SHALAT berjamaah di Masjid al-Munawwarah telah berakhir. Ratusan umat Islam mulai berhamburan meninggalkan masjid yang terletak di pinggir jalan raya trans-antar kota itu. Mereka adalah masyarakat Desa Lingadan yang baru saja usai menjalankan shalat Jumat.
Al-Munawwarah merupakan masjid terbesar di Lingadan, Kecamatan Dako Pemean, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Masjid ini selalu digunakan untuk shalat Jumat dan shalat fardhu lima waktu.
Namun, sejak belasan tahun lalu, ada beberapa orang kaum Muslim yang tidak lagi shalat Jumat di masjid tersebut. Bukan hanya karena sudah meninggal dunia, tapi juga karena mereka sudah jadi penganut Syiah.
Paham sesat ini ternyata telah bercokol lama di Tolitoli. Khususnya di Lingadan, penganut Syiah sudah ada setidaknya sejak sekitar 15 tahun lalu. Hal ini diungkap oleh salah seorang tokoh masyarakat setempat, Jam’an, yang juga Imam Masjid Al-Munawwarah.
Jam’an mengungkap, awal kalinya Syiah muncul di Lingadan dibawa oleh seorang mantan Kepala Desa Lingadan, (alm) Ahmad Abu Bakar pada kisaran tahun 1999. Tepatnya ketika Ahmad Abu Bakar usai merantau ke Balikpapan, Kalimantan Timur.
“Pulangnya dari sana (Balikpapan) terus masuk aliran Syiah. Dan buku-buku (kajian)nya katanya dari Iran, dapat kiriman dari Jakarta,” terang Jam’an dalam jamuan makan malam dengan Hidayatullah.com di kediamannya dekat al-Munawwarah, Jumat (08/08/2014).
Jam’an mengungkap, Ahmad merupakan orang asli Lingadan. Awalnya ia tokoh agama yang diakui masyarakat setempat. Ia pun mendakwahkan Syiah kepada masyarakat secara terang-terangan.
Dakwah Ahmad pun diikuti sejumlah warga Lingadan. Di antaranya (alm) Sukri (putra Ahmad), Salim, dan Hasanuddin. Mereka masih memiliki ikatan keluarga Jam’an. Di Kota Cengkeh Tolitoli, ikatan keluarga memang cukup erat.
![Jam'an, Imam Masjid al-Munawwarah Lingadan [foto: Syakur]](https://hidayatullah.com/engine/files/2014/08/0416-Jaman-Imam-Masjid-al-Munawwarah-Lingadan-by-Syakur.jpg)
Shalat Sambil Memukul
Kini, sepeninggal Abu Bakar dan Sukri, tinggal Salim, Hasanuddin, dan sejumlah anggota keluarga masing-masing yang menganut Syiah di Lingadan.
“Selama dorang (mereka) masuk (Syiah) itu, nda ada lagi (ikut) shalat jamaah di masjid,” ujar Jam’an dengan logat khas Tolitoli.
Jam’an mengaku pernah melihat mereka shalat dengan cara berbeda dengan kalangan Sunni.
“Biasa saya perhatikan memang shalatnya. Kalau Lohor (Zhuhur. Red) dia sudah sambung-sambung. Iya jamak mungkin. Dia kan memang nda ke masjid, kan. Di rumahnya dia sering shalat. Macam dia main-main saja ibadahnya,” ujarnya.
Yang mengherankan bagi Jam’an ketika melihat gerakan memukul-mukul paha yang mereka lakukan saat rukun tahiyat pada shalat.
“Saya bilang, apa ini? Dia kalau mau tahiyat dia begini, (bunyi ‘plak, plak, plak, plak’) kayak bertepuk-tepuk begitu. Mungkin keyakinannya so (sudah) begitu,” ujar Jam’an sembari menirukan cara tahiyat penganut Syiah.
Selain sudah tidak pernah ke masjid lagi, para penganut Syiah di Lingadan, ungkap Jam’an, tidak mengakui tiga Sahabat utama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu’anhu, Umar bin Khattab Ra, dan Utsman bin Affan Ra.
“Dorang kan tidak akui (Sahabat) Abu Bakar. Ali (bin Abi Thalib Ra) saja (diakui), itu masalahnya. Karena katanya Ali itu menantunya Rasulullah yang paling dekat,” ungkap Jam’an kepada hidayatullah.com.
Para penganut Syiah itu juga enggan berbaur dengan masyarakat, meski pekerjaan sehari-hari mereka sama saja, sebagai petani cengkeh atau nelayan.
Berbeda dengan Ahmad sang guru, Salim dan Hasanuddin tidak mendakwahkan Syiah. “Dorang cuma anak murid saja. Cuma ikut-ikutan,” ujar Jam’an.
Sejauh ini, keberadaan keduanya tidak berpengaruh dan belum meresahkan masyarakat. Namun Jam’an setuju, jika sudah kuat penganut Syiah bisa berbahaya bagi umat Islam.
“(Pengaruhnya) tidak ada. Orang juga nda mau (terpengaruh),” imbuhnya.
Jam’an mengaku, pihaknya sebagai tokoh masyarakat sudah menasihati para penganut Syiah tersebut. Namun mereka tidak mengindahkannya.
Bahkan, katanya, salah seorang ustadz dari Balikpapan pernah menasihatinya.
“Bapak (ustadz) pernah ke sana, (tapi) ditolak,” ujarnya.
Kisah Syiah Perkotaan
Lain di pedesaan, lain pula di perkotaan. Sebelumnya, media ini juga sempat mendapat cerita dari salah seorang warga, sebut saja Abdullah, yang tinggal di kawasan perkotaan, Kelurahan Tuweley, Kecamatan Baolan, Tolitoli.
Abdullah mengungkap, seorang ibu mertuanya, Siti, bukan nama sebenarnya, yang awalnya Sunni akhirnya terjerumus ke Syiah.
Ia masuk Syiah karena dipengaruhi dua orang anaknya, Bed dan Yase. Keduanya nama samaran.
Jelang akhir hayatnya, Siti diceritakan sering melakukan hal-hal di luar kewajaran yang diduga akibat ikut Syiah. Misalnya tiba-tiba keluar rumah melakukan sesuatu yang tidak jelas.
“Macam tidak waras begitu,” ujar Abdullah saat disambangi hidayatullah.com di rumahnya belum lama ini.
Sebelum meninggal dunia, Siti sempat berwasiat agar dikuburkan di halaman rumahnya. Namun Abdullah dan pihak keluarga lainnya yang Sunni menolak hal itu. Di antara alasannya karena rumah mereka terletak di komplek perumahan, tak pantas jika ada kuburan. Akhirnya Siti dikuburkan di sebuah pemakaman umum di pinggiran kota Tolitoli.
Jenazah Siti, tutur Abdullah, sempat dishalatkan oleh kalangan Sunni dengan anggapan dan harapan Siti wafat dalam keadaan Sunni. Saat dimakamkan, arah makamnya menghadap kiblat. Namun, oleh Bed dan Yase makam ibu mereka dibongkar dan arahnya diubah jadi tidak menghadap kiblatnya umat Islam.
Sayangnya, jelang sakaratul mautnya Siti, Abdullah mengakui tidak ada seorang pun pihak keluarga yang sempat membimbing mertuanya sebelum menjemput ajal.
“Kita pas keluar rumah sakit semua setelah bajaga (menjaga mertua yang sakit. Red),” ujarnya.*