Walau aksara Jawi menurun sejak kedatangan penjajah Inggris, tetapi ia tetap digunakan dalam urusan resmi, korespondensi sampai dokumen kemederkaan Bangsa Brunei Darussalam sendiri
Hidayatullah.com | FENOMENA aksara Jawi termasuk unik. Selain dari katanya “Jawi” juga tempat dimana istilah ini tumbuh.
Jawi, saya kira berasal dari kata Jawa, yaitu sebuah pulau di Indonesia yang terletak di kepulauan Sunda Besar, yang menyebar di beberapa provinsi di Indonesia, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Jogjakarta. Ternyata, sangkaan saya “kurang tepat”. Karena ada yang membedakan antara Jawi dan Jawa.
Istilah “Jawi” menyebar di Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam. Dan bentuk aksara Jawi adalah mirip aksara Pegon di Indonesia. Sedangkan tulisan Jawa yang kita kenal, adalah berupa Hanacaraka (ꦲꦤꦕꦫꦏ) dan Carakan (ꦕꦫꦏꦤ꧀).
Aksara ini banyak digunakan di Nusantara, seperti Aksara Sunda, Sasak dan Bali. Dalam beberapa catatan, bahwa aksara Jawa berasal dari India dari Suku Shaka.
Terus, apa perbedaan aksara Jawi, Jawa dan Pegon?. Dalam beberapa pendapat, kata “Jawi” berasal dari bahasa Arab “Jawah”, dan dari beberapa catatan yang ada, bahwa kata ini pernah ditulis Ibnu Bathutah (Maroko) yang menyebut Sumatera dengan kata “Al-Jawah”.
Dan kata Jawi dari kata Javadwipa, yaitu merujuk pada daerah Asia Tenggara pada masa lalu. Maka Jawi (Java), tidak hanya orang-orang Jawa tetapi kawasan Asia Tenggara; Bangsa Melayu, Pattani, Filipina, Aceh, Sunda, Minangkabau, Bugis, dan lainnya.
Hal ini, dibuktikan dengan penyematan nama ulama, Syeikh Abdurrauf bin Al-Jawi Al-Fansuri dan beberapa nama ulama masyhur lainnya, yang bukan berasal dari kepulauan Jawa (sekarang).
Aksara Jawi, atau Abjad Jawi, ada pula yang menyebutnya dengan abjad Arab-Melayu, abjad Yawi, tulisan Melayu, adalah tulisan yang berbasis abjad (aksara) Arab. Dan tulisan ini digunakan dalam penggunaan teks bahasa Melayu dan beberapa bahasa lainnya, seperti Palembang, Aceh, Minangkabau, Banjar, Betawi dan beberapa bahasa lainnya yang ada di Nusantara.
Aksara Jawi ini muncul sekitar tahun 1400-an di tanah Nusantara (dalam Kitab yang baru saya dapat dari UNiSSA, Al-Kitabah bil al-Huruf Al-Arabiyah). Dan hal ini dibuktikan dengan beberapa nisan yang bertuliskan aksara Jawi.
Sejak awal kemunculan Islam di Tanah Arab, barang-barang nusantara seperti rempah-rempah dan kapur barus mendapatkan perhatian istimewa pada waktu itu, orang Arab menyebut orang Melayu dengan Orang Jawi.
Sebelum aksara Arab dan kemudian menjadi nama tulisan “Jawi” diperkenalkan pada masyarakat Melayu. Terdapat bahasa Sanskrit (pallava) yang memainkan peranan penting terutama di kalangan bangsawan.
Tetapi, kemudian berjalannya waktu, aksara ini terkikis dan hilang. Di antara sebabnya karena penggunaan bahasa Sanskrit hanya digunakan kalangan bangsawan saja (M.Sahrin).
Masa keemasan aksara Jawi, pada tahun 1500-1800 orang-orang Nusantara (terutama Melayu), melihat bahwa tulisan Jawi sangat penting untuk digalakkan dan disiarkan, karena tulisan ini sebagai gerbang pada pemahaman Islam dan Al-Qur’an.
Dan aksara Jawi merupakan faktor utama yang memungkinkan bangkitnya Bahasa Melayu di samping penyebaran agama Islam. Dan tulisan Jawi digunakan secara luas di beberapa daerah, seperti Kesultanan Malaka, Johor, Brunei, Sulu, Pattani, Aceh dan Ternate pada awal Abad ke-15 untuk surat menyurat, titah diraja, pemerintahan, puisi (syair), komunikasi dalam dunia perdagangan dan hubungan diplomasi.
Aksara Jawi di Brunei
Tulisan Jawi di Brunei mengalami kemunduran di kalangan masyarakat umum, setelah datangnya penjajah Inggris pada abad ke-19, dan digantikan dengan tulisan Rumi (latin) yang banyak digunakan dalam diplomasi dan hubungan resmi pemerintahan.
