Hidayatullah.com | RAMAH dan murah senyum. Dua sifat tersebut melekat pada Pak Sudding (57 tahun), jamaah tetap shalat fardhu di Masjid ar-Riyadh, Kelurahan Teritip, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur
Nyaris semua yang mengenal Sudding mengakui sifat mulia itu. Tak sekalipun didapati, lelaki berperawakan kurus dan tinggi itu kedapatan marah atau berkata keras. Yang ada, selalu terselip senyum di balik ucapannya.
Kini senyum itu nyaris seolah hilang dari Sudding. Bukan karena dia tidak mau lagi menyapa dengan senyumnya. Tidak juga karena ada masalah dengan istrinya, Nurlina dan anak-anaknya yang mulai menghadiahinya cucu satu demi satu.
Tapi bermula dari merebaknya virus corona jenis baru (Covid-19), hingga terbit aturan menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan anjuran berdiam di rumah saja.
Iya, larangan ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Itulah soalannya. Sudah berlalu beberapa waktu. Ayah dari lima orang anak itu berusaha untuk menaati aturan tersebut. Tapi rindu itu terlalu berat untuk dibendungnya.
Satu waktu, ia nekat datang ke masjid. Berharap bisa bershaf kembali bersama para jamaah lainnya. Tentu posisinya di barisan pertama, seperti kebiasaannya sejak dulu.
Maksud hati ingin sujud berjamaah di lantai masjid, apa daya pihak keamanan justru mencegatnya. Ia dilarang untuk shalat di masjid.
“Untuk kebaikan bersama, sebaiknya Bapak tetap shalat berjamaah di rumah saja dulu,” demikian ia dinasihati. Sudding pun asalnya berat hati. Sebab taat baginya adalah hal prinsip dalam hidupnya.
Namun tak putus asa, Sudding balik berkilah. Bercanda maksudnya. Ia mengaku bahwa usianya masih muda. Belum juga genap 50 tahun. Tentu saja petugas bergeming. Tak peduli dengan alasan maupun candaannya. Sebaiknya di rumah saja dulu. Apalagi bagi usia di atas 50 tahun. Sudding memang tak bisa menyembunyikan janggutnya yang sudah memutih. Sama dengan kepalanya yang makin mengilap dengan ubannya.
“Pertama dan terakhir”. Itulah julukan lain dari Pak Sudding, soal hubungannya dengan masjid. Pertama, karena bersama warga tertentu, ia termasuk yang suka hadir duluan di masjid. Jauh sebelum jamaah lain berdatangan. Terakhir, sebab dia pula yang terbelakang pulang dari masjid.
Bukan karena tak punya kesibukan, justru setiap waktu, Sudding harus berjibaku di dapur umum untuk menyiapkan konsumsi rutin santri putri. Bukan pekerjaan ringan tentunya, melayani urusan perut ratusan santri. Tiga kali dalam sehari, Sudding harus memastikan agar tak ada santri yang kelaparan ataupun tidak kebagian makanan dari dapur umum.
Cinta dengan masjid. Inilah alasan utamanya senantiasa bergegas ke masjid. Bahkan jauh sebelum azan berkumandang. Karena dasar cinta pula, ia rela menerima amanah berat lainnya. Yaitu sebagai petugas kebersihan masjid. Hari-hari, dialah yang menyapu dan mengepul lantai masjid yang luas. Semua itu tak lain dijalaninya karena cinta kepada masjid.
“Indahnya suara azan itu, Nak. Sayang bapak belum bisa mendatanginya kembali,” seperti ada beban berat.
Sudding hanya bisa bergumam. Ima, anak perempuannya juga cuma bisa diam. Ima tahu, bapaknya begitu rindu memenuhi panggilan kumandang azan ke masjid itu. Berharap bisa bersujud kembali di berjamaah.
“Bapak rela disemprot setiap waktu asal bisa shalat di masjid lagi,” tutupnya sedih.*