Para jamaah mualaf sangat antusias mengikuti pengajian, bahkan pada sesi tanya jawab sampai minta tambah waktu karena ngantri bertanya
Hidayatullah.com—Adzan Ashar berkumandang di mushalla Dinas Syariat Islam (DSI) Kota Banda Aceh. Saya tiba di area parkiran, yang berseberangan Rumah Sakit Umum Meuraxa Banda Aceh.
Sejumlah orang dengan berbagai kesibukannya masing-masing. Namun pandangan saya tertuju kepada puluhan orang, tepatnya, ibu-ibu paruh baya, dan beberapa wanita yang mengendong anak, didampingi tiga orang laki-laki.
Satu remaja dan dua orang lain, sepertinya sudah berusia di atas kepala lima. Dari sorot matanya ada pancaran aura cerah. Dari informasi yang saya terima, dari beberapa pegawai, mereka adalah para mualaf (orang yang baru masuk Islam, red) yang akan mengikuti kajian rutin setiap hari Selasa di kantor DSI banda Aceh.
Untuk diketahui, saya dan beberapa dai Kota Banda Aceh ditugaskan secara resmi memberi kajian kepada mualaf, begitu arahan Irwanda S.Ag, Kabid Dakwah DSI Kota Banda Aceh. Selain bertugas sebagai da’i perkotaan, saya dipercaya sebagai anggota bagian Team Media Center Da’i.
Hari itu, Selasa, 14 Februari 2023, saya bertindak sebagai mu’allim sebagaimana diamanahkan oleh Niyyati Nur, Kasi Bina Aqidah. Ibu Nia begitu ia akrab disapa, menyapa dengan ramah dan mempersilahkan saya naik ke mushalla yang ada di lantai dua depan kantor.
Alhamdullah, ketika saya masuk, Kepala Dinas Syariat Islam sudah duluan datang menunggu iqamah dikumandangkan. “Penceramah hari ini ya, “ demikian sapa Kadis DSI Banda Aceh, Ridwan, S.Ag., M.Pd.
Selang beberapa menit, kami shalat diimami Pak Kadis, yang kebetulan juga seorang penceramah di Kota Banda Aceh. Setelah shalat Ashar, saya langsung dipersilahkan mengisi kajian dengan tema seputar aqidah Islamiyah.
Pada sesi kajian dan tanya jawab, terlihat para jamaah mualaf sangat antusias mengikuti pengajian. Bahkan ketika dibuka sesi tanya jawab sampai minta tambah waktu karena ada beberapa penanya yang masih ngantri bertanya.
Ada hal yang menarik. Di antara lima puluh orang jamaah pengajian dari mualaf binaan Baitul Mal dan DSI, mereka berasal dari Aceh Besar dan Banda Aceh.
Ada satu mualaf perempuan bernama Juwita (56) yang mungkin tidak asing lagi bagi warga kota wajahnya. Maklum, para pengguna jalan sudah mengenali profesinya.
Ia bukan Polwan, tapi sebagai “penjual berita”. Ia menjajakan koran agar setiap orang data mengetahui informasi teraktual di pagi hari buta.
Ibu Juwita mengaku profesi sebagai loper koran ditekuni untuk membantu meringankan beban suami memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu ia rela bekerja keras, asal bukan perkara yang tercela.
Mualaf asal Sibolga yang sudah menjadi warga Perumahan Komplek Cinta Kasih, Neuheun Aceh Besar biasa berjualan koran setiap pagi di simpang Jam Taman Bustanus Salatin, di dekat Balai Kota Banda Aceh.
Di umur yang tidak muda lagi sebagai loper koran, ia dibantu oleh anaknya yang bernama Nur Halimah. Setelah usai pengajian, istri dari Muhammad Nasir Usman (60) mengaku menjadi mualaf tersebab yakin dengan kebenaran Islam, dan juga Allah jadikan asbab kenal dengan pria asal Lhoksukon, Aceh Utara.
“Saya dapat rezeki antara delapan puluh hingga seratus ribu perhari,” kata Ibu Juwita.
“Kalau hari biasa, laku 30 eksemplar, jika hari Ahad lebih banyak bahkan terkadang sampai delapan puluh eksemplar, “ tambahnya.
“Harga saya ambil Rp 2.200, saya jual Rp 3.000, jadi laba hanya dapat Rp 800,” tambahnya.
Walaupun terlihat susah mengais rezeki di jalan yang penting halal, ia mengaku tidak malu menjadi loper koran, dibanding harus mengemis, yang jelas dilarang agama. “Saya tidak malu menjadi loper koran daripada harus mengemis dan mengambil yang bukan hak,” ujarnya.*/ Tgk Mustafa Husein Woyla