Hidayatullah.com–Matahari beranjak pelan ke atas ubun-ubun ketika rombongan dari Wakaf Al Quran Suara Hidayatullah dan BMH Sidoarjo menyurusi sungai Pucuan dengan sebuah perahu kecil. Perjalanan dimulai saat hawa mulai terasa panas. Tak pelak, peserta rombongan yang terdiri dari sebelas orang yang akan membagikan al Quran wakaf itu pun bernaung di bawah terpal perahu ketek. Alhamdulillah, setidaknya bisa mengusir sedikit panas terik matahari.
Deru mesin ketek terdengar keras hampir memakkan telinga. Hal itu membuat suasana semakin komplit: panas dan berisik. Meski begitu, rombongan tampak menikmatinya.
“Sesekali kan refreshing naik ketek. Selama ini di darat, kena macet,” kata M Shobah, pengurus Wakal Al Quran Hidayatullah, Surabaya. Alam sepanjang sungai terbilang masih alami. Banyak pohon mangrove dan tumbuh-tumbuhan lainnya indah berjejer di sepanjang sungai.
Burung pencari ikan juga tampak berterbangan di pinggir sungai. Tidak hanya itu, di sepanjang pinggir sungai terlihat nelayan yang sedang mencari kepiting, belut. Selain itu banyak pula para pemancing mengambil posisi untuk mendapatkan ikan. Mereka menambatkan perahunya di pohon di pinggir sungai.
Dusun Pucuan, desa Gebang, Kecamatan Sidoarjo, Jawa Timur ini terletak di daerah sekitar tambak dan sungai besar. Untuk mencapainya harus menggunakan ketek bermesin diesel dengan jarak tempuh satu setengah jam. Bila air surut, ketek tak bisa berjalan. Selain ketek, sebenarnya bisa menggunakan sepeda motor. Tapi, harus melalui jalan di sekitar tambak yang licin dan sempit. Karena itu, tak banyak warga yang berani. Sebab, sudah banyak yang pulang basah kuyup akibat tercebur.
Selain bertani, sungai Pucuan selama ini menjadi denyut nadi perekonomian warga. Buktinya saja, seperti jasa ketek. Ia mematok upah sewa ketek bolak-balik Rp 300 ribu. Cukup lumayan mahal.
Menyusuri sungai yang kecil memanjang dan dipenuhi pepohan mangrove bak menembus belantara hutan mini. Melihat ujung sungai, tampak seperti sudut lancit yang mengecil. Tak pelak, perjalanan air ini memberikan kesan tersendiri. Percik air yang terdengar dari kanan dan kiri ketek seolah memberikan musik yang indah. Kumpulan enceng gondok yang lalu-lalang tak pernah habis-habisnya.
Perjalanan pun sampai di sebuah dermaga kecil. Terbuat dari beberapa bilah bambu yang disusun jarang-jarang. Firman, seorang kenek ketek yang baru kelas 6 SD mengikatkan talinya. Satu persatu satu rombongan dipersilakan naik adalah Ibu Nizma Agustjik (49), wakif Al Quran dari Inggris tampak keropotan naik ke dermaga. Ia pun meminta seorang ibu untuk memegang tanganya.
“Waduh, bagaimana nih kalau saya jatuh. Betul-betul penuh petualangan,” ujar perempuan keturunan Indonesia yang telah tinggal di Inggris selama 30 tahun lebih itu.
Dusun Pucuan dikepung air. Sebelah belakang sungai sedangkan bagian depannya tambak berbedeng-bedeng luas. Sejauh pandangan mata, hanya air yang terlihat. Rumah penduduk Pucuan tergolong sangat sederhana. Banyak yang beratap seng, dan berdinding gedhek. Ukuran rumahnya sekitar 7 x 5 meter. Selama ini, mereka hanya menggantungkan hidup di air. Adapun tambak yang luas itu milik orang lain. Dusun ini dihuni 50 KK atau sekitar 200 jiwa. Semuanya muslim.
Yang sangat memprihatinkan, meski letaknya dekat dengan jantung kota Sidoarjo, namun kondisinya sangat terpencil dan bolah dibilang terisolasi.
