Hidayatullah.com–Sejumlah kematian dilaporkan terjadi dalam dua minggu terakhir di kamp yang terletak diantara Suriah dan Jordania ketika kerajaan itu berjuang dengan gelombang baru pengungsi yang lari dari pemboman Rusia dan IS.
Zaatari, Jordania – Sejumlah pengungsi meninggal pada dua minggu terakhir di sebuah kamp terpencil yang kondisinya buruk di perbatasan Jordania dikarenakan badai salju, luka-luka, malnutrisi, dan penyakit. Gelombang baru pengungsi yang lari dari pemboman Rusia dan ISIS sangat rentan terdampak hal tersebut, menurut pengamatan Middle East Eye (MEE), Jumat Februari 2016.
Kebanyakan dari korban merupakan anak-anak, wanita dan orang tua yang menjadi bagian dari sekitar 18.000-19.000 pengungsi yang berkumpul di Ruqban.
Kamp Ruqban berada di dalam bagian daratan yang tidak berpenghuni dimana berbatasan juga dengan Iraq. Untuk mendapatkan akses air, penghuni kamp hanya bergantung pada sumur bor. Desa Ruwaishid merupakan desa yang paling dekat dengan kamp itu, dan jaraknya mencapai 120km dari kamp sedangkan jalannya pun tidak beraspal. hujan lebat yang terjadi 10 hari yang lalu membuat wilayah itu sementara tidak dapat diakses.
Kondisi sanitasi di sana sangat buruk sehingga hepatitis menyebar di kamp.
Seorang petugas bantuan yang kembali dari Ruqban pada Rabu, yang namanya tidak disebutkan memberi tahu MEE tentang kematian di kamp, dia mengatakan:
“Antara 70 hingga 100 pengungsi telah meninggal dalam dua minggu terakhir di Ruqban karena badai salju. Para pengungsi berdatangan dari seluruh tempat, termasuk Hajar al-Aswad. Mereka telah tiba di sana selama beberapa bulan. Beberapa baru saja tiba.”
“Kebanyakan yang meninggal merupakan anak kecil, wanita, dan orang tua. Mereka meninggal karena luka yang disebabkan perang, tetapi mereka tersiksa karena penyakit, seperti hepatitus. Di sana kekurangan sanitasi, malnutrisi, cuaca dingin – berbagai macam faktor.”
Seorang petugas bantuan Jordania kedua yang baru saja kembali dari kamp menggambarkan kondisi di sana.
“Anjing bahkan hidup lebih baik,” kata Zainab Zubaidi, Ketua White Hands Society For Social Development, satu dari beberapa badan bantuan yang beroperasi di kamp.
“Di sana terdapat dokter tetapi jumlah itu tidak cukup. Tidak ada ambulans. Tidak ada obat-obatan. Tentara [Jordania] bertugas di sana tetapi tidak ada organisasi internasional kecuali Palang Merah dan beberapa organisasi Jordania seperti kami. Hanya kami organisasi yang bekerja secara tetap di sana.
“Sampai kemarin [Rabu] terdapat antara 18.000-19.000 pengungsi di wilayah itu. Tidak otoritas yang memimpin di dalam kamp. Orang-orang berusaha menjalani kehidupan dengan normal, tetapi tidak ada hukum dan perintah dan ada pencurian di sana.”
Tenaga medis tentara mendapat vaksinasi tetapi tenaga bantuan Jordania yang memasuki kamp tidak.
“Terdapat lima keluarga di dalam sebuah tenda. Itu artinya sebanyak 30 sampai 40 orang dalam satu tenda. Banyak dari mereka merupakan wanita tanpa keluarga mereka. Mereka tiba dalam keadaan putus asa lari dari yang terburuk, kondisi yang paling menyedihkan,” kata dia. “Banyak dari pengungsi lari dari kelompok ISIS maupun dari rezim Assad.”
Laporan tentang kematian massal di kamp datang ketika pemimpin-pemimpin dunia dan diplomat berkumpul di London dalam konferensi donor untuk penggalangan dana bagi pengungsi Suriah. Inggris dan Norwegia mengumumkan tambahan dana sebesar 2,9 milyar dollar untuk empat tahun sebelum pertemuan dimulai.*/Nashirul Haq AR (Bersambung)