SEBUT saja namaku Zaenal (37), saat ini memiliki tiga orang anak yang manis dan istri yang sangat setia. Pekerjaanku adalah seorang sopir pribadi. Sebelum menjadi sopir, saja bekerja berpindah-pindah perusahaan.
Pernah bekerja di perusahaan obat sebagai pemasaran. Pernah pula bekerja di sebuah perusahaan penjual mesin-mesin pabrik dengan pekerjaan sebagai sopir.
Yang terakhir, saya bekerja menjadi sopir pribadi seorang dokter spesialis, sebut saja dr. Anna. Seorang dokter spesialis jantung berjilbab yang sangat baik.
Sehari-hari pekerjaanku adalah mengantarnya ke kantor, ke tempat praktik dan mengantarnya pulang. Bekerja di tempat orang yang baik membuatku merasa nyaman. Apalagi orang seperti dr. Anna penuh pengertian. Dia kadang-kadang tahu keperluanku dan tahu kebutuhanku.
Sayang baru dua tahun bekerja dengannya, dr Anna pindah dan membuatnya harus tinggal bersama keluarganya di Ibu Kota, Jakarta. Kabar kepindahan ini membuat saya agak kaget. Maklum, mencari pekerjaan yang baik dan membuat hati merasa nyaman di zaman seperti ini bukanlah gampang.
“Saya mulai bulan depan pindah ke Jakarta, tapi kamu gak usah khawatir, “ ujarnya.
Tentu saja saya khawatir. Saya masih numpang di rumah mertua, selama pengantin baru hingga saat ini. Jika saya harus kehilangan pekerjaan dalam waktu cepat tanpa ada pengganti, bagaimana perasaan saya dan istri nanti di hadapan mertua dan adik-adik ipar? Saya tak mau jadi benalu. Sudah menumpang, tidak bekerja lagi. Ah!
Hari sudah berjalan. Dr Anna tinggal dua hari berangkat ke Jakarta. Di tengah rasa gundah, dr Anna menelponku untuk datang ke tempatnya.
“Zen, saya akan segera berangkat lusa, mungkin saya tidak bisa bertemu lagi. Saya bersama keluarga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu selama ini,” katanya.
Sambil basa-basi, saya juga mengucapkan terima kasih karena bisa bekerja dengannya. Semantara di dalam hati, saya masih diliputi rasa kalut. Sebab besuk lusa, saya sudah akan lontang-lantung mencari pekerjaan lagi.
“Tidak ada yang berubah, Zen. Semua tetap berjalan seperti kemarin. Hanya tugasmu berpindah orang. Kamu akan bekerja di temanku, Muhammad. Dia teman kuliahku, dan insyaAllah pria dan seorang Muslim yang baik,” tambahnya seolah mengerti apa yang sedang saya pikirkan.
Benar, sehari kepergian dr Anna ke Jakarta, seseorang menelponku di tengah malam.
“Pak, saya Muhammad. Besuk mulai kerja ya, silahkan ke rumah,” katanya.
Ahamdulillah, akhirnya saya tetap memiliki pekerjaan.
Berpelukan
Pindah dari dr Annak saja bekerja di dr Muhammad. Sama-sama seorang dokter. Yang berbeda, dr Muhammad adalah seorang dokter anastesi. Kesibukannya lebih padat dari dokter Anna.
Selain mengantar ke kantor, saya harus siap sedia mengantarnya ke mana saja. Biasanya dia diminta ke beberapa rumah sakit untuk kepentingan operasi.
“Zen, apa kamu tidak mal uterus menumpang di rumah mertua, “ ujar, pria lulusan sebuah fakuktas kedokteran di Universitas Negeri bergengsi ini di tengah laju kendaraan yang aku setir usai melakukan operasi di sebuah rumah sakit swasta.
“Ya malulah pak, tapi mau bagaimana lagi, saya tidak pernah bermimpi punya rumah,” kataku.
Tentu saja saya tidak asal bicara. Memiliki sebuah rumah di Kota besar seperti di Surabaya ini ibarat mimpi di siang bolong. Selain harga tanah kelewat mahal, uang gajian menjadi supir tak akan cukup digunakan membangun rumah, hatta sekalipun itu “gubuk derita”. Boro-boro bank percaya uang gajian supir untuk pinjaman. Karena itu, bagiku, pertanyaan dr. Muhammad hanyalah basa-basi, sekedar menghibur diri di tengah perjalanan.
Dua hari berikutnya, di tengah perjalanan ke sebuah rumah sakit, ia kembali bertanya padaku dengan pertanyaan yang sama. Dan saya menjawabnya dengan jawaban yang sama pula.
Suatu hari, saya lupa tepatnya. Ia kembali bertanya padaku dengan pertanyaan sama. Hanya saja kali ini ada kalimatnya yang saya rasakan agak serius.
“Zen, cobalah cari rumah kecil-kecilan, nanti datang lagi ke saya, laporkan,” ujarnya.
Saya tidak pernah “gede rasa” (GR) dengan tawarannya. Tapi iseng-iseng, usai mengantarnya pulang, saya mampir ke sebuah kantor pemasaran sebuah developer. Bak orang berduit, pihak marketing menyambut saya dengan mengantar berkeliling melihat rumah-rumah ukuran kecil. Hingga saya jatuh hati pada rumah mungil tersebut. Alkisah, usai ngobrol panjang, saya membawa beberapa brosur dengan harga lengkapnya. Tetap saja rumah sekecil apapun ukuran developer itu mahal bagi saya.