“Sungguh tak masuk akal, sementara di sebelahnya ada kota besar (Sidoarjo, red), sedang di sini orang bisa terisolasi, ” begitu kesan Nizma yang jauh-jauh datang dari London ini. “Padahal jika dikelola, ini bisa jadi pariwisata yang eksotis, ” tambahnya.
Di tempat ini hanya ada satu masjid, Sabilul Muttaqin. Siang itu, sekitar 25 santri TPA telah berkumpul. Mereka sedang menanti kedatangan rombongan Wakaf Al Quran dengan senyum manis yang merekah. Mereka tampak tak sabar lagi menerima bantuan Al Quran dan mukenah. Bantuan itu diberikan langsung oleh Pendiri sekaligus Piminan Chariots For Children (CFC), Nizmah Agustjik.
Menurut Nizma, batuan ini adalah amanah dari saudara sesama Muslim di Inggris. Kedatanganya ke Pucuan ini untuk melihat langsung kondisi warga Pucuan. Ia pun berharap suatu saat bisa datang lagi dan memberi bantuan lebih banyak.
“Saya harap mereka kelak menjadi generasi muslim yang tangguh dan pintar” ujarnya.
Dulu, Tak Ada Jumatan
Ustadz Wiadi, imam Masjid Sabilul Muttaqin mengatakan, masjid ini dulunya adalah mushola kecil yang tak terurus. Para warga tidak menggunakanya untuk ibadah. Bertahun-tahun tak ada ngaji, shalat jamaah lima waktu, apalagi shalat jumat. Hal itu, menurutnya, karena minimnya pengetahuan agama Islam. Apalagi, tak ada ustadz atau dai yang membimbing mereka.
“Gara-gara tak ada ustadz, shalat jumat ditiadakan,” ujar ustadz yang akrab disapa Cak Dwi asal Malang ini.
Tempatnya yang jauh dan sulit dijangkau membuat ustadz dari luar Pucuan tidak mau datang ke sini. Apalagi bila harus merogoh kocek sendiri.
“Dulu jarang ada dai yang mau ke sini. Selain melelahkan juga mahal,” terangnya. Pihak masjid pun tak bisa mengongkosi karena tak ada kas keuangan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Namun, sekitar tahun 1997 geliat kegiatan keislaman mulai marak. Dari TPA, ceramah hingga shalat Jumat. Bantuan datang dari berbagai pihak. Salah satunya dari Baitul Mal Hidayatullah (BMH) Sidoarjo.
Sudah beberapa tahun ini BMH melakukan pembinaan dan pemberian bantuan.
“Kita rutin kirim dai dan khotib Jumat ke sini,” ujar Tommy, Ketua Divisi Program BMH.
Tidak hanya itu, menurutnya, BMH juga memberikan insentif kepada dua orang dai, ustadz Wiadi dan ustadzah Titi. Keduanya warga Pucuan yang setiap hari bertugas mengelola masjid. Untuk bidang pendidikan, BMH juga rutin memberikan bantuan beasiswa dan perlengkapan sekolah: seragam, buku, tas dan sebagainya.
“InsyaAllah kita akan konsen melakukan pembinaan di tempat ini,” ujarnya.
Alhamdulillah, kondisi keberagamaan warga Pucuan bersinar kembali. Shalat Jumat, kajian keagamaan, dan kegiatan TPA berjalan. Hal itu menambah eksotime alam. Setidaknya, duduk menghadap tambak dan menikmati sepoi-sepi udara sambil mendengarkan anak-anak mengaji.
Menurut Cak Dwi, sampai saat ini ada sekitar 50 KK penghuni kampung yang cukup terpencil ini. Di sisi lain, perkembangan anak-anak sudah semakin cepat. Untuk untuk mengatasi sekolah anak-anak usia masih SD, nampak tak ada kesulitan. Hanya saja, sebentar lagi usia SMP dan SMU akan semakin banyak. Sementara untuk sekolah ke luar dengan kondisi transportasi seperti ini jelas sesuatu yang merepotkan.
“Yang kami butuhkan saat ini adalah alat transportasi yang cepat dan murah. Karena sebentar lagi banyak anak-anak mulai masuk SMP dan SMU. Jika tidak, bagaimana nasib pendidikan mereka ke depan?”, demikian keluh Cak Dwi. Semoga saja ada jalan keluar!*