MENDUNG pekat menguasai langit, membuat gelap kawasan utara pulau Sulawesi. Nun jauh di bawah, seorang pria menyapu pandangannya ke angkasa. Firasatnya menangkap sesuatu. “Akan datang bencana,” ujarnya, seraya menjalani rutinitasnya pagi itu.
Murdianto, pria tersebut, berencana mengantar anaknya ke sekolah. Lalu mengedarkan sejumlah majalah dakwah nasional ke para pelanggannya. Sekitar pukul 08.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA), sepeda motor Suzuki Smash-nya pun digeber melaju di jalan raya. Sementara guyuran hujan mulai memburunya.
Namun, hampir 40 km kemudian, tepat di atas sebuah jembatan, Murdianto membatalkan niatnya ke sekolah. Dia memantau Daerah Aliran Sungai (DAS) di bawahnya. Firasatnya benar. Sungai Tondano, Bitung, Sulawesi Utara (Sulut) jalur Sawangan sudah meluap drastis. Itulah bagian dari banjir bandang yang menimpa Manado dan sekitarnya pada Rabu, 13 Rabiul Awal 1435 H, bertepatan 15 Januari lalu.
“Awalnya, Selasa (14/1/2014) malam, tempat kami di Bitung, 45 km dari Manado atau ujung pulau Sulawesi (diguyur) hujan lebat dan angin. Hujannya konstan dari jam 8 malam sampai Shubuh tetap deras. Naluri saya mengatakan akan datang bencana besar di Manado,” tutur Murdianto kepada Hidayatullah.com di Jakarta, melalui sambungan telepon dan obrolan jejaring sosial baru-baru ini.
Dalam perbincangan yang dilakukan putus-sambung akibat buruknya sinyal di Bitung pasca bencana itu, Murdianto mengisahkan perjuangannya mengevakuasi korban banjir. Pagi itu dia batal mengantar Muhammad Abdullah Azam, 10 tahun, anak keduanya, ke sekolah. Bersama murid kelas 5 Madrasah Ibtidaiyyah ini, dia justru mewaspadai DAS Tondano.
Sejak dari rumahnya di kawasan Jalan Perjuangan, Kelurahan Wangurer Barat, Lingkungan IV, Kecamatan Madidir, dia telah mempersiapkan diri untuk kondisi terburuk. Daerahnya sendiri aman dari bencana. Namun listrik sedang padam, yang membuatnya kesulitan berkomunikasi untuk mengajak rekan-rekannya.
Sepanjang perjalanan itu, Murdianto nekat menembus derasnya hujan. Sementara Azam tak henti menangis. Saat Murdianto berhenti sejenak menanyakan kondisi anaknya, ternyata Azam gelisah karena cuma bawa 1 celana yang dipakainya. Murdianto pun memotivasi anaknya, seraya menjelaskan tugas yang akan dia emban.
“Kata saya kepada Azam, ‘Azam, ini akan evakuasi, ini adalah kemanusiaan, ini kita harus menolong (orang lain).’ Saya pun nekat menerobos hujan. Saya telah siapkan pakain SAR lapangan. Termasuk parang, jangan-jangan ada banyak pohon tumbang. Begitu kita jalan, ada pohon pisang rebah, saya beresi. Akhirnya Azam siap basah-basah. Dan betapa kaget saya ketika melewati sebuah jembatan di kawasan Ring Road, sungai (jadi) 3 kali lebih lebar dari biasanya. Dan benar saja, masya Allah, banjir besar,” tutur ustadz yang juga Ketua Tim Search and Rescue (SAR) Hidayatullah Sulut ini.
Melihat situasi tersebut, Murdianto memantapkan niatnya untuk mengevakuasi. Dia berpindah arah, menuju sebuah lokasi sekitar 1 km dari jembatan. Di Kelurahan Kairagi, Kecamatan Paal II, ujung Manado yang berbatasan dengan Minahasa Utara ini, dia segera mencari perlengkapan tambahan.
