Hidayatullah.com–Sudah hampir 6 (enam) bulan dunia telah digemparkan dengan munculnya virus corona atau disingkat dengan Covid-19. Pandemi yang pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, China pada Desember tahun 2019 ini sudah merabah hampir ke seluruh penjuru dunia dan salah satunya yang terdampak di Thailand.
Setelah pemerintah Thailand mengumumkan Status Darurat Nasional yang efektif berlaku sejak 26 Maret hingga 30 April dan kemudian diperpanjang masa berlaku sampai akhir Mei. Penetapan status ini berarti menutup perbatasan dan akses masuk bagi pendatang dari luar Thailand, sehingga menutup perbatasan antar provinsi bahkan sampai tingkat batas desa, melarang kegiatan yang melibatkan keramaian, penutupan toko-toko kecuali yang menjual kebutuhan pokok.
Namun di balik semua dampak-dampak yang diakibatkan dari musibah Covid-19 ini, terdapat kandungan hikmah yang luar biasa khususnya bagi masyarakat di Patani (selatan Thailand). Virus corona telah menarik hati para anak muda Patani semua untuk bangkit kembali menjaga budaya “Gotong Royong” sebagai warisan leluhur bangsa Melayu Patani yang telah lama hilang.
“Gotong Royong” kini hadir kembali di tengah-tengah wabah Covid-19 untuk menata dan menjaga kampung halaman masing-masing dari bahaya virus corona ini. Dan seiring dengan kurangnya perhatian Pemerintah Thai terhadap warga masyarakat terkhusus di Patani penyebab warga memilih untuk hidup secara mandiri dengan terbentuknya Persatuan Muda-Mudi untuk Pengelolaan Bantuan Masyarakat.
Luput perhatian pemerintah Pusat
Beberapa kawasan telah mendirikan pusat administrasi dengan nama yang berlainan, untuk menangani bantuan seluruh warga yang terdampak dari krisis ekonomi merusut dan kurangnya perhatian dari pemerintah pusat.
Masalah kekurangan sumber pendapatan pokok, makanan dan obat-obatan mulai mucul. Hal ini berdampak pada perekonomian setempat.
Wilayah di Patani, Selatan Thailand adalah antara kawasan yang paling miskin di negara Thai dengan rata-rata pendapatan penghuni rumah adalah antara 15.000 hingga 20.000 baht sebulan berbanding dengan 45.000 baht di Bangkok.
Ekonomi wilayah terbatas itu sangat bergantung pada ekspor karet, kelapa sawit dan perikanan namun ia merosot akibat wabah corona virus ini.
Kendati demikian, Covid-19 ini telah membangkitkan kesedaran perpaduan warga masyarakat khususnya anak muda untuk mengurus desanya sendiri sehingga menimbulkan banyak peluang, seperti cara hidup warga yang mulai rukun, saling membantu dan gotong royong sesama. Tanpa bantuan dari instansi pemerintahan, masyarakat sendiri mempelopori kesadaran untuk menjaga, melindungi desanya dengan memperkuatkan sesama warga.
“Ini cerminan persatuan warga Patani dengan kepemimpinan yang visioner dan masyarakat yang siap beraksi secara gotong royong,” kata media lokal, WARTANI.
Kemiskinan, kekurangan pendapatan, penderitaan, dan kecemasan harus dihilangkan, Keadilan dan kesetaraan yang saling eksklusif akan memperkuat ikatan kepercayaan rakyatnya.
“Kehidupan kita di sini harus bisa menyadarkan masyarakat yang beradab bahwa mereka yang lemah, agar tetap bertahan, dan mengajak semua bertanggung jawab,” tulis media berbahasa Melayu itu.
Adalah Wan Ali Wanahmad, Ketua Paguyuban Pemuda Kampung Mechoh sekaligus pencetus gagasan menghidupkan kembali model budaya komunitas “Gotong Royong”, Ini adalah sebuah ide untuk mengajak para pemuda di Distrik Bacho, Distrik Bannangsta, Provinsi Yala untuk bersama-sama bekerja dengan semua sektor di daerah tersebut.
Dengan mengambil kasus penyebaran wabah sebagai titik awal dalam merancang suatu pekerjaan agar konsisten menjaga warga agar tidak menyebarkan virus sesuai dengan kebijakan pemerintah desa meskipun belum ada implementasi yang dilaksanakan. Gerakan dimulai dari Kampung Mecoh atau Bacho dari generasi baru berkumpul untuk melawan Covid-19 hingga model “Gotong Royong” tersebar di berbagai desa di seluruh Patani.
