BANGUNAN tua beratapkan seng itu luasnya berkisar 12 kali 4 meter. Cat warna putih menjadi latar nampak sangat kusam. Di beberapa sisi tembok teleh mengelupas. Batu bata merah di sela-sela semen yang telah melapuk terlihat menganga.
Bangunan itu dibagi dua. Sebagian difungsikan sebagai masjid untuk shalat berjama’ah para santri, sisanya, menjadi rumah pribadi Muhammad Yudi (27), pria kelahiran Lampung 1990 bersama dengan istrinya yang baru dinikahinya beberapa bulan lalu.
Tak sekedar bentuk bangunannya yang memprihatinkan, lokasi keberadaannya juga terpencil; di tepi hutan, di mana tidak ada lagi rumah penduduk. Sementara jarak tempuh ke perkampungan lain bisa sampai satu kilometer.
Muhammad Yudi adalah penanggung jawab Panti Asuhan Qurrota A’yun, Pondok Pesantren Hidayatullah Kabupaten Lebong, Bengkulu. Tepatnya di Desa Air Kopras Kecamatan Pinang Belapis, Kecamatan Lebong Sakti, Kabupaten Lebong.
Pemandangan fisik ini hanya secuil kisah haru keberadaan dai Hidayatullah ini di tempat terpencil. Kisah lain perjalanan dakwah di tempat ini bahkan tidak kalah seru.
“Kalau hujan turun, pas redanya, babi-babi hutan pada turun sampai dekat sekali ke bangunan ini. Sekalipun tidak begitu membahayakan, jelas babi ini mengerikan, selain najis juga sangat mungkin membahayakan,” ucap Yudi menceriterakan kondisinya.
Namun itu masih belum seberapa. “Kondisi lingkungan di sini, daerah perbukitan dengan tanah merah dan bebatuan. Masyarakat di sini sulit untuk betani dengan tanaman yang sifatnya cepat panen, misal singkong, jagung, pisang dan sebagainya, karena hama babi itu luar biasa.
Sebelum tanaman itu tumbuh sudah dipanen duluan oleh babi, sehingga masyarakat di sini bertani dengan tanaman yang bisa aman dari serangan babi. ‘Musuh’ lain masyarakat selain babi adalah tikus.
Mau gak mau tanam kopi, karet, sawit. Tetapi, karena kondisi tanah kurang subur hasilnya kurang maksimal,” jelasnya.
“Sekali musim hujan, airnya tidak habis sepanjang tahun, namun masyarakat di sni tidak bisa menanam padi setahun lebih dari 1 kali, karena kalau tanam setahun 2 kali pasti yang kedua kalinya habis di makan tikus yang jumlahnya luar biasa,” terangnya.
“Untuk transportasi di sini ada Angkutan Desa (Angdes) dan untuk keluar dari Kabupaten Lebong menggunakan travel,” katanya.
Untuk perjalanan antar kabupaten, jangan dibayangkan seperti di Jawa. Selain jarak yang cukup jauh, kondisi jalannya pun berbukit dengan beberapa bagian harus menembus hutan pengunungan Bengkulu. Baik melalui jalur Kabupaten Rejang Lebong, Kahiang, Bengkulu Tengah hingga Kota Bengkulu.
Bahkan saat hidayatullah.com yang ditemani Ketua Pengurus Wilayah Syabab Hidayatullah Bengkulu dan Kepala BMH Perwakilan Bengkulu meninggalkan Pondok Pesantren ini tepat usai mendirikan shalat Maghrib berjama’ah bersama para santri.
Bisa ditebak, perjalanan balik yang cukup dag-dig-dug. Bagaimana tidak, mobil yang kami gunakan termasuk lumayan tua (2002) sementara jalanan harus ditempuh dengan berkelok, rusak dan setidaknya butuh 1 jam lamanya untuk keluar dari hutan yang bagi orang setempat jika malam kadang ada saja harimau ‘nongkrong’ dan duduk di jalan aspal.
Demikianlah kondisi jalan yang harus dilalui baik kala menuju ataupun meninggalkan Lebong.
Namun saat ditanya hal ini, Yudi hanya menjawab santai. Menurutnya, takut yang paling utama hanyalah kepada Allah Subhanahu Wata’ala semata.
