Hidayatullah.com–Penemuan koin-koin perak dirham kuno
di Swedia beberapa waktu yang lalu telah berhasil menggugah kesadaran kita
kembali bahwa ternyata Peradaban Islam kuno telah menyebar begitu jauh dari
Dunia Arab. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa Peradaban Islam
(terutama melalui penggunaan dirham) telah memainkan peranan penting di kawasan
Eropa dan sekitarnya. Penterjemah berusaha menelusuri tulisan-tulisan yang
membahas tentang hubungan bangsa Viking dengan Dunia Islam waktu itu.
Sebagaimana diketahui,
orang-orang Viking adalah suku bangsa dari Skandinavia yang berprofesi
sebagai pedagang, peladang, dan paling terkenal sebagai perompak (seringkali
setelah gagal berniaga) yang di antara tahun 800 dan 1050 menjarah, menduduki
dan berdagang sepanjang pesisir, sungai dan pulau di Eropa dan pesisir timur
laut Amerika Utara, serta bagian timur Eropa sampai ke Rusia dan
Konstantinopel. Mereka menyebut diri mereka sebagai Norsemen (orang-orang
Utara), sedangkan sumber-sumber utama Russia dan Bizantium menyebut
mereka dengan nama Varangian. Sampai sekarang orang Skandinavia moderen masih merujuk
diri mereka sebagai nordbor (penduduk utara).
Dirham adalah mata uang
yang digunakan di negara-negara Arab, yang tadinya merupakan ukuran berat
(dalam istilah kerajaan Ottoman disebut dram). Berdasarkan sejarah, kata
“dirham” berasal dari nama sebutan koin Yunani, Drachma; Kerajaan
Byzantium mengawasi daerah Timur dan perdagangan dengan Arabia, perputaran koin
di sana pada
masa pra-Islam dan sesudahnya. Nama mata uang inilah yang pada awalnya diadopsi
menjadi suatu kata Arab; kemudian mendekati akhir abad ke VII koin tersebut
menjadi mata uang Islam yang melambangkan nama kedaulatan dan sebuah ayat
religius. Dirham dicetak di banyak negara sekitar Laut Tengah, termasuk
Spanyol, dan kemungkinan digunakan sebagai mata uang di Eropa antara abad ke 10
dan 12.
Viking Age (Jaman Viking) adalah nama periode
antara tahun 793 hingga tahun 1066 AD di daerah Scandinavia dan Inggris, yang
diikuti dengan the Germanic Iron Age (Jaman Besi Jerman) dan the
Vendel Age (Jaman Vendel) di Swedia. Selama periode ini, orang-orang
Viking, pedagang-pedagang dan para prajurit Scandinavia,
menyerbu dan mengeksplorasi seluruh bagian Eropa, Asia Baratdaya, Afrika utara
dan Amerika Utara bagian timurlaut. Kali ini, redaksi hidayatullah.com
menurunkan hubungan Viking dan Peradaban Islam tulisan Judith Gabriel berjudul
asli ”Among The Norse Tibes The Remakable Account of Ibn Fadlan”
(Diantara Sukubangsa-sukubangsa Norse-Catatan Menakjubkan Ibn Fadlan) dan
diterjemahkan secara baik oleh oleh Basuki Effendi. Tulisan
diturunkan secara berseri. []
0O0
Lebih dari satu millennium
yang lalu, sebagaimana armada-armada perompak-perompak Viking yang menyebarkan
ketakutan di jantung pantai dan para penghuni tepian sungai sepanjang Eropa
barat, orang-orang Utara (Norsemen, yaitu sebutan untuk orang
Skandinavia, Norwegia, atau daerah Utara kuno) lainnya yang cenderung berdagang
sedang membuat jalan ke timur dengan cara mereka. Dengan daya tahan dan
keberanian yang besar, serta membawa pakaian dari bulu binatang mewah dan
batu-batu amber yang memikat, mereka menembus stepa-stepa luas dari
daerah-daerah yang pada hari ini disebut Ukraina, Belarus dan Rusia serta
memasuki Asia Tengah. Di sana mereka berjumpa dengan pedagang-pedagang Muslim yang
membayar barang-barang orang Norse dengan matauang-matauang perak, di mana
orang Viking sendiri tidak membuatnya, dan mereka iri serta mendambakannya.
