Hidayatullah.com | KEINGINAN yang kuat untuk kuliah, itulah langkah yang harus saya tempuh untuk menggapai apa yang saya inginkan untuk masa kini maupuan masa yang akan datang. Oh iya, sebelumnya perkenalkan nama saya Asiswan, lahir di Dampang Kecamatan Gantarang Keke, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Saya anak ke-5 dari enam bersaudara. Ayah meninggal akhir tahun 2018, dan ibu bekerja sebagai petani. Kini ibu menjadi ibu rumah tangga, sekaligus petani menggantikan posisi ayah. Kami sekeluarga adalah perantau. Semua saudara/saudari hingga kini masih di perantauan, terkecuali saudari satu orang masih menemani ibu di kampung dengan 2 prang keponakan.
Setelah tamat Sekolah Dasar (SD), aku memutuskan untuk nyantri di sekolah di Ereng-Ereng, Kab. Bantaeng. Saat itu saya mendaftarkan diri dan masuk dari salah santri panti asuhan, dimana pembayaran SPP perbulan ditanggung oleh pihak pesantren hingga lulus. Alhamdulillah saya diterima karena memenuhi persyaratan sebagai santri yang tidak mampu ekonomi. Syukurnya lagi, SPP saya ditanggung sampai madrasah aliyah (MA).
Setelah lulus (2017) MA di Bonto-Bontoa, Kabupaten Bantaeng, saya melanjutkan pengabdian selama setahun. Karena santri tanggungan wajib mengabdi dulu setelah lulus.
Keinginan untuk kuliah sudah lama terfikirkan bahkan sebelum lulus MA. Niat dari dulu mau kuliah di tanah Jawa, entah itu di Jawa mana. Akan tetapi disamping itu, aku juga masih bimbang dan ragu apa bisa aku kuliah di Jawa sementara aku tahu persis keadaan keluarga.
Sambil mencari informasi fakultas yang ada di Jawa, sempat terbetik di hati ingin melanjutkan kuliah di Kota Makassar. Namun setelah mendengar pengalaman kakak alumni tentang pergaulan bebas di sana, mulai saat itu juga niatku untuk kuliah di Kota Makassar ku buang jauh-jauh. Karena aku takut tidak bisa mengendalikan diri dalam pergaulan itu nantinya.
Kembaliku renungi nasib keluarga. Setelah kepergian ayah, semua sauadara/I ku putus sekolah. Artinya satu-satunya harapan untuk melanjutkan pendidikan adalah hanya aku.
Mengingat semua itu, keinginan untuk kuliah di Jawa semakin kuat. Beranjak dari situlah akhirnya mantaplah hati ini dengan tekad yang kuat untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah di Jawa.
Hal itupun ku ceritakan kepada ibu di rumah. Ibupun mengizinkan dan tetap mendukung atas keputusanku itu.
“Lampa mako nak, mingka anre’ ku kulle ambaiayai doe’ kuliahnu,” (pergilah nak, akan tetapi ibu tidak sanggup untuk menanggung biaya kuliahmu),” kata ibu dengan suara yang tersendak-sendak dan mimik wajah yang sedih sambil sedikit meneteskan air mata.
Mendengar itu, akupun tertunduk lemas di hadapan ibu. Tidak tau mau berkata apa, selain hanya mampu menjawab “iya”. Meski demikian, kata-kata itulah yang selalu menjadi kekuatan dalam diriku untuk meneruskan perjuangan ini.
Menuju Jawa
Suatu ketika saya mendapat informasi dari teman berupa brosur Ma’had Umar Bin Khattab (UBK). Tahun 2018 saya dan beberapa teman pun memutuskan berangkat ke Surabaya, Jawa Timur dengan menggunakan peﷺat terbang Lion Air.
Setelah tiba di Surabaya, sebulan pertama kami semua harus ngekos sambil mengikuti proses pendaftaran dan tes. Saya dan beberapa teman ambil jurusan Bahasa Arab D2 sementara yang lainnya pilih jurusan tahfizh Quran.
Alhamdulillah setelah mengikuti tes tulis dan wawancara, saya langsung duduk di kelas mustawa tsalits. Awal-awal masuk kos rasanya masih nyaman-nyaman aja karena isi dompet masih mencukupi. Manun sekitar 2 pekan sebelum masa kos berakhir, di situlah penderitaan menahan lapar benar-benar terasa.
Terkadang satu bungkus mie instan dimakan berempat bahkan kadang seharian tidak makan hanya minum air putih seadanya. “Ya Allah rasa lapar yang aku rasakan selama mondok ternyata lebih parah di sini, “ ucapku temanku.
Situasi ini menjadikan saya dan beberapa teman harus berusaha untuk mencari kerja demi untuk biaya makan dan kuliah nantinya. Sempat ibu nelpon dari desa saat itu ingin mengirimkan uang sebesar Rp 300 ribu, namun kutolak dengan halus.
Meski demikian, ibu tetap bersikeras untuk kirim uang itu. Itu pertama kali ibu kirim uang dan sekaligus terakhir. Tapi entah kenapa jumlah uang itu susah untuk aku lupakan hingga detik ini.
Usaha mencari pekerjaan akhirnya berbuah manis. Aku dan satu teman (Nasrul) diterima kerja sebagai marbot di salah satu masjid (Masjid Darussalam) yang beralamat di Gunung Anyar, Surabaya. Alhamdulillah bersyukur sekali rasanya bisa dapat pekerjaan terlebih lagi banyak fasilitas dan kebutuhan lainnya disiapkan di masjid itu. Hari-hari ku jalani warna-warni hidup dengan segala perbedaan yang ada.
