ACARA Muktamar IIFSO kali ini yang menjadi tuan rumah adalah satu organisasi pemuda Islam di Turki, International Youth Forum, pimpinan Muhammad Musa Budak. Secara langsung atau tidak, organisasi ini cukup dekat dengan Saadet Partisi. Partai ini, walaupun tidak masuk di parlemen Turki, namun gerakannya di bidang sosial dan dakwah cukup penting di Turki.
Sebelum meninggal Erbakan sempat memimpin kembali partai ini (2007-2011) dan kini dipimpin oleh Mustafa Kamal. Partai ini memiliki sayap sosial seperti Insan Hak ve Huriyetleri (IHH) yang dikenal dengan keseriusannya mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Palestina. Namanya melambung saat kasus tragedi kapal Mavi Marmara tahun 2010.
Partai ini selalu mencoba menghidupkan kebanggaan masyarakat Turki melalui sejarahnya yang gemilang sejak masa penaklukan Istanbul oleh Muhammad Al-Fatih 29 Mei 1453.
Di sela-sela kegiatan Muktamar IIFSO, panitia membawa peserta mengikuti “Fetih Festival” (Ferstival Al Fatih) yang dipusatkan di lapangan sepakbola kota Izmit, kota industri sekitar 2 jam perjalanan dari Istanbul.
Acara ini adalah rangkaian acara tahunan yang digagas oleh Erbakan sekitar sepuluh tahun yang lalu. Acara biasanya diisi oleh orasi-orasi tokoh Turki mengingatkan kembali tentang semangat dan kepahlawanan Al-Fatih, kemudian diakhiri dengan pertunjukan teatrikal besar memperlihatkan bagaimana Al-menaklukkan Konstantinopel. Al-Fatih menukar nama ini menjadi Islambol (Islam full) setelah menaklukkannya dan kemudian diubah lagi oleh At-Taturk menjadi Istanbul.
“Fetih Festival” tahun ini didahului dengan acara yang tidak biasa, yaitu menyelenggararakan Shalat Subuh berjamaah di depan bangunan bekas Masjid Aya Sofia pada tanggal 29 Mei.
Shalat Subuh ini kemudian diunggah ke Youtube dan menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Sayang sekali ke Indonesia, beritanya banyak ditambah sehingga mengaburkan substansi kegiatan ini.
“Dahulu Sulthan Muhammad al-Fatih membeli Gereja Aya Sofia dengan uang pribadinya sendiri, lalu merubahnya menjadi masjid… Di masa Kemal Pasha masjid ini ditutup dan dijadikan museum. Dan kini setelah 79 tahun digunakan sebagai museum, Subuh kemarin Erdogan mengembalikan fungsinya sebagai masjid. Gemuruh takbir kembali bergema seperti berabad yang lalu. Subuh perdana diimami langsung oleh Sekjen Organisasi Tahfizh Internasional, Syeikh Abdullah Bashfar…silakan saksikan tayangannya….” demikian salah satu pesan SMS yang masuk ke HP saya mengomentari shalat Subuh.
Sebetulnya tidak ada sama sekali pengubahan fungsi Aya Sofiya, apalagi oleh Erdogan. Ini adalah acara yang diinisiasi jaringan Saadat Partisi dan memang mengundang Syeikh Bashfar untuk menjadi imam dalam acara yang semacam “demonstrasi” kepada Erdogan agar mengubahnya menjadi masjid kembali. Jadi, bukan acara inisiasi “Subuh pertama”. Dilakukannya pun bukan di dalam ruangan Aya Sofiya, tetapi di pelatarannya.
Kami memang tidak sempat mengahadiri shalat subuh berjamaah di pelataran Aya Sofiya ini, namun dalam acara pembukaan dan Sesi Diskusi Muktamar IIFSO peristiwa ini disampaikan kembali oleh para pembicara Turki, terutama oleh Ketua Partai Saadat Mustafa Kamal.
Ia bersama partainya menghendaki supaya Erdogan mengambil kebijakan pengembalian fungsi Aya Sofiya sebagai masjid. Dengan penuh semangat ia menginginkan agar Turki kembali menjadi faktor pemersatu di antara negeri-negeri Islam di seluruh dunia sebagaimana hal itu sudah dilakukan dahulu oleh Al-Fatih.
Usmani dan kegemilangan Islam di Turki
Untuk semakin memperkuat keyakinan sejarah tentang Al-Fatih, panitia membawa seluruh peserta menelusuri jejak-jejak peninggalan Al-Fatih.