Rute-rute mereka
bermacam-macam, dan pada abad-abad kesembilan dan kesepuluh, suatu jaringan
perdagangan reguler akhirnya berkembang. Beberapa orang Utara menempuh
perjalanan melalui darat dan sungai, sedangkan yang lain berlayar mengarungi
Laut Hitam dan Laut Kaspia, bergabung dengan kafilah-kafilah dan mengendarai
onta sejauh Baghdad, yang berada dibawah pemerintahan dinasti Abbasia dan
didiami oleh hampir satu juta jiwa. Di sana, pedagang-pedagang Skandinavia
menemukan suatu emporium atau pusat perniagaan yang berada di luar mimpi-mimpi
paling liar mereka, karena fjord yang melingkari tanah air mereka hanya
memenyaksikan kemunculan beberapa kota yang bersifat elementer.
Bagi orang-orang Arab
Baghdad, kehadiran orang-orang Utara ini mungkin bukan merupakan suatu kejutan,
karena orang-orang Arab tersebut sudah terbiasa bertemu dengan orang-orang dari
peradaban dan kultur-kultur yang berbeda. Mereka juga merupakan
peneliti-peneliti yang terpelajar dan tekun. Sejarawan-sejarawan Abbasiyyah dan
duta-duta kalifah menuliskan catatan-catatan saksi mata para penjelajah
Scandinavia ini, dan meninggalkan suatu warisan historis yang menyinarkan
cahaya baru baik untuk sejarah Viking maupun sejarah awal Islam yang sedikit
diketahui.
Dari saat penyerbuan Viking
ke Inggris pertama kali di akhir abad ke delapan, epos 300 tahun berikutnya
dikenal sebagai Jaman Viking dimana ditemukan orang-orang Scandinavia
berspekulasi dengan mengarungi daerah-daerah tak dikenal lebih jauh dibanding
orang-orang Eropa yang lain. Mereka menjajah hampir seluruh Lautan Atlantik
Utara, kemudian mendirikan tempat tinggal sementara di Amerika Utara pada
sekitar millennium berikutnya. Mereka adalah sebagian besar orang-orang
Viking dari Norwegia dan Denmark yang membuat perjalanan-perjalanan ke Barat
ini, tetapi gelombang dari orang-orang “Viking Timur,” adalah
merupakan sebagian besar Orang Swedia bagian Tenggara yang dipimpin untuk
membuat pusat-pusat perdagangan di Kiev dan Novgorod, dimana para elite mereka
menjadi para penguasa dan para pangeran. Di tanah-tanah inilah mereka diamati
oleh beberapa sejarawan-sejarawan Muslim.
Para penulis Arab menyebut
pedagang-pedagang yang jangkung dan berambut putih itu sebagai orang-orang
“Viking,” tetapi dengan ethnonym Rus (dilafalkan
“Roos”). Asal muasal istilah ini tidak jelas, dan meskipun beberapa
klaim mengatakan bahwa istilah itu berasal dari sebutan atau nama Finnic Barat
untuk orang-orang Swedia, Ruotsi, kemungkinannya kecil sekali. Namun secara
konsisten, para penulis Byzantium dan Arab menunjuk para penetap dan
pedagang-pedagang swedia, seperti juga populasi lokal di tempat dimana mereka
menetap dan saling menikah, sebagai Rus, dan sebutan ini merupakan asal nama
modern dari Rusia.
Nama tersebut hanya
diterapkan di dunia Timur. Di Perancis dan Sicily, orang-orang Viking dikenal
sebagai orang-orang Norman. Suatu pasukan pilihan yang menjaga kaisar-kaisar
Byzantium, terdiri atas orang-orang Scandinavia Timur, yang dikenal sebagai
orang-orang Varangian, dimana istilah tersebut tidak digunakan secara meluas
diluar daerah itu. Di al-Andalus, atau Spanyol Islam, mereka dikenal sebagai
al-majus, atau “fire-worshippers” (para pemuja api), satu
istilah pejoratif menyangkut ritus penyembahan berhala mereka.
Selain orang-orang
Scandinavia sendiri, hanya orang-orang Inggris yang menyebut perampok-perampok
tersebut “Viking,” dan kata ini boleh jadi datang dari vik; atau
teluk, dan Viken, sebagaimana Fjord Oslo disebut, dari mana kapal-kapal Viking
pertama kali muncul. Otoritas-otoritas lainnya tetap berpendapat bahwa nama
tersebut datang dari istilah Norse Tua i viking, yang sama artinya dengan
“menyerang,” seperti pada “mereka menyerang sepanjang pantai
Lautan Atlantik.” Tetapi “Viking” tidak merupakan satu istilah
yang meliputi seluruh masyarakat di daerah tersebut sampai menjadi populer
karena penggunaan istilah yang salah oleh dunia modern.
