera Pasai, Kesultanan Aceh, dan juga dari Utsmani sendiri.
Apakah bentuk pasukan Pangeran Diponegoro yang menyerupai janissary Turki menandakan hubungan militer?
Belum ada dokumen yang jelas, dan hal itu perlu ditelusuri di dokumen milik Utsmani. Tapi, menimbang secara politik, Turki justru merugi jika membantu Pangeran Diponegoro dalam posisi dan kondisi waktu itu.
Karena Diponegoro bukanlah penguasa, pada waktu itu. Jika memang Turki ingin membangun hubungan diplomatik, ia pastilah akan menghubungi Sultan Hamengkubuwono yang merupakan penguasa sebenarnya.
No document no history
Banyak kerajaan/kesultanan Islam pada masa itu, bagaimana sebenarnya perbandingan sistem pemerintahan antara Kerajaan Islam di Nusantara dengan Utsmani atau kesultanan lainnya?
Sebenarnya secara garis besar mirip, terutama dalam pewarisan kekuasaan. Pada masa itu semua kerajaan Islam berbentuk dinasti. Soal dinasti adalah persoalan legitimasi kekuasaan. Legitimasi kekuasaan akan diberikan pada kelompok yang kuat pada masanya, secara militer dan ekonomi.
Di dunia ada Utsmani dan lainnya, dan di Nusantara ada dinasti-dinasti dengan wilayahnya masing-masing. Sistem kerajaan/dinasti adalah hal yang umum di dunia pada masa itu, sama halnya dengan demokrasi/nasionalisme yang umum pada masa ini.
Hanya saja dalam sistem kerajaan itu kenapa ada yang disebut kekhilafahan karena kekuatannya yang besar sehingga ia bisa menjadi imperium. Imperium adalah kekuasaan yang bisa menggabungkan kekuasaan kecil lainnya, seperti halnya Utsmani yang dapat menggabungkan kesultanan-kesultanan yang lebih kecil kecil di Arab hingga Afrika utara seperti Maroko, Tunisia, Al Jazair, Libya, Mesir dan yang lain. Kesemuanya tunduk di bawah Utsmani, walaupun mereka bukan bangsa Turki.
Perbedaan mereka dengan kerajaan lainnya adalah mereka menjadi vassal bagi Turki Utsmani. Turki mengirimkan kadive, semacam gubernur yang akan mengontrol sultan yang ada di wilayah tersebut. Dan bila perlu bisa melakukan intervensi jika ada kepentingan yang bertentangan dengan Utsmani. Hal inilah yang belum terbukti ada di Nusantara.
Kita tahu penulisan atau pemaparan sejarah itu sarat dengan kepentingan, sebenarnya bagaimana ulama dahulu menuliskan sejarah?
Penulisan sejarah dahulu berbeda dengan sekarang. Orang-orang dahulu menuliskan sejarah berupa data saja. Ada peristiwa yang terjadi kemudian dituliskan. Seperti Tarikh At-Thabari yang sekedar mengabarkan saja peristiwa yang ada.
Penulisan sejarah dahulu belum dikonstruksi seperti lazimnya saat ini. Konstruksionisme penulisan sejarah baru terjadi pada abad ke 19, maka dari itu, karena bersifat konstruksionisme, penulisan/pengajaran sejarah saat ini tak lepas dari opini.
Pada masa lalu, yang mirip dengan konstruksionisme dalam sejarah zaman ini adalah pemilihan data-data yang akan ditampilkan dalam teks. Data-data baik akan ditampilkan untuk pihak-pihak yang disukai, sedangkan pihak yang dibenci data buruknya saja yang muncul. Hanya saja, pada masa lalu tidak diberi narasi langsung dan analisis mendalam seperti masa sekarang.
Jadi belum cukup data hubungan keduanya ya?
Hubungan ada, tapi kelihatannya yang lebih banyak terungkap baru dalam hubungan ekonomi dan kebudayaan (keilmuan). Sementara hubungan politik saling menguasai belum jelas. Maka dari itu jika kita menemukan hubungan politik antara Nusantara dengan kekhilafahan akan menjadi menarik. Akan tetapi dalam ilmu sejarah, ada sebuah kaidah yaitu, no document no history, jika tidak ada dokumennya maka tidak ada cerita sejarahnya. Permasalahannya tinggal bagaimana menggali dokumen tersebut.
Kita tinggal menunggu data dan dokumen di pihak Turki. Jika ada bukti terkait hubungan ini, bagus ini. Mudah-mudahan segera ada yang membuka. Akan semakin banyak yang mengkaji dan membuka masalah ini, akan semakin baik.*