Hidayatullah.com | ADA pemandangan yang tidak lazim di Masjid Abu Dzar al-Ghifari Malang, Jatim. Tepat di belakang teras sebelah utara terdapat pantry (dapur mini) sederhana. Pantry itu berisi lemari yang dipakai untuk menyimpan perabot seperti piring, gelas, mangkuk, dan sejenisnya. Serta meja untuk menaruh makanan dan minuman.
Di dalam pantry tampak tiga pemuda sibuk menyiapkan ifthar (buka puasa) bagi jamaah. Ada yang menata piring plastik berisi kue dan kurma, ada yang memasukkan sendok ke gelas berisi kolak serta ada yang menuang petis ke mangkuk.
Sebuah terpal berkelir biru terbentang di depan mereka. Di atasnya berjejer rapi 48 piring plastik berisi kue serta kurma. Plus lengkap dengan air mineral kemasan gelas.
“Alhamdulillah, setiap Senin, Kamis, dan hari-hari puasa Yaumul Bidh kita biasa sediakan takjil bagi jamaah yang menjalankan puasa sunnah,” jelas salah satu dari ketiga pemuda itu saat berbincang dengan Hidayatullah.com.
Sementara, pada Kamis sore itu, ruang utama Masjid al-Ghifari dipenuhi jamaah. Bahkan, meluber sampai teras.. Mereka tampak antusias mendengar penjelasan tentang Masjid al-Aqsha dan Negara Palestina yang sampai kini dijajah oleh Zionis Israel Laknatullah.
Ketua Takmir Masjid Abu Dzar al-Ghifari Agus Junaidi menjelaskan, keberadaan pantry itu sudah ada sejak 5 tahun yang lalu. “Awalnya, kita punya program kerja menyediakan takjil setiap Senin-Kamis. Ketika ingin menyiapkan makanan dan minuman kita perlu meja. Daripada bolak-balik angkat meja, maka dibuatlah pantry,” jelas Junaidi.
Seiring waktu, kebutuhan adanya pantry itu tak sekadar ketika ada program buka bersama puasa sunnah, tetapi juga tiap ada kegiatan yang menyediakan makanan dan minuman bagi jamaah. “Alhamdulillah, jamaah yang ikut buka puasa Senin dan Kamis sekira 300-an. Itu belum dengan jamaah wanita,” ungkap Junaidi seraya bersyukur.
Prinsip Keterbukaan
Takmir memiliki motto, “Jamaah shalat Subuh Masjid al-Ghifari harus seperti jamaah Shalat Jum’at.”
Junaidi bersyukur motto itu bisa terwujud. “Alhamdulillah, sejak lima tahun ke belakang, jamaah shalat Subuh di sini, seperti jamaah shalat Jum’at. Meski jamaah hanya kita pusatkan di lantai bawah.”
Tak hanya ramai jamaah shalatnya, pada waktu kajian rutin pekanan, baik ba’da shalat Subuh atau Maghrib, ruang utama masjid juga dipadati jamaah. Tiap hari ada jadwal kajian dengan tema dan pemateri yang berbeda.
Lalu, apa resepnya al-Ghifari bisa semakmur itu?
Junaidi menjelaskan, pengurus memiliki komitmen yang sama sejak awal didirikan. Al Ghifari tidak boleh terikat ‘bendera’ tertentu. Semua umat Islam boleh menggunakannya sebagai sarana ibadah.
“Terlepas dari kelompok A, B atau C. Prinsip itulah yang kami pegang sampai sekarang,” jelasnya kepada Hidayatullah, pada pertengahan April lalu.
Dengan prinsip keterbukaan seperti itu, respon jamaah sangat positif. Artinya, tak hanya dari warga lokal sekitar, tetapi warga luar juga ikut berbondong-bondong memakmurkan al-Ghifari.
Ramah Lingkungan
Junaidi melanjutkan, pengurus sebagai tuan rumah menganggap jamaah sebagai tamu Allah. Dalam Islam, adabnya tuan rumah harus melayani tamu dengan sebaik-baiknya.
“Karena itu, pengurus berupaya memberikan pelayanan terbaik agar jamaah merasa nyaman ketika beribadah.”
Bagaimana caranya?
Junaidi menjelaskan, pertama takmir mendesain masjid dengan arsitektur yang unik untuk menghadirkan kesan nyaman di dalam hati jamaah. Mulai dari ketika jamaah masuk ke gerbang, tempat parkir, ruang utama, tempat wudhu sampai toilet.
Contoh desainnya, seperti taman vertikal yang ada pada dinding setelah pintu gerbang, ornamen berwarna-warni di ruang utama seperti arsitektur Ottoman di Turki, serta mihrab yang didesain menyerupai miniatur pintu Ka’bah.
“Jamaah yang belum tahu, mungkin bertanya-tanya. Ini kenapa di ruang utama ornamennya warna warni, tidak ada plafonnya dan sebagainya. Tetapi setelah diberikan penjelasan, jamaah baru paham. Oh, tujuannya begini,” papar Junaidi.
Selain itu, masjid yang terletak di komplek perumahan Griya Santha Malang ini, juga didesain dengan konsep environmental friendly (ramah lingkungan,-red). Kusen-kusen jendela dan pintu memanfaatkan kayu dari bekas ngecor. Ada banyak jendela kayu yang terbuka, dipadu dengan kaca transparan.
“Kita berharap kalau cuaca normal, nggak butuh banyak lampu. Dengan desain seperti itu, udara dari luar dan sinar matahari bisa langsung masuk,” jelas Junaidi.
Untuk fasilitas penunjang seperti kamar mandi didesain agar dapat dipakai untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK). Bahkan dilengkapi dengan shower seperti di hotel. Lalu, lantai tempat wudhu didesain miring agar memudahkan jamaah difabel yang memakai kursi roda.
“Total ada 9 unit kamar mandi dan lebih dari 15 titik kran untuk wudhu,” ujar Junaidi..
Termasuk keberadaan pantry, itu merupakan salah satu upaya takmir dalam memberikan pelayanan terbaik bagi jamaah al-Ghifari. Junaidi menegaskan, kenyamanan dalam beribadah tak sekadar bisa diperoleh dari optimalisasi fisik bangunan, tetapi juga dengan cara menciptakan lingkungan sosial yang baik dan penuh keakraban di antara jamaah yang heterogen.
“Jamaah di sini sudah seperti kelurga sendiri, meskipun dari berbagai komunitas dan kalangan,” jelas Junaidi.
Imam Timur Tengah
Resep berikutnya, masih kata Junaidi, adalah memilih Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, di mana pengurus menetapkan 2 orang hafizh al-Qur’an sebagai imam shalat. “Satu imam dari Timur Tengah, satunya lagi imam lokal. Alhamdulillah, bacaan imam disukai oleh jamaah. Tidak sembarang orang dapat menjadi imam Masjid al-Ghifari. Harus kita tes terlebih dahulu mulai dari bacaan sampai segi keilmuannya,” ungkapnya.
Untuk imam dari Timur Tengah setiap Rabu dan Jum’at, khusus shalat Subuh, Maghrib serta Isya’. Selain waktu itu, shalat dipimpin oleh imam lokal, yang semasa kuliah menjadi langganan juara lomba tahfizh al-Qur’an.
“Imam shalat itu merupakan salah satu SDM yang harus menjadi prioritas. Ini poin penting dalam memakmurkan sebuah masjid,” terang Junaidi. */Achmad Fazeri, Suara Hidayatullah