“Kita dapat mengacu
pada masyarakat Jaman Viking, tetapi tidak semua orang Scandinavia adalah orang
Viking,” kata Jesse Byock, seorang profesor literatur Norse Tua di
Universitas California di Los Angeles. “Mereka sendiri menggunakan istilah
tersebut untuk mengacu pada perompak-perompak dari daerah, tetapi hal itu pasti
tidak menerangkan petani-petani lokal yang kembali ke daratan.”
Di Eropa Barat,
catatan-catatan jurnal tentang penyerbuan-penyerbuan Viking sering ditulis oleh
para imam dan biarawan-biarawan yang berminat melukiskannya di dalam
warna-warna yang paling gelap, kebanyakan malah dengan warna-warna liar. Tetapi
di Timur, ceritanya berbeda. Di sana orang-orang Rus terutama merupakan para
penjelajah, para penjajah dan para pedagang, dan walaupun mereka dipersenjatai
dengan baik, catatan-catatan Muslim menguraikan mereka sebagai tentara-tentara
pedagang yang bisnis utamanya adalah berdagang. Orang-orang Rus memburu
uang-uang dirham dinasti Abbasiyah yang melimpah di daerah, dan walaupun
kadang-kadang di daerah-daerah yang lebih jauh mereka memperolehnya dengan cara
memeras upeti, mereka sebagian besar berdagang dengan orang-orang Muslim yang
berspekulasi menjelajah ke Utara dan Barat untuk menemukan peluang berdagang.
Pada kenyataannya yang kita
ketahui tentang bangsa Rus, yaitu orang Norsemen di Timur ini sedikit sekali,
kebalikannya dengan para sejarawan Muslim. Ibn Fadlan dari abad ke sepuluh,
dimana bukunya Risala (Surat) merupakan catatan yang paling kaya tentang bangsa
Rus di antara yang lainnya, menjaga bukunya yang mencatat secara detil
pertemuan-pertemuannya dengan orang-orang Rus di sepanjang sungai Volga, sebaik
banyak sejarawan Muslim lainnya. Beberapa dekade kemudian, al-Tartushi, seorang
pedagang dari Cordoba, menguraikan tentang suatu kota pasar orang Danish
(Denmark) yang jarang sekali dijelaskan, dan cerita itu sampai kepada kita
dalam sebuah pandangan sekilas tentang orang-orang Norse di dalam suasana
lingkungan domestik mereka sendiri. Catatan-catatan lainnya, seperti Meadows
of Gold (Padang rumput Emas)nya al-Mas’udi, yang ditulis di tahun 943, dan The
Best Organization of Knowledge of the Regions (Organisasi Terbaik tentang
Pengetahuan Daerah-daerah)nya al-Mukaddasi, yang ditulis setelah tahun 985,
yang lebih ringkas dalam penjelasan-penjelasannya tentang bangsa Rus, tetapi
secara bersama-sama mereka semua menjadi pelopor-pelopor di dalam apa yang
kemudian tumbuh menjadi bidang ilmu pengetahuan geografi Islam, sebuah
tanggapan terhadap rasa haus akan pengetahuan tentang keluasan Kerajaan Islam
dan daerah-daerah di luarnya.
Tidak seperti orang-orang
Eropa, penulis kronik Arab tidak memendam rasa dendam terhadap bangsa Rus,
sehingga dengan demikian laporan-laporan Arab lebih objektif, tidak memihak
dan, dalam pandangan para sarjana modern saat ini, lebih terpercaya. Kebanyakan
para ahli mengakui bahwa orang-orang Viking adalah, secara umum, korban-korban
dari suatu “pemberitaan yang tidak baik” abad Pertengahan karena
operasi-operasi militer Charlemagne dan orang Eropa lainnya saat itu yang
sebenarnya tidak lebih bengis dibandingkan mereka sendiri. Sayangnya
orang-orang Norse hanya mempunyai sebuah alfabet runic, yang hanya cocok untuk
sekedar menggores batu-batu nisan dan penanda tempat-tempat, dan alfabet
tersebut sulit untuk diatur guna mencatat keperluan mereka sendiri.
