“CUACA buruk sekali, ketinggian ombak 6 sampai 8 meter.”
Pesan singkat itu masuk ke ponsel relawan yang hendak berangkat menuju Kabupaten Asmat, Papua, awal Februari 2018.
Bumi Cenderawasih itu memang terkenal dengan kondisi geografisnya yang sulit dijangkau. Hal ini pula yang dirasakan sejumlah relawan dan wartawan dalam misi kemanusiaan dan peliputan ke Kabupaten Asmat.
Kapal Kemanusiaan untuk Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi Buruk dan Campak di Kabupaten Asmat, diberangkatkan, baru-baru ini. Kapal yang mengangkut 100 ton beras itu dilepas dari Pelabuhan Pintu Air Merauke.
Sabtu (03/02/2018) itu, pantauan wartawan di lokasi, aktivitas pelabuhan sibuk dengan pengangkutan beras ke kapal. Beras didatangkan dari gudang Badan Urusan Logistik (Bulog) Regional Merauke. Bahan pokok itu merupakan hasil olahan tangan yang ditanam langsung para petani Merauke.
Menurut Bulog, tak ada kendala selama proses distribusi ke Asmat. Hanya satu rintangannya; “Cuaca kurang bersahabat,” kata Kepala Bulog Sub Divre Mereuke, Yudi Wijaya. Kondisi lautan saat itu sedang rawan. Ombak sedang tinggi-tingginya. Ombak bisa mencapai 6 meter. “Cuaca beberapa hari ke depan kita belum tahu,” imbuhnya.
Pelepasan kapal dilakukan secara simbolik dengan prosesi gunting pita oleh Presiden ACT Ahyudin -lembaga penggagas program- didampingi Kepala Bulog Sub Divre Mereuke, Yudi Wijaya, Kapolsek Kawasan Pelabuhan Laut Merauke AKP Horas Nababan, dan Anggota DPRD Papua Kusmanto.
Tertahan di Timika
Senin (05/02/2018) pagi, tim berdasarkan jadwal akan berlayar ke Asmat lewat Pelabuhan Pomako, Mimika. Namun, kondisi cuaca yang tak menentu membuat tim relawan-jurnalis tertahan di Timika.
Gelombang laut dan ombak tinggi menjadi kekhawatiran terbesar saat itu. Beberapa penyedia jasa transportasi, baik laut atau udara, yang dihubungi tim relawan belum ada yang diperbolehkan berangkat ke Asmat.
“Kita belum bisa berangkat hari ini, katanya ombaknya sampai enam sampai delapan meter. Kita istirahat dulu aja,” ujar relawan Shulhan Syamsur Rizal lansir Islamic News Agency (INA).
Setelah melakukan diskusi di antara relawan, tim memutuskan bermalam di salah satu hotel di Jl Cendrawasih, Timika Jaya. Perjalanan dilanjutkan Selasa (06/02/2018) pagi.
Adit, pegawai Kementerian Perhubungan yang sempat bertemu tim relawan di Merauke mengabarkan, kapal dari Pelabuhan Pomako tidak ada yang boleh berlayar.
“Tadi ada info kalau kapal dari Timika belum ada yang boleh keluar. Cuaca buruk sekali, ketinggian ombak 6 sampai 8 meter,” katanya lewat pesan singkat kepada relawan. Ia pun menyarankan agar relawan menyewa pesawat perintis.
Kabar yang sama juga datang dari warga setempat, Rafael, seorang supir bandara Mozes Kilangin yang juga sering mengangkut penumpang ke Pomako.
“Pelabuhan Pomako, ombak lagi besar,” katanya. Ia menuturkan, perjalanan dari pelabuhan ke Asmat memakan waktu 3 sampai 4 jam.
Keadaan serupa juga dituturkan Kepala Bulog Sub Divre Mereuke, Yudi Wijaya. Pihaknyalah yang memfasilitasi pengiriman beras mau pun bantuan pangan ke Asmat.
“Cuaca sedang kurang bersahabat. Ombak di lautan juga tinggi. Ini jadi kendala angkutan dari Merauke, pihak bandara juga tak keluarkan izin keberangkatan, sementara laut ombak besar,” terangnya.
Bandara di Atas Rawa
Tim relawan terus mengupayakan keberangkatan secepat mungkin. Hingga akhirnya, kami bisa berangkat ke kabupaten tujuan dari bandara lama Mozes Kilangin, Timika. Lalu tiba di Bandara Ewer, Asmat, pada Selasa (06/02/2018) siang.
Untuk diketahui, Mozes Kilangin adalah bandara internasional milik PT Freeport Indonesia. Awalnya, bandara ini khusus perusahaan. Namun, pada 2013 peruntukannya diubah menjadi umum.
Salah seorang pekerja bandara bernama Atyh Wakum mengatakan, aktivitas bandara belakangan ini menjadi ramai semenjak kasus gizi buruk dan campak menguak ke media.
Rombongan terbang dari Timika ke Asmat menggunakan pesawat Charter Twin Otter milik jasa penerbangan Airfast. Maksimal penumpang yang bisa diangkut 19 orang termasuk awak kokpit.
Pesawat take off pukul 12.00 WIT, kami dibawa terbang ke ketinggian 7500 kaki. Dari atas sana, landscape geografis Timika terlihat jelas. Kelok-kelok sungai berwarna kecoklatan membelah hijaunya hamparan kota Timika dan sekitarnya.
Syukurnya, cuaca saat itu cerah berawan. Perjalanan kami lalui tanpa kendala berarti. Kecepatan pesawat 105 knot. Di angkasa, sebagian jurnalis asyik mengambil gambar pemandangan, sebagian berbincang-bincang.
Pukul 12.45 WIT kami mendarat di Bandara Ewer. Bandaranya kecil, hanya ada satu landasan. Bandara ini dibangun di atas rawa, kontur tanahnya yang empuk membuat pesawat besar tak bisa mendarat di sini.
Rijal Juliawan, pilot yang membawa kami menuturkan, panjang landasan 600 meter dan saat ini sedang diperpanjang lagi menjadi 1.100 meter.
Dari kejauhan, bandara itu lebih mirip lapangan kosong dengan aspal melintang di tengahnya. Di sekelilingnya rumah-rumah panggung terbuat dari kayu, tepat di bawah rumah itu air menggenang.
Tak ada tower komunikasi laiknya bandara lainnya. Rijal menuturkan, pendaratan dilakukan dengan teknik pendaratan visual (pandangan mata).
Semenjak kasus gizi buruk dan campak mencuat, frekuensi penerbangannya ke Asmat bertambah. “Tadi pagi ada. Besok kita juga kesini lagi,” tuturnya. Selasa itu, ia sudah dua kali ke Asmat. Ia paling sering terbang ke Ilaga.
Di bandara, kami melipir sejenak di sebuah warung makan dan satu-satunya warung. Mengisi tenaga untuk melanjutkan perjalanan ke Agats lewat jalur sungai.
Makanan yang disediakan hanya mi instan rebus maupun goreng. Spesialnya, warung itu tersedia Wi-Fi. Jaringan komunikasi apalagi internet adalah sesuatu yang berharga di Asmat, selain air bersih.* Suandri Ansah