Melahirkan Ketika Terluka Parah
Bulan Desember 2023, Nour Mwanis sedang menangani persalinan. Mendadak ada kabar bahwa saudara laki-lakinya dilarikan ke RS dalam keadaan terluka parah akibat bom “Israel”.
“Saya hampir putus asa. Sudah berbulan-bulan tidak bertemu keluarga dan khawatir mereka menyembunyikan berita kematiannya,” kenang Nour.
Nour berusaha mencari-cari di RS, dan akhirnya ketemu. Saudaranya itu terluka parah di sekujur tubuhnya. Nour pun menangis sejadi-jadinya. Atas izin Allah, saudaranya selamat dan akhirnya sembuh.
Saudara laki-lakinya mengisahkan bahwa rumah di sebelahnya dibom. Akibatnya, rumah keluarga Nour turut rusak parah.
“Seperti semua keluarga lainnya, keluarga saya -orangtua dan sembilan saudara kandung– terpaksa pindah dari satu tempat ke tempat lain selama perang,” kata Nour.
Meskipun keluarganya sendiri kocar-kacir, Nour tetap berdedikasi sebagai bidan. Ia ingin selalu berada di samping ibu-ibu yang bersalin. Banyak di antara mereka yang ke RS sendirian, menangis, dan putus asa karena telah kehilangan orang-orang yang dicintainya.
“Ibu-ibu itu menangis di ranjang bersalin, bercerita tentang kehilangan anak, suami, atau keluarganya. Kondisi psikis semacam itu sangat mempengaruhi proses persalinan. Kami mencoba memberikan dukungan, memeluk, mencoba menghibur dan meyakinkan mereka. Tetapi kadang hal ini tidak mungkin dilakukan, terutama pada bulan-bulan awal perang,” jelas Nour.
Ada seorang ibu yang melahirkan bersamaan dengan syahidnya sang suami. Karena terkejut, ia menangis tersedu-sedu sepanjang proses melahirkan. Wanita itu gemetar tak terkendali dan tidak mampu mengendalikan emosi.
“Situasi yang sangat sulit. Kami seolah kehilangan kata-kata untuk menghiburnya,” kenang Nour.
Lahirlah bayi laki-laki yang kemudian diberi nama seperti ayahnya. Sang ibu kemudian meninggalkan rumah sakit dalam keadaan cemas mengenai bagaimana ia akan mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Melahirkan seperti bukan lagi momen bahagia, namun menyedihkan.
Ada pula seorang ibu yang mau melahirkan, tiba-tiba rumahnya dibom. Tubuh ibu itu harus ditarik dengan susah payah dari reruntuhan. Kondisi tubuhnya sungguh menyayat hati.
“Ia cedera di bagian belakang kepala, sehingga proses melahirkan menjadi sangat rumit. Kami harus berjuang untuk menemukan posisi yang tepat agar dia bisa melahirkan dengan aman. Situasi-situasi semacam ini tidak ada dalam pelatihan atau buku-buku yang kami pelajari,” kenang Nour.
Ada lagi ibu yang hamil delapan bulan dan mengalami pendarahan hebat akibat luka-luka saat melarikan diri dari pemboman. Tim medis berusaha keras menyelamatkannya. Qadarullah, ibu dan bayinya meninggal dunia.
Nour juga menyaksikan lima orang ibu hamil korban pemboman. Para dokter berjuang keras menyelamatkan bayi-bayinya, namun hanya berhasil dua saja.