Hidayatullah.com | CAHAYA putih tiba-tiba muncul dari arah terduga. Ini seperti cerita dalam film-film berlatar zaman kerajaan-kerajaan Nusantara dulu. Tapi, kali ini cerita di masa kini. Adalah Sujarwanto. Ia alumnus Madrasah Aliyah Raadhiyatan Mardhiyyah Putra, Balikpapan (tahun 2006), Balikpapan, Kalimantan Timur. Tak selesai kuliah di sebuah perguruan tinggi, ia lebih memilih langsung terjun ke medan dakwah.
Tahun 2007, santri ini diamanahkan menemani dai lainnya, Edi Suhartono, berdakwah di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah..
Awal kali menjejakkan kaki di Pulang Pisau, Sujar dan Edi menumpang di Masjid Al Ikhlash, Desa Anjir Pulang Pisau, Kecamatan Kahayan Hilir. Mereka jadi marbut. Sujar masih bujang. Sambil menjaga masjid selama akhir 2007 hingga 2012, ia terus bertekad membangun pesantren.
Pada 2009, Edi dipindahtugaskan ke Kota Tarakan -sekarang masuk Provinsi Kalimantan Utara. Sujar pun mengemban amanah di Pulang Pisau sendirian.
Tahun 2010, ia berpikir, kalau di masjid saja, dakwahnya tak berkembang. Ia pun meningkatkan munajatnya kepada Allah dan memperkuat ikhtiar. Hingga kemudian, salah seorang kenalan menawarinya lahan kosong di pinggir jalan. “Bahagia sekali itu,” ujar Sujar kepada hidayatullah.com beberapa waktu lalu. Meskipun ternyata lahan pemberian itu ternyata “hilang”.
Saban malam, ia terus menunaikan shalat tahajud. Bersimpuh memohon petunjuk agar Allah memudahkannya bangun pesantren. Suatu malam di penghujung tahajud, ia mengaku muncul cahaya putih dari arah belakangnya. “Kaget saya.”
Ia bertanya-tanya, apa hikmah di balik kejadian itu. Pagi harinya, saat pergi ke pasar, tiba-tiba kakak angkatnya, Husaini, mendatanginya dan menyerahkan sebuah amplop berisi Rp 1 juta. “Ini nitip uang untuk beli tanah!” pesannya. Sujar kaget, bersyukur sekaligus bertanya-tanya, uang segitu untuk beli tanah dimana?
Tapi ia berhusnudzon kepada Allah, dana kaget itu adalah isyarat. Tak berapa lama, datang seseorang menjual tanahnya seluas 3.750 m persegi seharga Rp 15 juta.
“Bisa dicicil?” tanya Sujar. “Bisa!” Akhirnya uang Rp 1 juta itu dijadikan DP membayar tanah yang terletak di Jl Upt Anjir Pulang Pisau, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, itu. Ini cikal bakal lokasi Pesantren Hidayatullah Pulang Pisau.
Meski telah membayar DP, tapi Sujar belum tahu bagaimana melunasi tanah. Ia pun menggiatkan syiarnya, mengajak berbagai pihak turut berinvestasi akhirat dalam program dakwah berbasis wakaf tunai. Silaturahim digencarkan ke berbagai penjuru.
Sedikit demi sedikit, ia mengumpulkan dana pembebasan tanah. Mulai dari Rp 200 ribu, Rp 500 ribu, dan seterusnya. Sampai terbayar sebanyak Rp 10 juta.
Pada sekitar sepekan jelang Hari Raya Idul Fitri 2010, pemilik tanah yang akan dibebaskan itu menagih pembayaran sisanya, Rp 5 juta. “Kalau bisa sebelum lebaran sudah dilunasi karena uangnya mau dipakai lebaran,” pesan pemilik tanah.
“Dapat uang dari mana,” batinnya saat itu, tapi tetap yakin pasti Allah bantu. Pria yang saat mondok di Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan dulu dikenal percaya diri ini lantas bersilaturahim ke kediaman Kapolres Pulang Pisau saat itu. Di situ, keduanya mengobrol panjang lebar hingga malam hari sampai Sujar mengantuk dan tertidur. “Jam 11 (malam) dibangunkan Kapolres,” ujar pria humoris ini lantas tertawa mengenang cerita itu.
Saat mau pamit, Kapolres menitipkan uang Rp 3,5 juta kepada Sujar. “Ini Rp 3 juta untuk bayar tanah,” pesannya, “(Dan) ini yang Rp 500 buat kamu menemani saya ngobrol.” Besoknya, semua uang Rp 3,5 juta itu dibayarkan untuk menyicil pembebasan lahan. Tak ada untuk pribadi.