“Kami akan membagi pekerjaan menjadi 4 (empat) bagian. Pertama bidang administrasi, merupakan pusat kerja dan bantuan. Tugasnya menyediakan makanan untuk dibagikan kepada kelompok warga yang dikarangtina dan membuat masker dan pelindung wajah bagikan kepada penduduk desa. Mereka juga memfasilitasi kenyamanan untuk meraka yang ingin membeli barang atau ingin dibantu dalam berbagai hal. Selain itu menyediakan anggaran untuk semua kegiatan dengan menerima sumbangan dari berbagai donator dan dari pemuda yang sedang di luar daerah, seperti belajar di berbagai provinsi,” kata Wan Ali Wanahmad.
Kedua, bidang proaktif yang betugas para dokter sukarelawan turun ke desa untuk memeriksa dan berkunjung untuk memotivasi kelompok risiko yang sedang dikarantina selama 14 hari karena takut, stres atau frustasi. Dengan memanfaatkan pengeras suara masjid, mereka memberikan pengetahuan di desa-desa tentang Covid-19 sesuai dengan saran para medis.
Ketiga, bantuan penyaringan/pemeriksaan yang bertugas membantu devisi keamanan dalam penyaringan tahap dasar dan pendaftaran masuk dan keluar desa dan ada pos pemeriksaan disetiap gerbang desa. Tugas ini untuk menjadi pusat hubungan masyarakat dan memberi pengtahuan tentang situasi wabah terkini.
Keempat, pengurus pusat karantina. Adalah para kelompok pemuda yang memiliki bagian penting dalam kepengurusan pusat karantina lokal di masyarakat. Tugas mereka membantu koordinasi dan menjaga keamanan selama 24 jam”.
Salah satu perwakilan dari kelompok pemuda Mechoh mengatakan bahwa kini sudah saatnya para pemuda harus bersatu dan memeraskan sekuat tenaga untuk saling membantu sesama warga desa, menunjukan kekuatan energi anak muda yang siap bertarung melawan wabah Covid-19 ini. “Saat ini penting. Bahwa pemuda harus menunjukkan energi mereka untuk saling membantu Keluarlah untuk menunjukkan potensi generasi baru yang bersatu Itu siap untuk bertarung dan menerobos Covid-19 bersama-sama, ” katanya.
Menyebar
Gerakan “Gotong Royong” ini rupanya cepat tersebar dan diikuti oleh para pemuda bersama tokoh masyarakat diberbagai tempat. Mereka bersama-sama menjaga desanya sendiri dan menangani masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat masing-masing.
Salah satunya adalah pemuda-pemudi kampong Gelong Kerbau yang terletaknya di Distrik Thepa Provinsi Songkhla. Mereka besatu dibawah naungan “Persatuan Pemuda-Pemudi Gelong Kerbau” untuk membantu kaum dhuafa dan warga yang tidak berkecukupan dengan membuat sembako yang berisi bahan makanan pokok.
Bagaimanapun, penutupan atau lockdown di setiap desa tampaknya tidak menjadi halangan warga. Musibah ini bahkan dinilai mengandung hikmah yang sangat baik.
Mereka menilai, sebelum ini, masyarakat Patani telah mempunyai budaya bagus yang telah diwarisi leluhur bangsa tentang tolong-menolong sesama masyarakat. Dampak pandemi, kini telah mengembalikan mereka pada budaya leluhurnya, gotong-royong.
Minoritas Muslim Patani
Melayu Muslim Patani di Thailand Selatan pada awalnya merupakan suatu kerajaan Islam yang berdaulat dan merdeka. Kerajaan Patani dapat ditaklukan oleh Kerajaan Siam pada bulan November 1785, dan dibagi-bagi menjadi tujuh buah negeri kecil pada tahun 1816, negeri Patani perlahan-lahan kehilangan identitasnya sebagai sebuah negeri Melayu yang merdeka.
Sehingga abad ke 19, Kerajaan Siam mulai melakukan pembaruan sistem pentadbiran mengikut sistem Thesaphiban. Secara menyeluruh kerajaan Negeri Patani tidak lagi mempunyai kuasa otonomi dan menghapus sistem pemerintahan kesultanan. Dampak dari sistem itu, Kerajaan Patani semakin lemah dan tertekan dari kerajaan Siam. Sehingga menimbul konflik diantara Raja-Raja Melayu Patani dengan Kerajaan Siam pada tahun 1902.
Gerakan Nasionalisme Islam Patani terbentuk karena masyarakat Islam berkuturunan Melayu di Patani merasakan kehilangan hak-hak politik dan pentadbiran secara menyeluruh. Bahkan menghapus kebudayaannya sebagai orang-orang Melayu dan ciri-ciri kehidupan masyarakat Islam.
Maka munculnya berbagai gerakan dalam upaya menghadapi tekanan Kerajaan Siam. Upaya yang dilakukan umat Islam tersebut bertujuan untuk mendapatkan hak-hak dalam mempertahankan identitas bangsa Melayu yang beragama Islam mereka yang khusus. (Sumardi, 2017:76).*/Husasan Tayeh