Hidayatullah.com—Tetap terjaga di tengah malam. Itulah hal terberat yang dirasakan oleh Salim Idris, komandan tertinggi pasukan oposisi Suriah yang baru diangkat bulan Desember 2012 ini di Turki.
Mantan jenderal yang membelot dari militer rezim Suriah lima bulan lalu itu mengaku harus pindah dari satu rumah aman ke rumah lain sejak menjadi komandan pasukan oposisi. Dia bahkan bisa berganti markas dua kali dalam satu malam, ketika dicurigai ada mata-mata rezim yang mengintai.
“Ketakutan terbesar” Idris adalah kemungkinan Presiden Bashar al-Assad yang semakin terjepit itu memutuskan untuk menggunakan senjata kimia. Teman-teman Idris yang masih berada di lingkungan militer rezim memperingatkannya akan hal itu.
Logistik juga merupakan bagian dari kekhawatirannya. Pria lulusan Jerman berusia 55 tahun dan mengajar elektronika di akademi militer Suriah itu harus berkomunikasi menggunakan Skype dengan para bawahannya. Komunikasi penting di antara mereka seringkali terputus karena baterai laptopnya habis dan tidak ada suplai listrik untuk melanjutkannya.
Komandan pasukan lokal di lapangan menjadi tantangan tersendiri. Misalnya saja di daerah Maarit Misrin di Provinsi Idlib di mana dia dicap sebagai pahlawan kesiangan. Para komandan lokal dari suku setempat yang biasa mengambil keputusan sendiri di lapangan menilai Idris terlambat bergabung dengan pasukan oposisi dan dia tidak pantas menjadi pemimpin mereka, sebab belum merasakan bahaya yang sebenarnya di lapangan.
Meskipun demikian, Idris merasa terpilih sebagai komandan tertinggi secara layak. Ratusan komandan yang bertemu dalam konferensi di Turki itu mewakili sebagian besar kelompok pejuang oposisi Suriah. Para komandan pasukan di lapangan menunjuk 260 orang sebagai anggota dewan militer, yang kemudian memilih 30 di antara mereka sebagai pemimpin militer. Kelompok kecil itu kemudian yang bersepakat mengangkat Idris sebagai komandan tertinggi mereka.
Idris, yang berkarir di militer Suriah selama 35 tahun, menetap di Turki setelah membelot pada bulan Juli lalu.
Dia sudah membentuk lima pusat operasi regional, dengan menempatkan 15 bekas anggota militer Suriah di masing-masing wilayah operasi militer itu.
Latar belakang anggota pasukan oposisi yang beragam, di mana sebagian besar berasal dari rakyat sipil, menjadi kendala tersendiri. Kekacauan sering terjadi di lapangan, sebab pasukan mereka sebagian besar tidak pernah menjalani latihan miiter.
“Di militer ada disiplin. Tapi di sini disiplin sangat minim. Kami perlu banyak kesabaran,” katanya dalam wawancara dengan Associated Press Selasa malam (18/12/2012) di lobi bekas sebuah hotel yang terbengkalai di Antakya perbatasan Turki-Suriah.
Perpindahannya dari tempat persembunyian satu ke tempat lain sering terganggu. “Kami membawa peta. Kadang kami kehilangan sesuatu, sebab tidak terorganisir dengan baik. Tapi apa mau dikata, kami tidak punya pilihan.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Keberadaan pejuang dari kelompok Islam yang dicap teroris oleh Barat menjadi kendala pasokan senjata dari luar negeri. Keberadaan mereka dijadikan alasan negara-negara Barat tidak memasok pasukan oposisi dengan persenjataan canggih untuk melawan pendukung Bashar al-Assad.
Menurut Idris, jika mereka mendapat pasokan senjata yang canggih, oposisi dapat mengalahkan Assad dan pendukungnya dalam waktu satu bulan saja. Tapi tanpa bantuan senjata dari luar negeri, upaya itu bisa berlangsung berbulan-bulan.
Idris mengatakan Assad “bisa dan akan” menggunakan senjata kimia, kecuali masyarakat internasional menekannya untuk segera hengkang.
“Kami tahu persis di mana keberadaan mereka (senjata kimia Assad-red) dan kami mengawasi semuanya,” kata Idris. “Tapi kami tidak punya kemampuan untuk menguasainya,” imbuhnya.*