Hidayatullah.com–Walaupun aku jauh di rantau orang, sesungguhnya jiwaku sangat terluka dengan gempa yang terjadi di Sumbar 7,6 SR tanggal 30 September bulan lalu. Hatiku sangat sedih. Bukan apa-apa, ini karena aku hanya bisa mengikuti perkembangan gempa melalui berbagai media di internet secara online 24 jam.
Bagaimanapun, rasa was-was sedih sangat tinggi. Di tempat asalku, di Kota Padang, ada adik, anak abang, dan saudaraku lainnya yang sedang kuliah di sana. Hatiku semakin gelisah karena setiap orang yang kutelepon tidak bisa kuhubungi selama 2 hari. Walaupun aku agak keras kepala, namun beberapa hari ini aku hanya bisa menangis melihat kesan gempa melalui media.
Di media, kawasan yang dulunya tempatku bermain, hancur-lebur. Bangunan yang dulunya biasa kulihat, rumah-rumah yang dulunya bersusun rapi, keluarga yang dulunya biasa kulihat ceria, semuanya telah berubah hanya dengan sekelip mata akibat gempa.
Sebenarnya aku mampu membeli tiket pesawat untuk pulang melihat secara langsung. Namun keberadaanku di sana mungkin tidak akan mengurangi penderitaan mereka yang telah kehilangan nyawa, sanak-keluarga, harta-benda, dan sebagainya. Lebih baik harga tiket itu aku sumbangkan kepada mereka.
Aku lebih memilih untuk tetap tinggal di Kuala Lumpur dengan mengumpulkan sumbangan dari orang-orang Malaysia yang kukenali. Walaupun jutaan rupiah telah dan akan kukirimkan untuk membantu korban gempa, pastinya itu semua tidak akan mampu mengganti penderitaan mereka yang telah kehilangan segalanya.
Alhamdulillah, melalui organisasi kami, Cabang Muhammadiyah-Kuala Lumpur, bergerak mengumpulkan dana sejauh yang mampu kami lakukan.
Indah Kabar dari Rupa
Secara ikhlas aku menyadari bahwa Allah SWT. adalah pemilik mutlak alam semesta. Dia berhak melakukan apa saja ke atas alam yang menjadi milik-Nya ini. Kita sebagai makhluk-Nya hanya menumpang sementara di bumi Allah yang luas ini. Apapun ketentuan-Nya, kita sebagai hamba harus pasrah dan sabar menerimanya. Pasti ada hikmah di balik peristiwa ini, mungkin Allah ingin mengingatkan dan menyadarkan kita dari kesilapan dan dosa yang sering kita lakukan selama ini. Peringatan seperti ini juga pernah berlaku kepada umat-umat sebelum kita dulunya.
Dengan gempa bisa membuat kita merenung tentang bagaimana kekuatan dan kekuasaan Allah SWT. Mungkinkah adanya bencana disebabkan karena Allah murka melihat kemunafikan kita. Kita bangga dengan slogan Islamic tetapi kenyataan di lapangan jauh dari realitas simbol “Serambi Mekah atau Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah.” Seperti halnya Aceh, Padang juga dikenal dengan daerah yang religius (hanya) “dari luar”. Kekurangan dan kelemahan sebenarnya bisa kita lihat dan kita rasakan sendiri jika kita berada di dalamnya.
Jika mau jujur, rumah-rumah kos sebagian mahasiswa, mirip hotel murah tempat memuaskan nafsu syetan pasangan belum nikah. Lihat saja, tempat-tempat maksiat di pantai Air Manis, pantai Padang, daerah Pertambangan lainnya yang difasilitasi sedemikian rupa. Judi dan narkoba menjadi budaya dan kebanggaan anak bangsa. Semua lapisan masyarakat hampir tidak ada yang peduli dan membiarkan semua kejahatan itu berlaku. Para ustaz hanya bisa mengajak kepada kebaikan. Institusi polisi juga tidak mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar yang berlaku di bumi bundo kandung ini.
“Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah” ini hanyalah indah kabar dari rupa. Adat-adat jahiliyah seperti mengadu ayam, main judi, dan pergaulan muda mudi menjadi-jadi.
Setiap keramaian wajib ada dangdutan keyboard tunggal (electone), dengan menyewa penyanyi dangdut yang sudah tentu menampilkan goyang ngebor a la Inul. Siang hari artisnya berpakaian sopan, tapi malamnya berubah seperti syetan seksi yang memperlihatkan bentuk-bentuk tubuh mereka.
Arak, judi, dan pergaulan bebas bergaul di sana. Kalau di negara sekuler, acara seperti itu diadakan tertutup dan hanya bisa diadakan di tempat khusus yang dihadiri oleh orang dan batas umur tertentu saja. Maka di tempat kelahiranku, tarian dangdut erotis bisa disaksikan oleh segala lapisan masyarakat, bahkan anak-anak.
Saya tidak hanya sedang bercerita tentang orang lain. Perkara itu juga berlaku dalam keluargaku sendiri. Di saat ada acara kenduri pernikahan, ada saja acara orkes tunggal lengkap dengan goyang ngebornya. Kenapa bukan pengajian saja, atau hiburan ringan dan menyantuni fakir miskin/anak yatim yang menderita kesusahan selama ini?.“Ini sudah menjadi budaya kewajiban baru,” begitu kata mereka.
Saya teringat Buya Hamka yang pernah mengatakan, derajat “khaira ummah” atau umat terbaik bukanlah sesuatu yang gratis atau otomatis. Menurutnya, ia harus diikuti dengan dua syarat. Pertama, menyuruh kepada kebaikan, Kedua, mencegah dari kemungkaran. Sayangnya syarat yang kedua ini tidak dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan oleh organisasi ke-Islaman yang ada.
Adalah menjadi rahasia umum, dalam berbagai kasus yang saya ketahui, aparat bahkan bertindak sebagai pelindung dan penonton kemungkaran itu.
Semoga para korban mendapat maqam (tempat) yang mulia dan Syahid di sisi Allah SWT. Dan semoga bencana ini mampu membuka mata dan telinga batin kita semua.[kiriman Afriadi Sanusi. Penulis kelahiran Sumbar asli, Kini sedang melanjutkan program S3 bidang Islamic Political Science di Universiti Malaya Kuala Lumpur. Email: [email protected]]
foto: reuter pictures/dlf