Hikayat-hikayat lisan mereka tentang para pahlawan dan dewa-dewa belum
dituliskan sampai abad keduabelas.
Kebanyakan catatan-catatan
orang Muslim telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa lebih dari dua
abad yang lalu, dan catatan-catatan tersebut terbukti amat berharga dalam
menginterpretasikan bukti arkeologis yang secara berkesinambungan saling
bermunculan. Ratusan makam-makam dan timbunan-timbunan harta karun dari jaman
Viking timbul kembali, dan berisi koin-koin dirham Arab yang tetap bersinar,
“koin yang membantu menghidupkan Jaman Viking,” menurut Thomas S.
Noonan dari Universitas Minnesota. Noonan adalah salah satu ahli-ahli terkemuka
dunia mengenai pertalian persaudaraan masyarakat Scandinavia Abad Pertengahan
dengan dunia Muslim, dan seorang spesialis dalam sejarah numismatic Viking.
Koin-koin tersebut sebagian
besar berupa dirham yang memikat orang-orang Scandinavia Timur pertama kali,
kata Noonan. Perak telah menjadi alat pembayaran yang mereka sukai, tetapi
dengan tidak adanya sumber-sumber logam-mulia di hutan-hutan Utara, mereka
pergi mencarinya kemana-mana. Para pedagang Arab telah memulai perputaran
mata-uang mata-uang perak di daerah Volga di akhir abad kedelapan, dan
pedagang-pedagang Scandinavia, dengan tujuan untuk menemukan sumber uang
tersebut, mengatur suatu jalan menyeberangi Laut Baltic dengan perahu-perahu
panjang mereka.
Di Rusia, mereka menantang
jalur-jalur sungai yang belum dipetakan, menjelajah dari satu anak-sungai ke
anak-sungai yang lain, mengarungi sungai yang deras, menjaga diri dari
pengembara-pengembara yang bermusuhan sampai mereka mencapai pusat-pusat
perdagangan Timur yang pertama, yaitu daerah orang-orang Khazar Turkic.
Orang-orang Khazar telah menjadi kekuatan dominan di stepa Pegunungan
Caucasia pada pertengahan abad ketujuh, dan mereka memainkan peranan utama
dalam perdagangan antara daerah tersebut dengan dunia Islam selama 300 tahun
berikutnya. Di sini, di dalam jaringan pusat-pusat perdagangan sepanjang
sungai-sungai perkasa, orang Swedia telah melakukan perdagangan aktif dengan
orang-orang Arab, Persia dan Yunani. Dari sana, sebagian orang-orang
Scandinavia tersebut berlayar menuju Laut Hitam, ke daerah-daerah yang mereka
sebut “Sarkland,” satu nama yang boleh jadi merujuk pada negeri-negeri
orang-orang Saracen (Muslim) (saat ini bernama Azerbaijan dan Iran Barat laut);
bagi orang-orang Khazar nama itu merujuk pada benteng Sarkel, yang terletak
pada muara sungai Don di Pantai Laut Hitam; atau serk, istilah Norse untuk
menyebut sutera, yang luas diperdagangkan di daerah tersebut pada saat itu.
Referensi paling awal yang
ditulis oleh para penulis Muslim mengenai penjelajahan orang-orang Norse ini
dibuat pada permulaan abad kesembilan oleh Ibn Khurradadhbih, seorang Khurasani
yang memimpin dinas Pos dan Intelijen Khalifah al-Mu’tamid. Di tahun 844 ia
menulis tentang perjalanan-perjalanan saqalibah – istilah yang secara umum
digunakan untuk menyebut orang-orang berambut pirang dan berkulit kasar Eropa.
Mereka datang dengan perahu-perahu mereka, tulisnya, “dengan membawa
kulit-kulit berang-berang, kulit-kulit rubah hitam, dan pedang-pedang, dari
tanah-tanah orang Slavia yang paling jauh menuju ke Laut Hitam.” Para
pedagang Rus, ia menulis, mengangkut barang-barang mereka dengan unta dari Jurjan,
sebuah kota di ujung Tenggara Laut Caspia, ke Baghdad, di mana para pelayan
saqalibah, yang telah belajar Bahasa Arab, bertindak sebagai
penterjemah-penterjemah. [bersambung/hidayatullah.com]