Pembayaran sisa Rp 1,5 juta lagi. Sujar pun bersilaturahim ke kantor Wakapolres setempat. Tapi karena yang dituju sedang tak ada, silaturahim dijalin lewat sambungan telepon. Wakapolres pun mentransfer Rp 1,5 juta kepada Sujar. “Langsung lunas tanahnya sebelum lebaran,” ujar pria berusia 32 tahun ini saat wawancara tersebut.
Baca: Kisah Daiyah di Wilayah Konflik: Ledakan dan Tembakan jadi Saksi di Jalan Dakwah
Sempat Dituduh Teroris
Beres urusan tanah, Sujar masih harus memikirkan tahap selanjutnya, yaitu mengembangkan dakwah. Bangunan demi bangunan satu per satu didirikan. Silaturahim digencarkan. Berbagai pihak diajak, termasuk kalangan muda.
Dakwah memang selalu penuh onak dan duri. Tahun 2010, Sujar sempat dituduh teroris. Pasalnya, saat mengadakan pengajian di sebuah ruko, semua pintu dan jendela ditutup rapat. Kenapa? Kata Ketua PosDai Kalteng ini, anak-anak muda itu masih tidak mau diajak mengaji di mushalla. “Malu mungkin (karena sudah besar baru belajar ngaji).” Kegiatan ngaji pun digelar di sebuah ruko, awalnya diikuti 6 orang.
“Pengajian tertutup” itu berlangsung sekitar setahun, hingga akhirnya terjadi perubahan. Pintu dan jendela tidak lagi ditutup. Bahkan anak-anak kecil mulai ikut mengaji. “Berangsur-angsur hilang juga stigma negatif itu,” ujarnya. Selain kepada kalangan muda, Sujar juga berdakwah kepada kalangan Muslimah, hingga kini.
Sekitar 10 tahun Hidayatullah Pulang Pisau berdiri, Sujar mengaku masih cukup kerepotan sebab sangat kekurangan SDM. Cuma dia sendiri ustadz di pesantren tersebut. Kegiatan pondok banyak dibantu santri dewasa dan warga setempat, serta didukung penuh Ida Ma’mun Cholifah (32), istri yang dinikahinya pada Mei 2008.
Jangkauan dakwahnya pun saat itu ia akui masih belum luas dan memadai. “Yang bisa dijangkau daerah-daerah dekat sini aja,” ujar Ketua DPD Hidayatullah Pulang Pisau ini.
Lalu bagaimana cerita tentang “pesantren yang hilang” itu?
Suatu siang di sebuah hutan. Sujar bersusah payah menebang dan mencari belasan batang pohon kayu galam. Pohon-pohon sebesar paha orang dewasa itu lalu diangkut dengan mobil pick up ke sebuah lahan kosong.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Di situ, pria asal Madiun, Jawa Timur ini menancapkan kayu-kayu itu untuk mendirikan bangunan. Tiba-tiba, seseorang tak dikenal mendatangi Sujarwanto dan bertanya, “Ngapain kamu di sini?”
“Bikin pesantren, Pak,” jawab Sujar, sapaan akrabnya.
“Ini tanahku!” klaim orang itu yang tidak terima tanahnya tiba-tiba digarap orang.
Sontak Sujar kaget. Sebab, tanah di pinggir jalan itu adalah “pemberian” salah seorang kenalannya. Usut demi usut, tanah milik kenalannya tersebut ternyata sudah hilang, entah bagaimana ceritanya. Akhirnya Sujar batal menggarap lahan itu.
Kisah lahan “pesantren hilang” tersebut terjadi di awal-awal langkahnya mendirikan Pondok Pesantren Hidayatullah Pulang Pisau.
Baca: Berdakwah di Nias: Ketika Kabel Pondok Pesantren Dicuri
Hingga pertengahan Oktober 2020, di pesantren ini telah berdiri 1 rumah warga, 1 mushalla, 1 asrama, 1 rumah sarang walet berukuran 4×6 meter persegi, dan 1 gedung Balai Latihan Kerja kejuruan teknologi informasi.
Total semua santrinya, termasuk yang pergi-pulang, sekitar 22 orang, putra semua. Pendidikan formal untuk saat ini belum berdiri. Dalam rangka pengembangan, Sujar menggenjot pembebasan lahan seluas 1 hektare.
Ia pun membangun gedung pendidikan penghafal Al-Qur’an setingkat SMP untuk dibuka tahun depan. “Butuh dana Rp 150 juta,” sebutnya saat itu. Sujar membuka peluang bagi siapa saja untuk berinvestasi akhirat di sini. “Nomor rekening 601 0201 017181, Bank Kalteng, (atas nama) Pondok Pesantren Hidayatullah,” sebutnya.* Muh. Abdus Syakur