Hidayatullah.com | TEPAT di bulan Ramadhan ini, sudah setahun aku mengabdikan diri berdakwah di pedalaman Halmahera. Tepatnya wilayah dimana Suku Tugotil berada.
Aku yang berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah, memilih jalan ini, atas dasar keterpanggilan diri. Meski sejatinya meyakini kemampuan belum mumpuni. Tapi sekali lagi, panggilan hati dan kehendak Allah jua yang menggerakkan.
Sebelum ini, para senior sudah banyak mengabdi di sana. Dari cerita yang aku dengar, banyak dibutuhkan tenaga dai untuk membina mualaf di daerah pedalaman. Para dai dibutuhkan mengenalkan Islam, mengajarkan mereka al-Qur’an, sholat, dan kehidupan yang normal lazimnya masyarakat biasa.
Kehidupan normal?
Ya. Mungkin Anda kaget, para dai perlu membangu kaum suku nomaden yang belum mengenal peradaban ini untuk bisa hidup seperti kita. Mereka adalah suku yang masih sangat ‘lugu.’ Jangankan HP, gagdet, dan benda-benda elektronik lainnya. Bahkan cara berpakaian dan menjaga kebersihan badan saja masih belum bisa.
Mereka sudah terbiasa tidak mandi berhari-hari di hutan. Juga tak mengganti baju meski sudah menempel debu dan tanah di seluh badannya. Hal itu tak membuat rishi, karena begitu sejak lahir kehidupannya.
Kelompok inilah yang menjadi objek utama dakwah.
Eh, ada lagi kebiasaan suku ini yang benar-benar menguji nyali setiap dai. Mereka tak sungkan menombak orang asing yang kurang mereka sukai, khususnya dianggap mengancam mereka.
Sebaliknya, jika sudah percaya dengan orang yang memberi rasa aman, tak segan berkorban untuknya. Contohnya, adalah seorang senior, yang kini menjadip mereka.
Sebuh saja Abdullah, beliau sudah ada di hati mereka. Bahkan selalu dinanti kedatangannya. Bila ada kabar kunjungan, mereka tidak segan turun gunung untuk menjumpainya.
Baca: Puluhan Warga Suku Toguti Masuk Islam, Butuh Sentuhan Dai
Hikmah Pandemi
Aku sebenarnya masih berstatus mahasiswa di kampus STAI Luqman al-Hakim Surabaya. Biasanya, setiap tahun, kampusku punya acara tersendiri untuk mengirim mahasiswa ke berbagai tempat untuk melakukan Safari Dakwah.
Tapi, karena pandemi Covid-19, program tahunan itu ditiadakan.Yang menyedihkan, para mahasiswa dipulangkan semua, karena aturan pemerintah harus mengadakan perkuliahan secara on line.
Kondisi ini membuatku bingung. Alhasil, aku memilih jalur berbeda dari teman-teman lain. Khawatir di rumah tidak melakukan aktivitas, aku tertarik ajakan seniorku, yang telah mengabdil dan menjadi pembina muallaf Suku Togutil.
Dengan izin Allah, akhirnya aku berangkat ke sana. Sampai di lokasi, ternyata kondisi lapangan jauh dari yang aku bayangan. Lokasi yang sangan sukar untuk ditaklukkan, terutama bagian pegunungan.
Betapa tidak. Selain berupa lumuran lumpur, wilayah tujuan dikenal dengan krikil dan batu, juga berada di antara himpitan gundukan gunung yang menjulang tinggi, lagi rawan longsor. Di sisi lain, jurang yang curam seolah menunggu kita jika kepleset.
Bahkan, ada bagian ruas jalan yang lebarnya hanya selebar roda motor. Posisinya pas di bibir jurang lagi. Terang aku dan teman yang tak terbiasa dengan medan demikian serasa ciut juga nyali untuk melintasi. Tapi karena sudah membawa amanah para dermawan, tetap harus dikirim dan ditunaikan.
Suatu ketika, rombongan kami kesulitan menembus medan. Sambil mencari-cari alternatif, akhirnya ketemu cara. Kami mungkin bisa aman dengan cara mengangkat sepeda motor untuk melewati ‘jalur maut’ itu. Terpaksa harus menyewa empat tenaga warga setempat.
Alhamdulillah, kami semua selamat. Sambil merenung, aku yakin, ini semua doa orangtua dan jamaahlah, yang memberi kelancaran kami mengabdikan diri di pedalaman ini.
Baca: Ramadhan Bersama Suku Togutil
Disambut Dingin
Pertama kali rombongan kami datang menjumpai warga Suku Tugotil tidak lah manis. Wajah-wajah mereka rupanya tidak menyambutku dengan ramah. Hal ini terbaca dari respon yang ditunjukkan.
Kami memilih balik kanan, menunggu seorang ustad senior, yang memang telah menjalin hubungan akrab dengan warga suku. Selang tiga hari, sang ustadz datang. Dan benar saja, respon warga akhirnya sangat positif.
Setelah beberapa hari tinggal bersama mereka, kebekuan pun mulai mencair. Masyarakat mulai aktif mengaji. Dari anak-anak sampai orang dewasa rela belajar.
Pertama kali aku mengajar sempat kaget. Aroma tidak sedap memenuhi selueuh ruangan. Maklum, mereka adalah orang-orang yang baru belajar kebersihan.

Aku mengajarkan ilmu-ilmu yang sederhana, yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Hanya mengajarkan bagaimana cara memakai sarung, cara mandi dan bersuci, dan rupanya sangat bermanfaat bagi mereka. Alhamdulillah.
Meski pengalaman ini hanya beberapa hari, sungguh sangat berarti bagiku. Mohon terus didoakan agar kami terus berada di tempat perjuangan.
Aku sendiri akan masih tetap tinggal di sini, minimal selesai puasa tahun ini. Maklum, karena masih berstatus mahasiswa, jadi aku harus menyelesaikan studi.

Bagaimanapun, ada banyak pelajaran berarti. Bahwa untuk terjun di masyarakat, sekalipun di pedalaman, tidaklah cukup dengan modal mental saja. Tapi, berdakwah juga harus ditopang dengan ilmu yang matang dan ruhiah yang kuat.
Pedalaman Halmahera, telah membawaku berbeda. Setidaknya, saya semakin merasakan pentingnya dakwah. Itulah azam yang aku tancapkan pada hati, setidaknya, nanti kalau telah kembali ke kampus.
Insya Allah, aku akan meminta doa kepada orangtua, dan saudara sesama muslim, semoga Allah mengabulkan segala hajat dan urusan. Aamiin.*
Sebagaimana yang dikisahkan oleh M Nashirul Haq kepada Hidayatullah.com