Dan berjalannya waktu, aksara Jawi hanyalah dianggap tulisan agama. Dan ini juga mungkin yang terjadi di Indonesia, tulisan Pegon hanya dianggap tulisan untuk pengajaran di pesantren, sekolah agama, dan interaksi keagamaan Islam.
Dan dari sinilah, tulisan Jawi di Brunai mengalami kemunduran, karena masyarakat mulai berpaling pada tulisan Rumi. Bahasa Inggris mulai marak dan berkembang pesat. Sedangkan bahasa Arab, masih berjalan di tempat.
Menariknya, di Brunei Darussalam, walau aksara Jawi terus menurun sejak kedatangan Inggris, tetapi ia masih bertahan dan tetap digunakan dalam urusan resmi, dan tulisan Jawi sebagai korespondensi dalam membuka jalan kepada kemerdekaan Brunei.
Seperti Undang-undang Tafsiran 1959, Perintah Perlembagaan 1959 dan 1960, dan dalam teks kemerdekaan Brunei pada 1 Januari 1981 ditulis dengan tulisan Jawi, di samping tulisan rumi dan terjemahan dalam Inggris.
Dan sampai detik ini, tulisan Jawi menjadi tulisan resmi, baik dalam bidang kementerian dan jabatan kerajaan, acara adat, logi, surat-menyurat, nama jalan, nama sekolah, jabatan dan lainnya, dengan disertai tulisan Rumi.
Sementara tulisan Jawi, adalah sebuah keharusan di Brunei. Walau tulisan Rumi juga terus berkembang.
“Kita tidak mahu untuk kehilangan tulisan Jawi sebab inilah satu-satunya yang agung dan besar dari warisan yang masih tinggal yang boleh kita banggakan. Kehilangan tulisan Jawi akan banyak menjejaskan kepentingan kita seperti pudarnya semangat nasional dan binasanya agama karena fungsi tulisan itu juga mendukung kedua-dua perkara tersebut” (dalam Pelita Brunei, tulisan Jawi Sebagai Khazanah dan Warisan Bangsa).
Sebelumnya, mantan Menteri Dalam Negeri Brunei Darussalam Haji Awang Abu Bakar pernah mengatakan aksara Jawi adalah bagian dari peradaban Melayu yang harus dilestarikan. Apalagi dan jejak sejarah termasuk surat-surat perjanjian awal Brunei dengan pihak asing, sebagai bukti sejarah menunjukkan adanya tulisan Jawi.
Menurut Haji Awang, aksara Jawi tidak pernah terpinggirkan dalam Sistem Pendidikan Nasional Brunei hingga saat ini. Bahkan perannya sebagai media dalam pendidikan pengajaran agama Islam semakin memperkuat posisi tulisan Jawi.
Secara administrasi, lanjutnya, posisi tulisan Jawi terus diperkuat dengan menjadikannya sebagai bagian dari peraturan sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Departemen Perdana Menteri nomor 21/1988, yang mengatur tentang aturan penggunaan tulisan Jawi di pemerintahan dan swasta, termasuk urusan bisnis.
Bahkan dokumen Proklamasi Kemerdekaan Brunei Darussalam juga ditandatangani dalam dua versi bahasa Melayu dalam dua bentuk tulisan, yakni aksara Jawi dan aksara Rumi.
“Menyadari pentingnya keterampilan menulis Jawi sebagai dasar dalam membantu pembelajaran Al-Qur’an dan kehidupan seorang muslim di negeri ini, maka pengetahuan dasar menulis Jawi telah diperkenalkan dalam Kurikulum Bahasa dan Agama Melayu Sekolah Dasar. dengan harapan siswa Tahun 2 Pendidikan Umum masuk sekolah agama dengan keterampilan bahasa jawa untuk memudahkan belajar Al-Qur’an. Namun, dengan keterbatasan waktu di sekolah, orang tua dan wali perlu membantu siswa meningkatkan keterampilan tersebut di luar jam sekolah,” jelasnya dikutip Pelita Brunei.
***
Bagaimana dengan tulisan Pegon (Indonesia)?, Mengapa dinamakan Pegon, tidak Jawi? Dan mengapa nama tulisan “Jawi” lebih dikenal di luar kepulauan Jawa dari pada di Jawa (sekarang).?
Pegon yang berasal dari kata Jawa “Pego” yang berarti menyimpang, sudah sangat banyak dikaji, dan menarik untuk terus dilestarikan. Adakah perbedaan antara tulisan Jawi dan Pegon? Mungkin perlu artikel lagi unuk menuliskannya.*/Dr Halimy Zuhdi, Gadong, Negara Brunei Darussalam, 20 Desember 2022