Setelah mendapatkan jerigen kosong 5 liter dan ban dalam milik warga setempat, dia bergegas berenang ke sebuah rumah guru TK di pinggiran sungai. Dia tahu, di situ ada seorang nenek dan sejumlah penghuni rumah yang sudah dia kenal sebelumnya.
“Saya langsung terjun berenang membantu evakuasi apa saja. Sampai kaki kanan saya teriris seng di atap lantai 2 sebuah rumah karena tidak kelihatan, menimbulkan luka menganga di jempol. Dan itu tidak saya hiraukan. Setelah tiba di lokasi, alhamdulillah, nenek sudah dievakuasi lebih dulu. Saya hanya sempat evakuasi satu orang pria dewasa beserta barang sebisanya. Ketinggian air (saat itu) sudah lebih 4 meter,” tuturnya.
Nyaris Hanyut
Di tempat ini, dia melakukan evakuasi sekitar setengah jam. Syukurnya di sini memang banyak orang dewasa yang bisa berenang. Warga yang dievakuasi pun ditempatkan di sebuah warung di pinggir Jalan Raya Manado, Bitung, sekitar 10 meter dari lokasi banjir.
Di mana Azam? Murdianto tak meninggalkan anaknya sia-sia. Putranya dia posisikan di pinggir jalan bersama sepeda motornya, dengan tugas khusus darinya.
“Dia bagian dokumentasi, Azam dari pinggir jalan motret pakai BlackBerry,” ujar pria kelahiran Blitar, 27 Maret 1975 ini.
Selepas itu, Murdianto dan Azam bergeser ke lokasi banjir lainnya, di Kelurahan Paal II, Kecamatan Paal II, tepatnya di Lingkungan IV (semacam RT), sekitar 2 km dari lokasi pertama. Paal II merupakan kecamatan dengan 32 masjid, terbanyak di kota Manado yang mayoritas non-Muslim.
Di lokasi kedua ini, evakuasi berjalan tidak mudah, ketinggian air sejajar rumah berlantai dua. Saat itu baru dia relawan yang datang. Sebuah rumah hendak dia tuju, satu-satunya cara dengan merayap di kabel listrik PLN sepanjang 10 meter. Saat sedang merayap, tahu-tahu jempol kanannya tersabet seng lagi. Meski tidak separah yang pertama.
“Ana (saya. Red) langsung menuju Masjid Ashabul Kahfi, di mana saya biasa khutbah id dan khutbah Jumat. Subhanallah, air cepat sekali menutup seluruh perkampungan. Dan masjid tinggal kubah. Di kubah ada 4 orang laki-laki, nggak mau dievakuasi. Mereka jaga barang, ada speaker, ada kursi,” kisah Murdianto.
Sebelumnya, Azam sudah dia amankan di atas atap Hotel Horison, yang dijadikan tempat pengungsian sementara. Azam tetap ditugaskan oleh ayahnya sebagai dokumentator.
“(Tapi saat) saya sudah evakuasi 2 anak, eh, malah dia ndak foto. Fotonya nunggu dikode, hehehe,” seloroh Murdianto.
Di jalur lainnya masih di Paal II, juga tak mudah untuk dilewati. Seorang warga membantu Murdianto dengan memasang seutas tali, sekitar 15 meter dari arus utama DAS Tondano. Tali ini digunakan Murdianto sebagai pegangan agar tak larut.
Sayangnya panjang tali itu hanya 15 meter, tak sampai separuh dari total 70 meteran jalur yang harus ditempuh. Murdianto lantas melanjutkan rute dengan berenang. Rupanya arus sungai begitu deras. Tak ayal, badannya yang terbilang berbobot pun larut. Beruntung, dirinya nyangkut di sebuah pohon mangga. “Hampir hanyut,” ujarnya.* (Bersambung)