Hari itu, Senin pagi, dr Muhammad punya acara padat. Saya diminta datang habis Subuh di rumahnya. Baru sekali ini saya bekerja berangkat pagi buta. Biasanya, paling banter setengah tujuh. Itupun jika ada acara-acara penting. Berangkat pagi buta seperti ini kadang membuatku merasa kurang nyaman. Maklum, saya harus kehilangan waktu-waktu bahagia. Sebab, biasanya pagi-pagi bisa mengantar istri ke pasa, sarapan bareng dan dilanjutkan mengantar anak-anak ke sekolah. Tapi ya sudahlah, ini karena tugas.
Tapi pagi itu rupanya kejutan datang menghampiriku. Dr Muhammad dan istrinya sudah menunggu di ruang tamunya disertai istri.
“Bagaimana, Zen, sudah ketemu rumah idamanmu?,” katanya. “Sudah pak,” kataku sambil membelikan beberapa brosur lengkap dengan harganya. Kala itu, saya tertarik dengan rumah mungil dua kamar seharga Rp. 70 juta.
Sedikitpun, saya tak pernah bermimpi punya rumah, apalagi ditawarin orang. Maklum, saya masih belum mengenal dr Muhammad dan selain itu saya baru beberapa bulan saja bekerja dengannya.
“Begini, saya sudah bicara pada istri. Saya bergembira jika kamu memiliki rumah idaman sendiri. Saya akan bantu 25%, sisanya kamu cicil semampu kamu.”
Ucapan pasangan dokter yang baik ini sangat mengagetkanku. Rupanya dia serius selama ini. Padahal, saya hanya pekerja baru, dan dia tak mengenal saya dengan baik. Apa yang ada dalam kepalanya? Entahlah mungkin inilah yang disebut takdir Allah Subhanahu Wata’ala.
Dan benar saja, hari itu dua orang majikan yang baik hati ini mengantarkanku ke pihak developer membayar “rumah mimpi” itu dengan uang cash. Saya masih bisa lihat, bahkan ikut menghitung dengan tangan gemetar uang puluhan juta yang selama ini hanya say abaca, karena tidak pernah menyentuhnya.
Usai membayar, kami serah terima kunci. Saya menangis haru, ketika dr Muhammad memelukku menyerahkan kunci.
“Selamat, Zen. Sekarang ini rumahmu. Bawa pindah istri dan anakmu, dan hidupkan bahagia di sini.”
“Ya Allah, apa lagi yang harus kukatakan padamu dengan semua karunia ini?”
***
Sore hari tidak seperti biasanya. Saya pulang agak lambat karena harus menunggu usai tugas-tugas dua majikan dokter ini. Sebelum saya pulang, saya SMS istri agar menunda makan malam, karena saya akan beli makanan istimewa.
Saya gas kencang-kencang motorku agar sampai di rumah. Malam itu, sama makan bersama-sama, tanpa memberi tahu istri jika saya telah memiliki rumah.
Pagi hari, usai mengantar anak-anak, saya ajak istri mengunjungi “rumah mimpi”.
“Untuk apa ke sini mas, saya masih banyak cucian, “ kata istriku dengan polos. Sambil pagar depan, saya bertanya kepadanya, bagaimana rasanya jika memiliki rumah seperti ini.
“Ah, bicara yang lain ajalah mas, kayak kamu anaknya pegawa bank saja, “ katanya sambil tertawa.
“Ya, memang ini benar rumah idaman kita. Saya telah membelinya.”
Ia masih tidak percaya. Hingga kemudian saya keluarkan kunci pintu dan kunci kamar. Di dalam rumah, kami berpelukan, karena istriku menangis tiada henti.
Sebulan setalah kejadian ini saya saya pindahkan anak-istri dari rumah mertua yang sudah sesak dengan keluarga adik ipar. Dan hidup saya terasa lain setelahnya. Saya datang pagi tanpa diminta, apalagi jika saya tahu majikan ada kesibukan ekstra.
Saya bahkan tak segan kembali jalanan untuk bertugas meski di malam hari jika kedua pasangan dokter itu sedang ada operasi mendadak.
Meski saya banyak mendapat kemudahan dari dua orang ini, tak pernah sedikitpun kebaikannya berubah. Bahkan boleh dikata, kebaikannya tidap hari makin bertambah. Meski meminjami uang untuk beli rumah, tak pernah sekalipun dia memaksa, menekan apalagi memaksa.
Begitu baiknya, sampai-sampai kendaraan yang biasa saya gunakan untuk mengantarnya diminta agar langsung saya bawa ke rumah. Alasannya, biar saya pulang cepat dan berangkat awal. Setiap pulang, ada saja bawaan atau oleh-oleh untuk anak atau istriku.
“Zen, ini untuk anak dan istrimu, salam ya untuk istrimu, “ begitu gaya salah satu di antara mereka.
Entahlah, saya merasa ikhlas dan senang melakukan pekerjaan seberat apapaun kepada dua orang itu karena selama ini mereka telah menyemai kebaikan.
Rasanya, baru kali ini saya menemukan seorang pasangan dokter baik hati. Sudah Muslim dan keduanya sopan dan baik kepada buruhnya, seolah-oleh dia memperlakukan keluarga sendiri.
Karena itu, jika ada tugas menghampiiriku, seolah ada yang berkata dalam diri saya, “mengapa saya tidak bisa melakukan hal terbaik bagi orang yang selama ini telah banyak berbuat baik bagi keluarga saya?”.
Hikmah
Walhasil, sesungguhnya tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula), barangsiapa menyayangi makhluk Allah maka Allah akan menyayanginya. Sebagai mana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam;
“Orang-orang yang penyayang, maka Allah akan menyayangi mereka. Sayangilah penduduk bumi maka penduduk langit akan menyayangi kalian.” (HR. At-Tirmidzi).*/kisah ini diceritakan langsung pada hidayatullah.com. Redaksi menerika kisah-kisah inspiratif seperti ini agar bisa menjadi pelajaran dan cermin bagi yang lain