“Mau gimana lagi, sudah harus dijalani semua. Takut sudah pasti, tapi ini amanah (dakwah), gak bisa kita ciut nyali,” ucapnya sembari tersenyum.
Mengubah Pola Pikir
Meski kondisi alam yang tidak semua orang sanggup menjalani dakwah seperti ini, namun bagi Yudi masih ada tantangan lebih berat dibanding tantangan alam ini. Apa itu?
“Menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan, khususnya pendidikan agama,” ungkapnya.
Menurut Yudi kondisi ini jauh lebih berat dibanding beratnya alam. Di tempat ini, menyekelolahkan anak merupakan sesuatu yang ‘istimewa’.
Selain susahnya lembaga pendidikan, rata-rata warga tidak ingin direpotkan mengantar-jemput anak ke sekolah. Lebih-lebih masyarakat yang ekonominya kurang mampu. Sehingga langkah praktisnya, banyak yang tidak menyekelolahkan anak mereka.
“Selain pesantren kita yang tidak berbayar ini, di desa ini juga ada 2 sekolah PAUD.Gratis. Insya Allah bagus kualitasnya. Namun, ya itu tadi, masyarakat masih enggan untuk menyekolahkan anak-anaknya,” kata Yudi lagi.
Bak kata pepatah Sekali Layar Berkembang, Pantang Surut ke Belakang, Yudi dan sahabat seperjuangannya Efra Yanda, tak pernah putus asa untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan agama bagi anak-anak, guna keberlangsungan masa depan mereka.

Dakwah dan pemberitan pemahaman terus mereka lakukan, baik melalui pengajian umum atau berkunjung ke rumah-rumah warga.
Qadarullah, melalui proses ini, satu-dua warga sudah mulai terbuka pikirannya, sehingga sudi menitipkan anak mereka di sekolah-sekolah atau di pesantren rintisan Yudi dan Efra.
“Alhamdulillah, enam bulan kita melakukan proses penyadaran di masyarakat, santri kita sudah sepuluh anak. Mudah-mudahan kedepannya akan lebih bayak lagi,” terangnya kepada hidayatullah.com.
Bulan Madu di Hutan
Terhitung sejak 26 Februari 2016 silam, suami Cucu Rahayu itu resmi mendapatkan tugas dari DPW Hidayatullah Bengkulu, merintis dakwah baru di Kabupaten Lebong, Propinsi Bengkulu.
Yudi sendiri baru 6 bulan menikah dan langsung mengajak pujaan hatinya itu ke medan dakwah, merintis pesantren di tempat terpencil di Lebong.
Ia mengaku, awalnya saat istrinya baru sampai di tempat ini, di lokasi pesantren rintisan itu, mengaku kaget luar biasa. Sang istri yang asli Ciamis itu tak bisa menyembunyikan perasaanya.
“Awalnya istri nyampai di sini, kaget luar biasa. Sebelumnya ia tidak pernah membayangkan untuk tinggal di tempat yang seperti ini,” jelas Yudi.
Baca: Puluhan Tahun Dakwah di Pedalaman, Dai-dai Ini Diberangkatkan Umrah
Apalagi belahan hatinya itu sebelumnya bukanlah lulusan pondok pesantren, tiba-tiba harus hidup terpencil lagi. Bukan suatu yang mudah, ujar Yudi.
Untuk menguatkan hatinya, Yudi berusaha selalu memotivasi agar sang istri tabah dalam melintasi medan dakwah. Ia selalu mengingatkan akan hakekat kehidupan; bahwa hidup ini hanyalah sementara. Hanya akhiratlah yang kekal.
“Sering saya sampaikan, kita tidak selamanya di sini, bahkan di dunia ini pun kita sementara. Jadi, anggap saja kita sedang ‘mondok’ di pesantren jadi harus banyak ‘tirakat‘ supaya kuat iman tauhid kita,” ujarnya.
Syukurlah, sang istripun makin memahami arti perjuangan, sehingga dengan setia terus menemani Yudi, berjibaku di medan dakwah, demi menyebarkan syi’ar Islam, khususnya di daerah Lebong.
“Saya selalu berusaha kuatkan istri, mungkin dengan menetapi jalan dakwah ini Allah ridho dan berkenan memudahkan kita mendapat jannah,” pungkasnya.*