Hidayatullah.com | “ADA saya mau tanya, Nak. Apa hukumnya mengaji dengan suara sangat pelan?”
Pertanyaan di atas bukan berasal dari ruang kuliah daring. Di masa pandemi global akibat virus corona jenis baru, Covid-19, beberapa pembelajaran dan aktifitas yang lain memang dikerjakan secara online, di dalam rumah saja.
Namun kalimat itu tidak juga berasal dari diskusi ilmiah antara dosen dengan mahasiswa, seperti yang biasa terjadi di kampus-kampus perguruan tinggi.
Ungkapan tersebut adalah kegelisahan seorang perempuan tua yang dirundung sedih menjelang datangnya bulan Ramadhan. Adalah St Djuaeriah (75 tahun), nenek yang punya 27 cucu dan dua orang cicit yang menanyakan itu.
Ia sedih bukan karena tak bergembira dengan kedatangan bulan penuh rahmat dan barakah tersebut. Justru karena benderang kebahagiaan itu yang akhirnya menerbitkan kepiluan sang nenek.
Djuaeriah sedih, sebab makin hari kondisi kesehatannya kian menurun pula. Ramadhan semakin dekat, tapi kekuatan fisiknya semakin tergerus dimakan usia.
Ibu dari tujuh orang anak itu bahkan sudah berbulan-bulan tak sanggup keluar rumah sekadar membersihkan pekarangan hunian yang ditinggalinya. Termasuk kebiasaan bersilaturahim dengan tetangga, tak lagi bisa dikerjakannya. Meski sekadar mengantar penganan ringan atau semangkuk sayur ke tetangga kiri kanannya.
Khusus untuk tilawah al-Qur’an, pandangan Nenek Jua, panggilan akrabnya, terasa makin rabun pula. Indera pendengarannya juga demikian. Fungsinya kian menurun dibanding masa sehatnya dahulu.
Terakhir, soal suara. Nenek Jua mengaku tak kuat lagi mengaji seperti dulu. Padahal kebiasaannya adalah membaca al-Qur’an usai setiap shalat lima waktu. Di umurnya yang kian menua, dia memang tak sekuat dulu lagi. Namun sekurangnya kebiasaan mulia itu masih terjaga hingga sekarang.
Lalu bagaimana nanti saat bulan Ramadhan yang sekian lama dirindukan itu benar-benar telah tiba? Seperti apa nanti ia menikmati bacaan dari huruf-huruf al-Qur’an tersebut? Sedang bersuara atau berbicara agak lama saja, terasa begitu memberatkannya kini. Apalagi untuk berlama-lama menikmati lantunan indah dari Kalam Ilahi tersebut. Inilah asal kegundahan hati Nenek Jua.
Dari rumahnya yang beralamat di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, wanita tua itu lalu menelepon seorang anaknya yang merantau di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Sekadar untuk menenangkan hati yang dirundung gelisah. Bagaimana nanti dia membaca al-Qur’an dengan suara serak? Apa hukumnya bersuara sangat pelan? Dan berbagai kegelisahan yang menggelayuti pikirannya, belakangan ini. “Ini saja susah ngomongnya, Nak,” jelasnya di ujung telepon. Sedih.
“Tak usah dipaksa, Mak. Baca al-Qur’annya pelan-pelan saja nanti,” ucap Ibnu Suyuti, anak yang dihubunginya.
Menurut putra bungsunya yang mengajar di salah satu pesantren, yang dilarang itu adalah membaca al-Qur’an secara diam alias mengaji dalam hati atau membatin saja. Tapi selama masih ada suara, meski sangat pelan, maka itu dibolehkan dalam membaca al-Qur’an.
“Asal mulut itu terlihat masih bergerak dan terdengar ada suara membisik, boleh saja insyaAllah,” jelas anaknya panjang lebar. Lengkap dengan beberapa pendapat ulama yang menyertainya.
.
“Oh begitu, Nak ya? Jadi boleh saja dengan suara pelan ya.” Terdengar rona kebahagiaan di sana.
Setidaknya jawaban itu bisa mengurangi kesedihan sebelumnya. Apalagi dijelaskan anaknya, selain pahala membaca, ada juga jaminan pahala yang tak kalah besarnya. Yakni dengan cara mendengar al-Qur’an. Cara itu dianggapnya lebih ringan dan tak memberatkan. Jika tak kuat lagi membaca al-Qur’an, ia akan menyimak bacaan al-Qur’an yang niscaya bisa diputarnya setiap waktu melalui speaker al-Qur’an.
Bulan Ramadhan memang sudah di ambang mata seluruh kaum Muslimin. Meski seluruh dunia masih didera pandemi akibat Covid-19, namun itu tak mengurangi kebahagiaan umat Islam dalam menyambutnya.
Dalam berbagai waktu dan kesempatan, para ulama dan ahli agama terus menyampaikan kabar bahagia tersebut. Sekaligus mengingatkan mereka tentang berbagai persiapan yang harus dilakukan menyambut bulan Ramadhan.
Nenek Jua pun kini bisa tersenyum kembali. Kekhawatirannya soal kondisi kesehatannya sekurangnya bisa terobati dengan penjelasan anaknya. Apalagi ajaran Islam memang asalnya adalah mudah dan ringan.
Allah tak pernah membebani seorang hamba-Nya kecuali hamba itu memang sanggup memikul beban tersebut. Termasuk menjalani hari-hari di bulan Ramadhan nanti. Bagaimanapun kondisinya selalu ada jalan kemenangan bagi orang beriman. Semoga kita semua diizinkan untuk menjumpai Ramadhan yang mulia. Meraih takwanya serta hadiah surga yang dijanjikan oleh Allah.*