SAKIT. Itulah yang saya derita. Beberapa hari terakhir. Pas di bagian dalam telinga. Sebelah kanan.
Tak tahan. Pada malam Selasa, saya minta istri untuk melihat. Mungkin ada sesuatu di telinga.
Malam sebelumnya sudah ada yang mengganjal. Ketika membersihkan telinga, terasa ada benjolan. Sakit kalau tersentuh.
“Ada benjolan putih-putih, menutupi lobang telinga,” ujar istri.
Dug ..!
Kaget. Apa gerangan yang terjadi dengan telinga saya.
“Jangan-jangan…?!”
Ah… saya berusaha menyingkirkan pikiran negatif.
“Bukankah Allah bersama prasangka hamba-Nya?”
Untuk memastikan tidak ada yang membahayakan, saya langsung berselancar ke tempat praktik dokter THT.
Ada. Di dua rumah sakit, yang tidak jauh dari tempat tinggal. Paginya, berangkatlah dengan diantar oleh seorang sahabat.
“Daftar dulu, pak. Jam delapan nanti malam, dokternya buka praktik,” ujar penjaga tempat pendaftaran.
“Kita ke rumah sakit satunya, aja lah. Siapa tahu standby 24 jam,” ujar saya kepada teman.
Ternyata sama. Bukanya setelah pelaksanaan shalat tarawih juga.
Tak ada pilihan. Haruslah tunduk dengan kondisi yang ada. Jam delapan malam baru bisa periksa.
Menjelang maghrib. Kring….kring…. HP berdering. Nomor tak tersimpan. Tapi dari angka yang tertera; jelas kalau bukan nomor kantor, ya rumah.
“Mohon maaf, Pak. Ini dari rumah sakit…… Mau mengabarkan kalau malam ini dokternya ganti jam praktik. Besok sore. Jam tiga.”
Innaalillah….
“Dokternya malam ini nggak praktik. Kita ke rumah sakit yang sebelumnya saja,” ujar saya ke teman. Usai shalat Maghrib.
“Tapi, kitakan belum daftar,”sanggahnya.
“Nggak apa-apa. Kita ke sana saja. Sepertinya pasiennya sedikit. Tadi pagi saja baru dapat nomor urut dua. Semoga belum kehabisan,” ujar saya.
Meluncurlah kami berdua, dengan menggunakan sepeda motor. Cuaca dingin agak menggigit kulit. Karena baru saja selesai hujan.
Sesampainya di rumah sakit;
“Maaf, Pak. Dokternya malam ini tidak praktik. Besok, jam empat sore,” ujar penjaga tempat pendaftaran. Beda orang.
Innaalillah…
“Ini bagaimana kalau pasiennya sakit parah. Apa iya pengobatannya harus ditunda juga, jarena tidak ada dokter.”
Gumam saya kepada teman. Ia sambut dengan senyum simpul.
Keesokan paginya, istri beri usul.
“Cobalah diberi minyak but-but. Kemarin, Anis (putri sulung saya) juga diberi itu. Kotoran di telanganya jadi lembek,” terangnya.
Saya pun akhirnya menjalankan usul itu. Lama berbaring miring di kasur. Biar minyak tidak tumpah keluar.
Telinga merasa mampet. Terasa lebih parah. Pendengaran lebih terganggu. Saya ‘protes’ ama istri.
“Udah, sabar aja. Itu minyak lagi proses penyerapan,” ujarnya. Layaknya ahli medis. He…he…
Tapi, ternyata benar. Lama-lama, sakit telinga terasa mereda. Mulut bisa leluasa digerakkan. Tak ada rasa sakit.
Setelah itu, istri mencoba mengambil pembersih telinga. Ia coba korek-korek. Dan ternyata bencolan itu telah hancur. Lunak.
Beberapa bagian besar sudah bisa dikeluarkan. Alhamdulillah, akhirnya telinga sembuh.
Petang harinya, HP berdering lagi. Dari rumah sakit.
“Mohon maaf, Bapak. Mau konfirmasi, apa bapak jadi periksa sore ini?” ujar seorang wanita di seberang.
“Mohon maaf, Mbak. Tidak jadi periksanya,” jawab saya.
Jadi kejadian ini saya mengambil hikmah. Betapa kita tidak boleh bersuuzhan dengan ketetapan yang telah ditentukan Allah.
Karena boleh jadi, di balik itu semua, ada kejutan indah yang tengah dipersiapkan Allah untuk kita.* Dikisahkan oleh Khairul Hibri