Berangkat dari arah Laut Marmara, kapal yang kami tumpangi terus melaju kea rah selat Bosporus hingga mencapai titik pertempuran laut Al-Fatih di Golden Horn. Sepanjang perjalanan kami melalui peninggalan-peninggalan bersejarah Al-Fatih seperti reruntuhan Benteng Konstantin yang begitu kokoh, Aya Sofiya, Istana Top Kapi, Blue Mosqeu, dan jembatan yang menghubungkan benua Asia dan Eropa. Perjalanan kemudian dilanjutkan untuk melihat secara langsung betapa megahnya Masjid Biru Sultan Ahmet dan Aya Sofia. Di sampingnya masih berdiri megah Istana Top Kapi yang didirikan Al-Fatih. Istana ini adalah simbol kesederhanaan dan kedekatan rakyat dengan Al-Fatih.
Monumen sejarah paling baru yang dibuat Erdogan adalah Museum Panorama 1453. Museum ini terletak persis di titik penyerangan utama Al-Fatih ke Konstantinopel. Daerahnya disebut pula wilayah Top Kapi. Dalah bahasa Turki, Top Kapi artinya adalah “gerbang utama”. Sebelum masa Al-Fatih inilah Top Kapi-nya Konstantinopel. Setelah ditaklukkan Top Kapi (gerbang utama) dipindahkan persis di pinggir selat Bosporus menghadap ke Turki sisi Asia-nya. Ini sebagai penanda bahwa Al-Fatih sudah berhasil menggabungkan Anatolia dan Konstantinopel menjadi satu Turki. Meseum didirikan ini tepat pada titik Al-Fatih membangun pusat serangan utama ke arah Konstantinopel.
Perjuangan Erdogan untuk membangung wilayah ini menjadi Museum sangat patut diacungi jempol. Ia harus membebaskan tanah yang sudah menjadi pusat bisnis cukup ramai di Istanbul. Akan tetapi, karena kepeduliannya pada sejarah, ia memilih untuk mengeluarkan dana besar membeli kawasan itu untuk dijadikan monumen memperingati kehebatan Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel. Museum itu sendiri berisi gambar-gambar tentang sejarah penaklukan Al-Fatih. Di lantai paling atas dibuat gambar tiga dimensi yang menceritakan proses penaklukkan Al-Fatih.
Selepas mengelilingi kota Istanbul, seluruh peserta Muktamar dibawa ke Izmit untuk menyaksikan puncak acara “Fetih Festival”.

Acara dimulai sekitar jam 18.00 waktu Turki dan berakhir pada pukul 23.00 waktu Turki. Walaupun acara ini didukung penuh oleh Saadat Partisi, namun tidak ada satu pun simbol partai ini yang berkibar. Stadion yang disesaski oleh pengunjung yang datang dari berbagai kota dan negara ini penuh dengan ornamen yang mengingatkan kita pada periode kegemilangan Usmani, kegemilangan Islam di Turki.
Siapa pun yang hadir akan merasakan gegap gempita para orator dan aksi-aksi teatrikal yang sangat menarik. Tidak setiap wisatawan Indonesia dapat menyaksikan kemeriahan mengenang Al-Fatih seperti di Izmit ini. Beruntung penulis dan para peserta Muktamar IIFSO lainnya difasilitasi untuk melihat kemeriahan yang menginspirasi ini.
Sepanjang perjalanan menelusuri Istanbul ini ingatan kita benar-benar dibawa untuk merenungkan kembali betapa Islam begitu hebat. Kehebatan itu bahkan masih terasa hingga berabad-abad setelahnya.
Kemal Pasya memang hendak menghilangkang memori bangsa Turki dari kegemilangan Usmani. Akan tetapi, usaha itu rupanya berjalan sia-sia. Tidak ada kebanggaan bangsa Turki Muslim selain mereka pernah memiliki Al-Fatih dan mereka pernah memiliki sejarah Usmani.
Oleh sebab itu, usaha-usaha yang dilakukan oleh Erbakan dan Erdogan untuk menghidupkan kembali inspirasi sejarah Usmani dalam jiwa rakyat Turki dan kaum Muslim di seluruh dunia di masa yang akan datang dapat menjadi cambuk yang akan sangat kuat untuk menghidupkan lagi ghirah umat Islam memperjuangkan kembali kejayaan peradaban Islam. Wallâhu A’lam bi Al-Shawwâb.*/Tiar Anwar Bachtiar, Ketua Umum PP Pemuda Persis