CAHAYA rembulan menerangi pagi yang masih berselimut gelap. Di bawah langit, dua orang pria sibuk melempar telor-telor pecah ke baskom besar. Benda lonjong nan matang itu dipilah-pilah. Yang masih mulus dibiarkan bergerombol di panci pemasak berukuran jumbo.
Suasana di dapur umum pengungsian Kuala Langsa, Kota Langsa itu berjalan demikian hampir setiap hari. Para petugas terus bekerja lembur, menyiapkan konsumsi untuk 600 lebih pengungsi Myanmar dan Bangladesh.
Dua kelompok beda negara itu memang sama menu makannya. Hidangan khas nusantara, seperti nasi putih, telor rebus, dan ayam gulai, diracik oleh tangan-tangan pribumi Nanggroe Aceh Darussalam. Dari Indonesia, untuk mereka. Begitulah!
Sebenarnya, tempat makan, tidur, dan keseharian mereka berbeda. Barak pengungsi Rohingya lebih dekat ke dapur daripada barak Bangladesh. Perbedaan keduanya semakin terasa begitu masuk waktu shalat tiba.
“Assalamu’alaikum warahmatullah…. Assalamu’alaikum warahmatullah….”
Imam Mushalla Majelis Ta’lim Assunni baru saja mengakhiri shalat shubuh berjamaah. Selepas ritual ibadah, saya keluar dari barisan mereka. Sementara para Muslimin Rohingya itu, seperti biasa, membaca lembaran wirid usai shalat.
Saat itu pukul 06.04 WIB, dua jam lebih setelah kutengok dapur umum. Langit di atas tenda sudah membiru, mentari sebentar lagi terbit. Pagi yang hening tahu-tahu dipecahkan oleh suara cukup keras. Sumber suara itu dari sekelompok pengungsi Bangladesh. Mereka juga baru selesai Shubuhan.
Tempat shalatnya memang terpisah, 60 meteran dari mushalla Assunni. Mereka shalat di halaman parkir Pelabuhan Kuala Langsa. Cukup dengan menggelar tikar atau sajadah, ditambah sound system darurat, tanpa atap dan dinding. Panas-dingin, ya mereka rasakan. [Sebelumnya baca ini dulu: Dua Nama yang Sama tapi Beda]
Sejarah dan Ukhuwah
Senin, 25 Mei 2015 itu, jamaah Bangladesh tengah membaca Surat Yasin. Seorang dari mereka berdiri di depan memimpin wirid. Dengan bantuan mikrofon dan TOA, suaranya membahana ke seantero pengungsian.
“Wainkullun lamma jami’un ladaina mukhdorun.” Pada ayat ke-32 Surat Yasin yang mereka baca itu, Allah berfirman, “Dan setiap (umat), semuanya akan dihadapkan kepada Kami.”
Jika terbayang kata “umat”, hati kecilku terusik oleh situasi di pengungsian. Muslimin Rohingya dan Muslimin Bangladesh yang terpisahkan. Sejatinya mereka satu umat, tapi mengapa seakan berpecah…
Sebelum pertanyaan itu kuajukan pada siapapun, keadaan menjawabnya duluan. Menurut cerita banyak orang di sini, hubungan dua kelompok migran itu kurang harmonis. “Mereka dipisah biar nggak bentrok,” terang seorang penjaga keamanan suatu ketika.
Keduanya juga disebut-sebut memiliki perbedaan karakter, budaya, dan latar belakang. “Orang Rohingya lebih ramah daripada orang Bangladesh,” tambah seorang relawan.
Saya pernah membaca sejarah singkat hubungan Rohingya-Bangladesh. Dalam sebuah artikel media online disebutkan, pada tahun 1978 terjadi operasi militer di Myanmar. 200 ribu etnis Rohingya pun mengungsi ke Bangladesh.
Pemerintah Bangladesh sempat protes atas pengungsi sebanyak itu. Dalam kesepakatan yang dimediasi PBB, etnis Rohingya dapat kembali ke Myanmar. Pemerintah Bangladesh pun menyatakan, Rohingya bukan bagian dari warga negaranya.
Selain mungkin faktor sejarah, hubungan kurang baik Rohingya-Bangladesh dinilai karena pertengkaran mereka dalam pelayaran ke Aceh. Cerita ini diakui oleh kedua belah pihak yang sempat kuwawancarai.
Sebagai Muslim, saya berharap mereka bisa menjaga ukhuwah Islamiyah. Untuk itulah, selain menyambangi pengungsi Rohingya, “wilayah” Bangladesh juga kukunjungi saat itu.
Buyu, buyu!
Usai wirid pagi dan doa bareng, jamaah Bangladesh bubar. Saya berbaur hingga depan barak. Tiba-tiba sebagian mereka marah-marah, sambil menghadap ke barak Rohingya yang diramaikan para petugas. Suasana jadi agak panas. Berniat menenangkan mereka, pemimpin doa tadi kutanya dalam bahasa Arab. Dia paham dikit, selebihnya tidak.
Karena terkendala bahasa, saya mencari cara lain meredam situasi. Beruntung sebagian pengungsi Bangladesh cuek dengan keributan itu. Bahkan banyak yang menyalamiku, memberi senyuman, dan mengajak sarapan.
“Makan, makan!” ujar mereka dengan goyangan tangan sebagai isyarat menyuap.
Ahaa… Dapat ide. Dengan membopong kamera dan tripod, saya berkeliling mengkampanyekan perdamaiaan. “Peace! Peace!” ujarku, dilanjutkan seruan, “Makan, makan!” Ditambah isyarat tangan menyuap dan senyuman sebisanya. Memang, beberapa kata dalam bahasa Indonesia sudah mereka tahu.
Jadinya, sebagian pengungsi yang rada-rada panas, begitu kuajak makan, langsung tersenyum. Ada pula yang menyambut, “Makan, makan!” Sambil tangannya bergerak seperti menyuap. Padahal barusan dia berlagak emosi. Agak lucu kurasa.
Saya sempat salut dengan para penjaga keamanan yang menyamperi kerumunan pengungsi. Saat bertemu, sejumlah orang Bangladesh menyambut dengan cerocosan. Petugas mengangguk-angguk tanda mengerti, lalu meminta pengungsi tenang.
Pria berseragam itu paham bahasa Bangladesh? Bukan! Tapi rupanya, ada kata kunci dalam bahasa Inggris sekadarnya, yang sering disebut para pengungsi, yaitu “water hot”. Selidik demi selidik, “unjuk rasa” itu disebabkan air panas di barak habis. Sepele sih, tapi, Pengungsi Bangladesh Nyaris Berulah di Pelabuhan Langsa. Duuhhh!…
Ngomong-ngomong soal bahasa, cara berkomunikasi di pengungsian cukup unik. Terutama antara relawan atau petugas dengan pengungsi. Bahasa berbagai bangsa pun bercampur; Arab, Inggris, Indonesia termasuk bahasa Aceh, dan Myanmar-Bangladesh –yang dua ini katanya berbeda.
Kadang terjadi pertukaran bahasa. Misalnya, saat pembagian makan atau sumbangan di barak Rohingya, petugas mengatakan dalam bahasa pengungsi, “Buyu, buyu!”. Maksudnya meminta para pengungsi duduk. Mereka pun membalas dengan berkata, “Duduk, duduk!” sembari tertawa ringan.
Ada kejadian lain yang membuatku hampir ngakak. Karena faktor bahasa, narasumber Bangladesh yang kuwawancarai salah menjawab. Cerita itu berlangsung beberapa saat kemudian.*/Bersambung