Hukuman bisa jadi itu cara Allah membuka dan mengetuk hati untuk bertemu dengan hidayah
Hidayatullah.com–Dicap sebagai santri nakal karena sering melanggar peraturan, bahkan sampai dikeluarkan dari pesantren karena melawan ustadz. Padahal sudah hampir separuh usia, saya habiskan menjadi santri di sebuah pesantren di Kalimantan. Entah apa yang ada dalam benak saya sehingga sering memberontak dan melanggar batas-batas aturan pesantren.
Saya ingin bercerita sebelum menjadi santri. Akhir 2004 orangtua saya bercerai. Saya bersama adik laki-laki ikut bersama ibu. Tentu perceraian itu sangat mempengaruhi hidup saya hingga kini. Ibu bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke negeri seberang. Beliau membanting tulang demi bertahan hidup, sedangkan saya dan adik dimasukan ke pondok pesantren sejak SD.
Sekian banyak pengalaman hidup yang saya lalui, termasuk hiruk-pikuknya dunia santri. Melalui masa kecil jauh dari orangtua, sungguh tidaklah mudah. Hidup serba pas-pasan bahkan serba kekurangan. Mulai dari pakaian yang saya bawa dari rumah sudah mulai berkurang, kumuh, rusak, dan ada juga yang hilang entah kemana. Bila waktu makan tiba, harus pergi memancing dulu atau turun ke empang pondok untuk mencari ikan, keong dan kadang kala mencuri udang yang dibudidayakan di empang pondok. Kala itu melanggar peraturan sudah jadi hal yang lumrah bagi saya, dan sudah terlalu sering mendapatkan hukuman.
Hingga jenjang SMA saya di pesantren yang sama, dan dicap menjadi santri nakal karena suka melanggar. Hingga sikap saya sudah tak bisa ditolelir lagi karena berani melawan ustadz. Akibatnya saya dikeluarkan dari pesantren dan tidak bisa mengikuti ujian nasional. Semenjak itulah saya putus sekolah.
Sebenarnya saya tak benar-benar dikeluarkan, hanya “dibuang” ke pesantren lainya yang masih tahap perintisan dan masih ada hubungan dengan pesantren dimana saya nyantri. Jaraknya memang tak terlalu jauh, namun medan yang harus ditempuh untuk sampai ke tujuan tidaklah mudah. Perlu dua kali menyeberangi sungai yang terkenal dengan hewan buasnya, kemudian berkendara kurang lebih satu jam dijalur darat.
Beradaptasi di tempat baru menjadi sebuah keresahan sekaligus tantangan baru bagi saya, karena saat itu pesantren ini berada di tengah hutan dan baru berdiri satu bangunan yaitu Taman kanak-kanak (TK). Rutinitas sehari-hari membabat semak belukar dan pepohonan. Kegiatan ini membuat saya lupa untuk melanggar peraturan lagi.
Satu tahun berlalu, semenjak kejadian itu, setelah lama di “pembuangan” dan sudah lumayan banyak ikut berpartisipasi di pesantren. Setahun itu mengubah cara berfikir saya dari seorang santri yang nakal menjadi seorang yang memiliki rasa empati dan peduli pada sosial sekitar.
Namun saya sadar, peduli saja tak cukup melihat pendidikan di perbatasan yang masih terbelakang dan melihat masyarakat yang masih jauh dari agama. Kembali terbesit dalam pikiran untuk memperdalam ilmu agama, khususnya dibidang dakwah. Tapi tidak untuk melanjutkan sekolah, melainkan hanya ingin menimbah ilmu saja.
Saya kemudian mengikuti program pendidikan dai di kota Bogor selama satu tahun. Semakin banyak pengalaman dan ilmu yang saya dapatkan di sana, khususnya tentang kiat berdakwah di pelosok dan pedalaman Nusantara. Setelah selesai mengikuti program itu, saya diamanahkan bertugas di Malinau, Kalimantan Utara.
Semakin kuat tekad untuk terus berubah menjadi lebih baik, dari sekian banyak kesalahan yang diperbuat dari yang ringan hingga kesalahan yang besar sampai mencoreng nama baik sendiri. Ada sebuah hadits yang saya hafal sejak kecil yang terus terngiang-ngiang hingga sekarang. Hadits itu artinya;
“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” (Riwayat Imam Bukhari {52}).
Hingga saat ini saya masih bertugas di Malinau dan kerap berkeliling melaksanakan tugas khutbah dan ceramah di pedalaman. Saya juga dipercaya menjadi tenaga pengajar di sebuah SD di sana.
Mungkin setiap manusia tak luput berbuat salah, tapi saya yakin Allah pasti akan menerima mereka yang mau bertaubat seperti hadits Nabi yang berbunyi; “Setiap manusia pernah berbuat salah. Namun yang paling baik dari yang berbuat salah adalah yang mau bertaubat.” (Riwayat Tirmidzi no. 2499; Ibnu Majah, no. 4251; Ahmad, 3: 198. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini hasan).
Pesan saya untuk para santri yang masih menempuh pendidikan di pesantren, terusaha belajar dengan giat, hormati para ustadz dan hargai setiap waktu selama belajar di pesantren. Karena setelah usai, masyarakat memanggil kita untuk mengamalkan apa yang pernah diajarkan.
Yang paling penting, jika pernah berbuat salah dan mungkin bahkan dikeluarkan dari pesantren, yakinlah mungkin itu cara Allah membuka dan mengetuk hati kita bertemu dengan hidayah.
“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az Zumar: 53).
*Diceritakan oleh Rusdi dan ditulis oleh Ismail (Mahasiswa STAIL Surabaya Semester VII) kepada Hidayatullah.com