Hidayatullah.com | NAMA lengkapnya Ali Saleh Mohammed Ali Jaber, panggilan populernya Syeikh Ali Jaber. Tinggalnya Syeikh Ali Jaber di Indonesia sebenarnya bermula dari ketidaksengajaan. Kisah tersebut bermula dengan berniat mencari serta mengumpulkan nasab keturunan dari keluarganya di tahun 2008. Sebelum itu, pria kelahiran Madinah, 3 Februari 1976 ini, memperoleh informasi sebagian keluarganya ada yang dari Indonesia.
“Keluarga besar kami ternyata ada yang berasal dari Indonesia, seperti Lombok, Surabaya, dan Jakarta. Jadi, saya punya saudara yang berasal dari kakek, seperti di Hadratul Maut, Madinah, dan Indonesia,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Menjelang akhir 2008, Syeikh Ali Jaber datang ke Indonesia dengan niat ingin menjalin silaturahim dengan keluarganya. Saat itu, pertama kalinya ia bertemu dengan keluarganya yang tinggal di daerah Menteng, Jakarta Selatan. Tepat di sebelah rumah dinas Kedutaan Besar Amerika Serikat. “Alhamdulillah, mereka sangat senang bisa bertemu saya, yang juga termasuk salah satu dari keluarga mereka. Meskipun, kami tidak pernah bertemu sebelumnya,” ungkap lelaki yang lahir dan besar di Madinah dengan wajah bahagia.
Karena salah satu di antara mereka ada yang bisa berbahasa Arab dengan baik, kata Syeikh Ali Jaber, maka ia pun nyambung ketika berkomunikasi. Bahkan, ia sering berbincang di waktu sore hari. Hingga pada suatu kesempatan, ketika mendekati waktu maghrib ia diajak untuk menunaikan ibadah shalat Maghrib di Masjid Agung Sunda Kelapa. “Kebetulan saat itu ada ketua takmir masjid, dan langsung mengenalkan saya kepada beliau. Akhirnya saya diminta untuk menjadi imam shalat Maghrib,” kata Syeikh Ali.
Ketika ia menjadi imam shalat Maghrib, ketua takmir merasa senang bisa mendengar suara khas bacaan al-Qur’an dari Madinah. Dari situ, lanjutnya, ketua takmir meminta Syeikh Ali untuk menjadi imam shalat Tarawih dan penceramah di Masjid Agung Sunda Kelapa selama bulan Ramadhan.
“Dari situlah saya mulai kenal Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sering datang untuk shalat Tarawih, berbuka puasa, dan i’tikaf,” kenangnya.
Alhamdulillah melalui Jusuf Kalla juga, ulama yang dikenal sejak menjadi juri program acara “Tahfidz Quran” di sebuah stasiun televisi swasta ini, mendapatkan izin tinggal di Indonesia. Kemudian, Syeikh Ali yang biasanya menghabiskan bulan Ramadhan di Tanah Suci, lebih memilih berdakwah di Indonesia.
Syeikh Ali Jaber menyayangkan, Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim, namun masih banyak yang belum bisa membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. “Itulah salah satu sebab yang membuat saya lebih fokus untuk memperhatikan para penghafal al-Qur’an di Indonesia, termasuk juga tunanetra,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, masih sedikit sekali jumlah para penghafal al-Qur’an di Indonesia. Bahkan mereka yang mengajar al-Qur’an rata-rata juga belum hafal al-Qur’an hingga 30 juz. “Ketika ada sebuah lembaga Islam dari negara Arab datang ke Indonesia untuk mencari penghafal al-Qur’an itu susah. Padahal, calon yang sesuai untuk dijadikan imam dan pemimpin adalah para penghafal al-Qur’an,” ungkap lelaki yang hafal al-Qur’an 30 juz pada usia 11 tahun.
Sejak mendapatkan izin tinggal di Indonesia, Syeikh Ali Jaber merasa semakin tertarik untuk berdakwah di Indonesia. Tak heran ia sering tampil ceramah, baik di mimbar maupun dalam forum majelis taklim. Padahal, saat itu ia belum mahir berbicara bahasa Indonesia dengan baik. Sementara itu, karena jamaahnya masyarakat Indonesia, maka menuntut ia harus bisa berbicara dengan bahasa Indonesia.
Untuk itu, selama setahun di Indonesia, meski masih pulang pergi ke Madinah, ia menyempatkan untuk mempelajari bahasa Indonesia. “Alhamdulillah, saya belajar dengan mendengar orang bicara kemudian saya praktikkan langsung, begitu seterusnya,” ucapnya.
Awalnya, tambah Ali, dirinya sering ditertawakan ketika mencoba bicara bahasa Indonesia, tetapi ia tidak pernah mempedulikannya. “Kalau pengucapannya salah baru saya minta dikoreksi,” imbuhnya.
Ali meyakini bahwa kemudahan dalam berbahasa itu akan diperoleh dari keberkahan menghafal al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an itu menjadi sumber kemudahan untuk belajar apa saja. Maka, sambungnya, ketika ia mulai belajar bahasa Indonesia, tidak ada kesulitan yang membuatnya putus asa untuk belajar.
“Pertama, kalau kita sudah belajar al-Qur’an, maka saya yakini akan mudah. Kedua, yang memudahkan saya selain al-Qur’an, adalah tauhid yang kuat,” kata pria yang kini telah mahir berbicara bahasa Indonesia tanpa mengikuti kursus.
Di sisi lain, Syeikh Ali Jaber mengatakan, Islam di Indonesia merupakan Islam keturunan. Maksudnya, di saat orangtua Islam maka anak-anak pun ikut Islam, dan seterusnya. “Islam di Indonesia kebanyakan hanya sebuah nama, sementara perilaku sehari-hari masih jauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Sebagian besar dari masyarakat Muslim di Indonesia belum mengerti ajaran Islam secara mendalam, apalagi terkait dengan ibadah sehari-hari.
Untuk itu, Syeikh Ali Jaber memberikan masukan kepada Muslim di Indonesia supaya jangan menjadikan Islam hanya karena keturunan, tetapi menjadikan Islam sebagai tahapan proses untuk belajar dan terus belajar. Serta berupaya untuk selalu mengimplementasikan secara langsung apa saja yang telah dipelajari dari Islam, supaya masyarakat mengetahui bagaimana Islam yang sebenarnya.
Baca: Syeikh Ali Jaber Wafat Sudah Negatif Covid-19, Setelah 2 Pekan Dirawat karena Dinyatakan Positif
Setelah puluhan tahun berdakwah dan mengajarkan al-Qur’an di Indonesia, beliau pun wafat pada Kamis (14/01/2021) pagi di Rumah Sakit Yarsi, Jakarta. Sebelum wafat, Syekh Ali dirawat dua pekan lebih setelah dinyatakan positif Covid-19.
Ketua Yayasan Syekh Ali Jaber, Habib Abdurrahman Alhabsyi, menerangkan, almarhum wafat setelah dinyatakan negatif Covid-19. “Mohon dimaafkan segala kesalahan beliau. Semoga diterima segala amal shaleh beliau,” ujar Habib Abdurrahman dalam keterangan tertulisnya, Kamis (14/01/2021).* Ibnu Sumari/dikutip dari Suara Hidayatullah dengan penyesuaian redaksi hidayatullah.com