Akhir tahun, yaitu 3 hari sebelum Idul Fitri, saya dan teman-teman menyempatkan diri untuk pulang ke kampung masing-masing, agar bisa bertemu kangen dengan keluarga. Selama liburan, saya dan Nasrul sudah berencana untuk melanjutkan kuliah S1 jurusan dakwah di Surabaya. Akhirnya kami memutuskan melakukan pendaftaran online dan alhadulillah diterima di kampus itu.
Singkat cerita, kami berdua pun balik ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah di UBK sekaligus memeasukkan berkas di kampus. Nah pada saat itu saya memutuskan pindah dari masjid tempat saya kerja sebelumnya dan memilih tinggal kos berdua sama Nasrul.
Alasan saya pindah karena mau lebih bebas saja, mengikuti berbagai kegiatan di luar seperti ikut kajian di berbagai tempat dan mau ngajar juga. Bukan berarti tidak suka tinggal di masjid, hanya karena waktu saya hampir 24 jam terikat karena tanggungjawab.
Saya memutuskan mengambil jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) di sebuah kampus di dekat ITS. Saya berencana mengambil hari Sabtu sampai Ahad untuk jurusan KPI, sementara Senin-Jum’at saya tetap di UBK, Gunung Anyar, dua wilayah yang jaraknya berjauhan.
Qadarullah niat itu tidak berlangsung lama. Kendala pertama karena tidak ada biaya. Yang kedua tidak kendaraan untuk pulang pergi ke kampus. Karena memang baru masuk kos, jadi rasanya mulai dari awal lagi.
Rasa keroncongan yang hampir tiap hari dan malam aku rasakan waktu awal kos dulu, kini terulang saat ngekos lagi. Ditambah biaya kos kami berdua 650 ribu perbulan, SPP, makan, listrik dan lain-lain.
Oleh sebab itu secara terpaksa saya dan sama Nasrul harus memutuskan kuliah di UBK dan hanya berfokus ke kampus satunya, dengan jurusan KPI. Tak sampai di situ, karena belum dapat kerjaan kami sempat tidak masuk kuliah selama 2 pekan, dan buat makan pun susah.
Dengan keadaan seperti itu memaksa kami berdua harus secepatnya kembali mencari pekerjaan. Seiring berjalannya waktu, akhirnya ada jamaah masjid yang menawarkan kepada kami berdua untuk mengajar di Rumah Quran yang jaraknya agak dekat dari kos kami.
Betapa bersyukurnya kami tanpa mencari kerja tapi langsung ada yang menawari ke kami. Tidak sampai di situ, pertolongan Allah datang lagi, seorang takmir masjid setempat, meminjamkan saya sepeda motor untuk kebutuhan kuliah dan lain-lain. Alhamdulillah, Ya Rabb.
Hari demi hari berlalu, tawaran untuk mengajar ngaji datang lagi. Ada tawaran mengajar anak-anak sampai bapak-bapak bahkan yang sudah beruban, hehehe. Namun mereka maunya private.
Alhamdulillah waktu kosong, hari Senin-Jumat aku manfaatkan untuk mengajar ngaji. Di situlah aku benar-benar merasakan yang namanya mencari nafkah sendiri dan jauh dari keluarga tercinta. Tentunya semua kemudahan itu datangnya dari Yang Maha Rahman dan Maha Rahim yang tak pernah pilih kasih terhadap hambanya.
Menjalani hidup di Surabaya menurut saya memang pahit rasanya dengan penuh liku-liku dan cobaan. Jika rasa sabar dan ikhlas takku pelihara dalam diri ini, aku yakin dan pasti sudah lama meninggalkan Surabaya dan kembali ke kampung hidup bersama keluarga.
Hal itu terbukti dari teman-teman yang banyak tidak sanggup lagi meniti hidup dan memilih pulang ke kampung mereka masing-masing. Tapi saya pribadi memiliki keyakinan bahwa ketika kaki saya berpijak di tanah Jawa, itu berarti saya harus mampu menjalinya.
Tak peduli apapun rintangannya karena di manapun berada, selagi ikhtiar dan berdoa, di situ pasti ada Allah yang akan memberi jalan. Yakinlah Allah tidak akan menguji hambanya di luar kesanggupannya, dan Allah mustahil mengingkari janjinya, apalagi untuk para penuntut ilmu.
Sekarang, saya sudah semester 3. Karena pandemi, semua mahasiswa dipulangkan, dan studi hanya cukup oline. Mudah-mudahan wabah ini segera hilang dari muka bumi. Aamiin.
Semoga awal dari kisah saya ini akan terus berlanjut hingga bisa menyelesaikan studi. Dan yang paling penting adalah bagaimana nantinya ilmu yang saya dapatkan bisa saya realisasikan kepada banyak orang, berkah dan berniali ibadah di sisi-Nya.
Dari sekelumit kisah ini saya sedikit menyimpulkan, bahwa uang memang bisa jadi kendala, tapi tanpa uang bukan berarti kita terkendala segalanya. Ikhtiar tanpa doa adalah cacat. Karena orang yang hanya berusaha danpa doa dia masuk dalam kesombongan.
Yang terakhir, kita hanya layak meggantungkan segala harapan hanya kepada-Allah saja, sebab dengan hanya kepada Allah, kita tidak akan pernah kecewa. Dan terpenting, yakinlah, mustahil Dia berdusta. Terakhir, Allah tidak membebani kita di luar kemampuan kita. Maka jalanilah semua cobaan dengan sabar dan ikhlas.* (dikisahkan Asiswan)