Kesulitan Pasca Persalinan
Hampir semua wanita bersalin yang datang ke RS mengalami luka atau peradangan parah. Kondisi ini menyulitkan persalinan normal.
“Tidak ada makanan bersih, air bersih, atau perlengkapan kebersihan. Mereka datang ke RS dalam keadaan tidak mandi berhari-hari, rambutnya penuh kutu, tidak bersih dan tidak steril. Semua ini meningkatkan risiko persalinan,” jelas Nour.
RS menyediakan kamar mandi bagi mereka sebelum proses persalinan. Juga menyediakan perlengkapan kebersihan dasar, termasuk pisau cukur, sabun, dan sampo. Namun setelah melahirkan, mereka harus kembali ke tenda-tenda darurat.
“Banyak yang memohon agar kami tidak menjahit lukanya setelah melahirkan. Katanya, mereka tinggal di tenda yang tidak ada kamar mandinya dan tidak memiliki akses air bersih atau gas untuk menyalakan kompor dan merebus air untuk mensterilkannya. Akibatnya, banyak yang terinfeksi akibat kondisi tempat tinggal yang buruk.”
Ibu-ibu itu tidak memiliki pembalut yang amat dibutuhkan setelah melahirkan. Kalaupun ada, harus beli dengan harga yang amat mahal.
“Mereka juga tidak memiliki privasi untuk menyusui bayi karena tenda-tenda penuh sesak. Kebutuhan minimum bagi wanita yang baru saja melahirkan tidak tersedia di Gaza.”
Berat badan bayi yang baru lahir menurun sekitar 30%. Kesehatan umum mereka menurun. “Hal ini mencerminkan kekurangan gizi pada ibu hamil,” kata Nour.
Ditambah lagi ada penyakit menular, seperti hepatitis A, yang menyebar di kamp-kamp pengungsian yang penuh sesak. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, tercatat ada 45.000 kasus hepatitis selama perang, padahal sebelumnya hanya ada 85 kasus. Padahal seorang ibu yang terinfeksi hepatitis memiliki risiko pendarahan.

“Kami pernah menangani persalinan seorang ibu penderita hepatitis. Kami berusaha keras untuk menyelamatkannya, tetapi dia meninggal. Kami tidak memiliki perawatan intensif atau protokol standar yang bisa diterapkan,” tambahnya.
Seiring berlanjutnya perang, jumlah wanita yang melahirkan di RS terus menurun. Saat ini hanya sekitar 15 orang setiap harinya.
“Orang Palestina dikenal dengan kecintaannya pada keluarga dan anak-anak. Betapa bahagianya mereka saat merayakan datangnya kelahiran, tetapi sekarang jumlahnya jauh lebih sedikit,” kata Nour sedih.
Berbagai tragedi yang tiada henti membuat hati Nour kerap terguncang. Sebagai bidan, dia tetaplah manusia biasa.
“Kami semua bidan memiliki ketakutan yang sama, jadi kami mencoba menghibur satu sama lain. Beberapa di antara kami akan merasa lelah dan khawatir, dan kami akan bergantian saat seseorang butuh istirahat.”
Namun rutinitas membantu persalinan mengingatkan Nour bahwa hidup terus berjalan.
“Perang tidak menghentikan kehidupan. Orang-orang masih punya anak. Mereka masih menikah. Wajar saja bagi orang-orang untuk terus hidup, bahkan dalam situasi yang tidak normal.”
“Saya pun bertunangan saat perang,” Nour menceritakan pertemuannya dengan seorang relawan muda di tim keamanan RS dan keduanya jatuh cinta.
Nour berharap perang segera berakhir sehingga mereka dapat menikah dan memulai babak baru dalam kehidupan yang tenang.*