SEBUAH tema berat terhidang pada sepotong lingkaran ratusan orang, di saat sebagian mereka tengah berjuang keras membunuh sisa-sisa kantuk. Subuh itu, udara cukup dingin masih menyelimuti suasana sebuah masjid berdinding terbuka.
Usai shalat berjamaah, Sabtu, 18 Shafar 1435 H itu kembali digelar Halaqah Peradaban. Tepat pada tanggal 21 Desember 2013, kajian rutin pekanan ini mengusung tema “Kader Mujahid Produk SNW”.
Hadir sebagai pembicara adalah Drs Tasyrif Amin. Ustadz yang juga Ketua Pimpinan Pusat (PP) Hidayatullah Bidang Pelayanan Umat ini duduk selantai dengan ratusan mahasiswa, santri dan warga pesantren.
Pukul 05.00 WIB, Halaqah Peradaban dimulai, dengan pembawa acara Ustadz Hafiz. Pria asal Madura, Jawa Timur yang juga imam masjid ini lantas mempersilahkan Tasyrif tampil di balik meja kayu.
Kader yang sudah ber-SNW tidak tidur pagi, kata Tasyrif dalam penyampaiannya. SNW, singkatan dari Sistimatika Nuzulnya Wahyu, manhaj pergerakan dakwah Ormas Hidayatullah.
Mendengar ini, pelan-pelan di antara santri seusia SMP yang kepalanya masih tertunduk mulai melupakan kantuk. Mereka fokus menyimak materi diskusi yang berlangsung di ruang utama Masjid Ummul Quraa, Kalimulya, Cilodong, Depok, Jawa Barat itu.
Tasyrif yang tampil dengan peci dan baju koko putihnya menyerukan para jamaah terus membiasakan sunnah Rasul dan menjauhi kebiasaan buruk. Jika tidak, kecirian kadernya telah hilang.
Dia mengatakan, sebagai ciri seorang kader mujahid adalah mengamalkan Islam dengan sungguh-sungguh.
Selain itu Tasyrif mengatakan, aspek penting dalam dakwah adalah keteladanan untuk para kader. Teladan utama umat Islam adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
“Dalam perjalanan dakwah, alat peraga yang paling baik adalah keteladanan. Nabi belum banyak ceramah, belum (ketika) banyak ‘seminar’, dan lain-lain tapi Nabi sudah banyak diikuti oleh orang-orang,” jelasnya.
Menyinggung kondisi bangsa Indonesia yang makin tidak jelas. Ini dinilai tidak adanya tauladan atas konsep negeri ini.
Kepada para mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmi Ekonomi Hidayatullah (STIEHID) yang hadir, Tasyrif berpesan, kehadiran mereka di Depok bukan sebatas mencari ijazah semata.
Tetapi, kata dia, sebenarnya agar mereka bisa menjadi orang-orang yang tercerahkan, untuk kemudian mencerahkan umat.
Pertanyaan Bujang
Setelah hampir sejam membawakan materi, tibalah sesi tanya jawab. Salah seorang jamaah bertanya, mengapa saat ini umat Islam tak kunjung bangkit. Tasyrif menjawab, saat ini umat Islam tertinggal secara fisik dan sains oleh barat.
“Kenapa kita nggak bangkit? Kenapa Barat yang bangkit? Itu pertanyaan banyak orang saat ini. Kita (berupaya) membangun peradaban yang sinergi antara zikir-fikir,” jawabnya.
Di samping kaidah-kaidah sains tidak miliki umat Islam, dalih Tasyrif, juga kaidah-kaidah spiritual belum maksimal. Umat harus mencetak kader yang lebih baik. Standar kader yang lebih baik itu, menurutnya, paling tidak mencintai al-Qur’an dan mengamalkannya.
“Kita (para orangtua. Red) sudah 50 tahun (baru) mau menghafal al-Qur’an. Karena kita sadar, membangun peradaban harus kuat al-Qur’annya, kuat sainsnya,” ujarnya.
Ilyas, seorang alumni STIEHID asal Aceh yang masih bujang lantas bertanya, bagaimana cara menghadapi kultur masyarakat di luar pesantren. Dengan enteng Tasyrif mengatakan, keluarga adalah jawaban pertama untuknya.
“Cari istri berkarakter mujahid. Lakukan pemetaan dan istikharah. Itu khusus untuk Anda,” jawab Tasyrif disambut riuh hadirin.
Mendengar jawaban itu, Ilyas yang belum lama ini dilantik sebagai Sarjana Ekonomi tampak mesem-mesem.
Tasyrif pun menjelaskan, jawaban umum dari pertanyaan Ilyas adalah, bahwa menghadapi masyarakat umum harus dimulai dengan kepribadian.
“Membangun kepribadian. Sahabat-sahabat dulu sibuk memperbaiki diri. Basis terkecil dari peradaban adalah keluarga,” jelasnya.
Kalau keluarga baik, peradaban akan baik. Kalau keluarga tidak baik, peradaban tidak baik, tandasnya.
Tepat saat jam dinding di masjid menunjukkan pukul 06.04 WIB, Halaqah Peradaban edisi kesekian ini berakhir. Tiba giliran hidangan ringan yang disantap hadirin, berupa air mineral gelas dan kue-kue basah.
Para santri junior yang awalnya berusaha keras melawan nafsu tidur, kali ini mereka berusaha keras melawan nafsu lambung. Pasalnya, beberapa mereka tak kuasa menahan diri untuk tidak berebut makanan.
Semoga suatu hari nanti, mereka tak lagi berebut makanan, tapi sudah tak kuasa lagi menahan diri untuk “berebut” panggilan dakwah sebagai kader mujahid.*