Hidayatullah.com–Setelah menjalani latihan, Farah Shakir, 17, mengenakan abaya menutupi pakaian gulatnya.
Banyak pihak di kota Diwanya, selatan Baghdad, yang ingin agar lusinan gadis dan wanita yang ikut dalam tim segera berhenti bergulat. Salah seorang dari suku setempat mengatakan, mereka harus “dipenggal” jika terus berlanjut.
Seorang ulama Syiah mengatakan, tim itu harus dilarang, karena gulat bisa memicu pergaulan bebas dan melanggar ajaran Islam.
Akibat tekanan itu, empat orang anggotanya mengundurkan diri. Tapi sisanya, dengan adanya janji demokrasi dan persamaan yang lebih luas setelah invasi Amerika, mencoba menghadapi ancaman itu.
“Mereka pikir kami adalah gadis-gadis bebas hanya karena kami berolahraga,” kata Ikram Hamid, 25, salah seorang anggota tim.
Farah Shakir berkata, “Hal itu memang sesuatu yang berbeda di Iraq, tapi saya suka tantangannya.”
Sebenarnya, tidak hanya pegulat wanita yang menjadi masalah bagi masyarakat tradisional di sana.
“Saya dapat informasi, katanya pegulat pria juga penuh masalah, karena pertentangan yang terus terjadi,” kata Sheikh Hussein al-Khalidi, seorang ulama bersorban yang duduk di dewan propinsi.
Tapi pegulat wanita yang membuat orang marah, mungkin karena ambisi mereka. Tiga buah tim lain telah dibentuk di Iraq, setelah tim Diwaniya sebelumnya dibentuk dengan dukungan federasi gulat Iraq. Pada bulan Juni seluruh tim ikut serta dalam sebuah kejuaraan, yang dimenangkan oleh tim Diwaniya, sehingga berhak ikut kejuaraan tingkat Asia bulan September di kelas gaya bebas.
Sebagian orang menjadi tertarik dengan para pegulat wanita, dan merasa mereka cocok untuk mendobrak keberadaan adat suku dan agama, yang mengekang hidup masyarakat menjadi lebih ketat setelah invasi tahun 2003. Salah seorang pendukungnya, Haidar Walid, 20, menyebut tim gulat itu sebagai sebuah “lambang evolusi dan kebebasan.”
Kontroversi atas Diwaniya menggarisbawahi adanya pertentangan dalam masyarakat secara keseluruhan. Kekuatan Sunni dan Syiah yang ingin agar rakyat Iraq membenci nilai-nilai moral yang mulai mengendur, dan orang-orang yang ingin bebas mengekspresikan diri dengan berbagai cara. Dan ini terlihat pada saat pemilihan umum tingkat propinsi bulan Januari lalu, di mana partai sekular dan liberal menang.
Pada suatu pagi yang panas baru-baru ini, para pegulat yang sebagian berkerudung dan sebagian tidak, berpakaian celana pendek dan seragam sepakbola, memenuhi arena gulat di klub olahraga Diwaniya. Mereka boleh memakai arena itu hanya ketika para pegulat pria tidak berlatih.
Matras tua dan berdebu memenuhi ruangan. Dindingnya dipenuhi foto para pegulat pria, poster orang suci Syiah dan potret seorang pahlawan setempat, Abbas Fadhel Jouda, seorang juara gulat Iraq yang terbunuh dua tahun lalu oleh orang bersenjata di Diwaniya, karena ia seorang polisi.
Setelah pemanasan, nona Shakir dan teman satu timnya saling berpasangan, dan mulai latihan teknik rangkulan dan bantingan di bawah bimbingan pelatih dan pendiri tim mereka, Hamid Al-Hamdani, beserta dua orang asistennya, yang semuanya merupakan pegulat profesional.
Tidak seperti gulat gaya Greco-Roman, gulat gaya bebas memperbolehkan memegang bawah pinggang dan kaki untuk membanting lawan. Gulat adalah olahraga yang diakui secara internasional, tapi gulat wanita baru pertama kali diikutsertakan dalam olimpiade Athena lima tahun lalu. Dua negara Arab lain, Mesir dan Maroko, memiliki tim gulat wanita.
Namun, sepertinya tim Diwaniya menghadapi rintangan yang tidak biasa dalam perjalanannya meraih medali emas. Federasi gulat Iraq mendukung mereka, tapi pejabat dari organisasi menolak datang ke Diwaniya pada kompetisi bulan Juni lalu, kata Hamdani yang takut dibunuh.
Pada bulan Mei, para pemimpin suku mengajukan petisi kepada dewan propinsi untuk melarang tim itu, setelah sebuah stasiun televisi menayangkan mereka sedang berlatih bersama pelatihnya.
Sejak saat itu mereka patuh, tunduk pada peraturan setempat. Selama latihan gadis-gadis itu ditemani ibu nona Shakir, Nawal Kadhim. Dan ketika mereka meninggalkan klub, mereka menutupi tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki.
Meskipun demikian, mereka masih sering diejek dan dicerca jika pergi ke pasar. Mereka juga tidak diacuhkan di sekolah dan sering dibentak oleh guru.
Ibu Kadhim yang lima putrinya ikut dalam tim, belakangan disarankan keluarganya agar meninggalkan Diwaniya, dan sering menerima ancaman lewat telepon selularnya.
“Perempuan akan kehilangan kewanitaannya,” kata seorang penduduk, Faris Abbas, 42, yang menentang adanya tim gulat wanita.
Seorang pemimpin suku, Gith Al-Kassir, 53, mengatakan bahwa olahraga itu bertentangan dengan Islam dan adat mereka. “Para wanita boleh berolahraga di rumah,” katanya.
Sebagaimana dalam banyak masalah lain, para pemuka Syiah berbeda pendapat dalam masalah gulat wanita. Sebagian bilang tidak mengapa selama mereka masih berhijab sebagaimana mestinya, sementara yang lain menyatakan sama sekali tidak boleh. Demikian dikatakan oleh salah seorang pelatih tim yang berkonsultasi dengan pihak otoritas agama di kota Najaf.
Syeikh Khalidi mengatakan, ia akan terus menggalang opini publik sampai akhirnya klub gulat itu ditutup. Ia anggota Dewan Tinggi Islam Iraq, yang merupakan sebuah partai yang dekat dengan Iran, yang berkuasa di propinsi itu sampai Januari, ketika partainya kalah oleh partai Perdana Menteri Nur Kamal Al-Maliki di wilayah selatan. Meskipun Maliki seorang yang pro Islam, tapi ia lebih menyukai pendekatan persuasif dalam masalah yang terkait pembentukan nilai-nilai di masyarakat.
Meski dukungan masyarakat menurun, Syeikh Khalidi mengatakan, partainya yakin bahwa rakyat Iraq menjadi lebih konservatif dan terikat pada nilai-nilai Islam.
Batoul Al-Attiyah, seorang dokter setempat, mengatakan, ia tidak setuju dengan pernyataan Khalidi ke arah mana Iraq akan menuju, meskipun ia menentang gulat wanita.
“Agama sekarang ini lebih pada penampilan luar daripada substansi,” katanya. [di/nyt/hidayatullah.com]