Sambungan dari kisah kedua
Hidayatullah.com– Tanggal (03/08/1989) menjadi satu hari menyejarah bagi Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Kalimantan Timur. Secara khusus bagi 31 pasang santri yang baru saja dinikahkan melalui Pernikahan Massal di kampus Gunung Tembak.
Meski sederhana. Semua ikut bergembira bersama pengantin yang bahagia. Kalau dulu badan penuh lumpur, kini kemeja sedikit wangi bercampur. Kalau dulu sehari-hari pikul air dari sumur, sekarang mereka rapi bercukur, dengan baju necis sudah diukur.
Nikah di pesantren kayak main-main saja. Tapi syariat benar-benar dijaga. Ucap ustadz yang masih berlanjut kisahnya tersebut. Cerita ini disampaikan kepada saya dan seorang sahabat, akhir Ramadhan 1440H/2019 lalu, di kediamannya, di Balikpapan.
Main-mainnya bagaimana? Jodoh itu seperti ditukar-pasang begitu saja. Padahal, peserta pernikahan selalu diyakinkan bahwa jodoh mereka tidak mungkin tertukar atau salah pasang.
Soal jodoh sama dengan rezeki. Semua orang hanya jadi perantara. Sedang ketetapannya langsung dari langit. Dari Zat Maha Bijaksana. Pengatur segala urusan kehidupan.
Ustadz itu menceritakan, meski sudah tandatangan, ternyata nama calon bisa berubah dari yang disodorkan sebelumnya. Tidak seperti yang tertera. Sampai hari-H dan akad nikah nantinya.
Menurutnya, demikian itu sering terjadi. Bukan karena kelalaian panitia atau tim pengarah. Tapi diyakini sebagai kerja dari “wahyu sistem” atau rekayasa Ilahi. Sekaligus juga bagian dari uji kekaderan santri.
Anehnya, setelah “diadon” ulang kembali, nama yang muncul justru adik dari sahabat seperjuangan sekaligus mentornya berdakwah. Mereka pernah sama-sama merintis pesantren di Sulawesi Utara. Bedanya, ia di Bitung. Sedang seniornya bertugas di Kinilow, Manado.
Padahal, ia mengaku, sejak bersahabat, tak pernah tahu perihal saudara-saudara perempuan seniornya itu. “Ya cuma fokus kerja dan dakwah. Foto saja tidak sempat lihat. Apalagi kenal orangnya,” jawabnya lugas.
Apakah itu main-main? Tidak. Itu wujud keyakinan utuh santri yang penuh takzim kepada guru, Ustadz Abdullah Said Rahimahullah. Keyakinan top seperti itu memang nyaris di atas rata-rata. Tak semua bisa. Berat. Penuh resiko.
Usai prosesi akad nikah, kejutan demi kejutan rupanya belum berakhir. Atas perintah Pimpinan Rahimahullah, seluruh mempelai putra diarahkan tinggal di Karang Bugis, di kota. Sedang pengantin wanita wajib kembali ke asrama putri Gunung Tembak, selama beberapa pekan.
Ini juga seperti “main-main” di acara menikah. Sudah menikah tapi belum boleh ketemu. Sudah halal tapi tetap kayak dilarang. Apa lagi hikmah di balik karantina tersebut?
Sami’na wa atha’na. Hanya kalimat ini yang selalu diulang-ulang hingga membekas pada santri. Dengarkan dan taati. Kelak kalian tahu hikmahnya dan rasakan manfaatnya.
Bukan tak rindu sebagai pengantin baru. Apalagi memang sudah sah di penghulu. Tapi ketaatan itu terlalu mulia untuk “disobek” dengan hawa nafsu.
Hingga suatu saat, lonceng berita penugasan kembali ditabuh. Nyaris seluruh pengantin baru diperintahkan bersiap-siap terjun berdakwah ke daerah. Bulan madu urusan belakangan. Tugas saja dulu. Itu hiburan yang biasa didengar.
Sang ustadz rupanya mulai keciprat galau juga. Kenal tidak, ketemu belum, ini sudah harus berangkat lagi. Akhirnya ia nekat minta izin bertemu sejenak dengan sang permaisuri. Minimal taaruf sedikit sambil bicarakan rencana keberangkatan nanti. Itu pikirnya.
Maksud hati bertemu, apa daya sang istri justru merajuk malu. Mungkin karena lama tak menyatu, istrinya belum mau ketemu. Tak ingin memaksa. Ia pun hanya titip pesan singkat. Tolong siap-siap berangkat tugas. Ketemu di kapal laut saja nanti. Sedih. Tapi apa boleh buat.
Baca juga: Jodoh di Bulan Syawal
Melihat adegan dramatis itu, seorang ibu yang selama ini jadi penghubung dengan istrinya tiba-tiba menangis kencang. Tak peduli sedang di pinggir jalan, terus meraung sejadi-jadinya. Ia sedih. Bagaimana mungkin sepasang pengantin ini belum pernah saling ketemu.
Pihak keluarga dan pesantren segera berembuk. Mencari solusi dan maslahat. Singkat kata, pasangan suami istri pejuang itu sempat menikmati hidup bersama walau hanya sepekan.
Setelah itu hari-hari mereka disibukkan dengan dakwah. Berpindah dari satu daerah ke lokasi berikutnya. Sebagai dai spesialis pembuka lahan dakwah, berbagai daerah sudah pernah disambangi. Dari Derawan, Berau, Bitung, Gorontalo, hingga menaklukkan hutan bambu yang terkenal angker di Depok, Jawa Barat.
Kini sang ustadz dan istri sudah dikaruniai sepuluh orang anak. Takdir Allah, keluarga besar mereka rata-rata dikaruniai belasan anak. Semoga kelak kita semua menjadi pejuang di jalan agama Allah. Aamiin!*