Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, Allah akan menggantinya (QS. Saba’ 39)
Rumah? Mimpi nih ye!. Bekerja dengan gaji Rp 150 ribu (l994), mana mungkin bisa membeli rumah. Untuk makan saja sebenarnya sudah pas-pasan. Namun bila Allah menghendaki, mimpi itu bisa saja terwujud. Itulah yang terjadi pada saya.
Saya bekerja di sebuah unit ekonomi pesantren, hidup qona’ah sangat ditekankan di sini. “Terimalah dengan rasa syukur, insya Allah, Allah akan menambah nikmatmu,” begitulah pesan utamanya.
Alhamdulillah, meski secara materi kami tak punya apa-apa, kami hidup tenang. Mungkin juga, itu karena kami masih keluarga muda, sehingga kebutuhannnya belum banyak. Anak juga baru satu, masih kecil lagi.
Kalau ada karunia terbesar dalam hidup saya, dialah istri saya. Selain shalihah, dia juga pintar mengatur keuangan. Sehingga gaji yang pas-pasan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan masih sempat menabung. Meski cuma ratusan ribu rupiah, tapi lumayankan!
Mungkin, karena merasa punya tabungan, sesekali istri saya bicara soal kemungkinan punya rumah sendiri. Waduh! Sungguh, saya tak berani menanggapi. Diam atau mengalihkan ke topik lai, begitu saya biasanya. Saya merasa tak ‘PD’ bicara soal yang satu ini.
Harga rumah jelas tidak ratusan ribu, bok! Jutaan bahkan puluhan juta rupiah. Duit dari mana saya? Maksud istri saya tahu baik, agar tidak terus menerus jadi ‘kontraktor’ alias kontrak. Tujuh tahun kami menikah, kami memang tinggal dari kontrakan yang satu ke kontrakan yang lain. Bosan sebenarnya, namun mau apalagi?
Nah, soal tabungan itu, ternyata Allah punya kehendak lain. Ketika tabungan kami mulai terkumpul tiba-tiba saja orangtua datang, ingin meminjam uang untuk kebutuhan mendesak. Dan itu terjadi beberapa kali. Anehnya, seringkali permintaan itu datang tepat saat kami memang punya. Kami tidak bisa bohong, misalnya bilang lagi tak punya uang atau yang lainnya. Kalau lagi ‘tongpes’ (kantong kempes) kami biasanya juga bilang apa adanya. Kami bersyukut bisa membantu orangtua, meski hanya sedikit.
Kehidupan terus berputar. Hingga Suatu kali kami pulang kampung, silahturrahmi ke orangtua. Beberapa saat kemudian, istri saya dipanggil ayah ke kamarnya. Setelah ngobrol sebentar, ayah bilang, “Ini untuk kamu, mudah-mudah bermanfaat.” Sebuah amplop tebal disodorkan. Istri saya diam tak tahu maksudnya. “Alhamdulillah ayah punya rezeki, ini uang yang ayah pinjam dulu,” jelasnya kemudian. Istri saya dan juga saya, melongo sesaat. Kami tak pernah menyangka bakal kejatuhan rezeki. Apalagi kami memang tidak pernah berfikir bahwa uang itu nanti dikembalikan. Niat kami bukan meminjami, kami benar-benar memberi, suatu kewajiban yang sudah semestinya dilakukan seorang anak kepada orangtuanya.
Yang lebih mengejutkan lagi, tanpa sepengetahuan kami ayah ternyata mencatat semua uang yang dipinjam dari kami itu dalam sebuah buku besar, lengkap dengan tanggal, tahun dan jumlah uang yang dipinjam. Catatannya sehalaman penuh. Entah berapa jumlahnya, yang jelas uang yang dikembalikan kepada kami Rp 4 juta. Inilah uang terbesar yang pernah kami punya, kala itu.
Uang itu, setelah kami tambahi dengan meminjam ke kantor dan seorang teman, kami belikan sebuah rumah mungil di perumahan seharga Rp 6 juta. Rumah itulah yang kini saya tempati bersama istri dan dua anak saya. Sungguh, bagi Allah tak ada yang tak mungkin. Alhamduillah.
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap tiap butir seratus biji.” (Al Baqarah 261)
Redaksi menerima cerita fakta perjalanan reliius anda. Sedikit cerita anda akan berguna bagi saudara kita yang lain. Kirimkan cerita anda di redaksi Hidayatullah.com dengan alamat email: [email protected]