Efek pendemi membuat banyak orang memilih gaya hidup slow living, menghindari serba cepat dan eras, menyeimbangkan waktu kerja, rekreasi dan relaksasi, tapi bukan malas
Hidayatullah.com | APAKAH Anda menjalani hidup seperti autopilot dan merasa hampa? Tidak ada salahnya melirik gaya hidup lambat alias Slow Living di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tekanan saat ini.
Slow Living adalah istilah lama yang belakangan muncul kembali ketika diangkat oleh seorang artis Indonesia dalam sebuah wawancara di sebuah kanal YouTube. Gaya hidup Slow Living merupakan anti-tesa gaya hidup di dunia yang serba cepat, antara pekerjaan, keluarga, teman-teman, dan jutaan hal kecil yang muncul sepanjang hari, yang membuat hidup seseorang menjadi kewalahan.
Pandemi Covid-19 adalah momen yang mengubah banyak hal di dunia. Hal ini menyebabkan banyak orang mempertimbangkan kembali bagaimana menjalani hidup, seperti kebanyakan situasi yang mengancam jiwa.
Pada gilirannya, banyak dari kita keluar dari sisi lain, menjalani kehidupan yang jauh lebih lambat karena pilihan atau kebetulan. Salah satu fenomena yang muncul adalah memilih Slow Living.
Sebagai catatan, tagar #slowliving saat ini mencapai 5,5 juta unggahan di Instargram. Di TikTok, tagar yang sama telah ditonton sebanyak 947,1 juta kali.
Kontennya bervariasi dari makanan yang disajikan dengan baik hingga perjalanan kereta api, liburan pantai dan kabin di hutan, tetapi juga bunga, matcha latte, dan potret keluarga.
Dan, seaneh kelihatannya, wadah peleburan dari berbagai gambar ini sangat akurat. Karena merenungkan arti hidup lambat tidak lain adalah mengingat kembali hal-hal yang penting bagi kita.
Apa itu Slow Living?
Konsep hidup lambat berasal dari Gerakan Lambat. Gerakan ini dimulai di Italia oleh Carlo Petrini dan sekelompok aktivis yang pada tahun 80-an berkampanye untuk mencegah pembukaan McDonald’s di ikon Piazza di Spagna di Roma.
Kampanye penting lainnya lahir dari Slow Movement, seperti Slow Food, Cittaslow, Slow Travel, Slow Money bahkan Slow City, dan masih banyak lainnya.
Slow Living adalah filosofi gaya hidup yang menekankan kecepatan hidup yang lebih lambat, berfokus pada hidup yang penuh kesadaran. Ini menanggapi budaya yang serba cepat, stres tinggi, dan didorong oleh konsumen yang semakin lazim di masyarakat modern.
Slow Living mendorong individu untuk memperlambat dan menikmati hal-hal sederhana dalam hidup, seperti menghabiskan waktu bersama orang yang dicintai, mengejar hobi, dan berhubungan dengan alam. Ini menekankan pendekatan yang lebih seimbang dan disengaja untuk kehidupan sehari-hari, menekankan perawatan diri, perhatian, dan konsumsi sadar.
Gaya hidup ini tidak memerlukan cara hidup tertentu atau hasrat untuk aktivitas tertentu. Tujuannya adalah untuk menciptakan rasa damai dan kepuasan dalam hidup seseorang sambil mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan.
Tidak ada formula khusus untuk menjalani ‘kehidupan lambat’. Setiap orang harus membangun cara hidup mereka sendiri yang menyenangkan.
Slow Living dan Stes
Menurut Francis Desjardins, spesialis talent management yang pernah jadi Director Labour & Employee Relations di Universitas McGill mengatakan dampak dari pandemi Covid-19 membuat banyak orang menyadari bahwa mereka tidak perlu melakukan banyak hal untuk menjadi bahagia.
Selain itu, banyak orang mendapat manfaat dari pandemi dengan berkurangnya tekanan pekerjaan atau sosial dan lebih banyak waktu bersantai, mengurus diri sendiri atau keluarga. Hal ini menyebabkan meningkat orang pada gaya hidup Slow Living.
Slow Living adalah gerakan di mana kita perlu memperlambat laju gaya hidup serba keras dan cepat agar dapat berkembang lebih baik. Fenomena ini, kata Francis berasal dari gerakan Slow Food, yang muncul di tahun 80-an untuk melawan popularitas Fast Food yang semakin meningkat.
“Memilih makanan yang tidak banyak diproses, menanam buah dan sayuran Anda sendiri dan kemudian memasaknya, memanggang roti Anda sendiri Ini adalah prinsip Slow Food, yang mengutamakan kualitas daripada kuantitas atau kecepatan,” ujarnya dalam sebuah artikel.
Karena itu, konsep Slow Living berarti fokus pada kualitas daripada kuantitas di beberapa bidang kehidupan kita sehari-hari. Termasuk kehidupan profesional, kehidupan sosial, dan konsumsi barang.
“Itu berarti memperlambat langkah hidup kita untuk lebih menekan apa yang membuat kita bahagia, apa yang membuat kita berkembang. Itu berarti membuat pilihan hidup yang mungkin berbeda dari apa yang ditentukan atau dipaksakan masyarakat kepada kita,” ujarnya.
Seorang psikolog AS yang membuka praktik di Arkansas Daniel Wysocki, mengatakan, gaya hidup serba cepat dan keras membuat seeorang akan merasa seperti hidup seperti autopilot, dan dampaknya tidak baik bagi kesehatan mental dan fisik, termasuk stres.
Menurut sebuah survei, orang Amerika benar-benar menghadapi rasa kelelahan dalam pekerjaan. American Psychological Association (APA) melaporkan bahwa 79% orang (di AS) mengalami tingkat kejenuhan yang tinggi dalam pekerjaan mereka.
Perpustakaan Kedokteran Nasional AS, mencatat, stres kronis telah dikaitkan dengan sejumlah besar masalah kesehatan, seperti; tekanan darah tinggi, penyakit jantung , masalah usus, diabetes, obesitas, masalah kulit , masalah tidur, termasuk depresi dan kecemasan.
Karena itu, memilih gaya hidup Slow Living, dalam hidup kita berarti menyeimbangkan waktu kerja, kewajiban lain, rekreasi, dan relaksasi, kata Wysocki. Dengan pola pikir yang berorientasi pada keseimbangan ini, kita tidak hanya cenderung meredakan stres kita (dan risiko kondisi kesehatan terkait).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Apa manfaat dari Slow Living?
Mempraktikkan hidup lambat dapat memiliki beberapa manfaat bagi kesejahteraan fisik, mental, dan emosional seseorang. Berikut adalah beberapa manfaat potensial:
- Mengurangi stres: Ini mendorong laju kehidupan lebih lambat, yang dapat membantu mengurangi stres dan kecemasan. Dengan meluangkan waktu untuk memperlambat dan fokus pada saat ini, individu dapat menumbuhkan rasa tenang dan relaksasi.
- Peningkatan kesehatan mental: Dengan menekankan perhatian dan perawatan diri, gaya hidup ini juga dapat membantu meningkatkan kesehatan mental.
Dengan merawat diri sendiri, terlibat dalam aktivitas yang membawa kegembiraan, dan menumbuhkan tujuan, individu dapat mengalami kebahagiaan, kepuasan, dan kesejahteraan yang lebih besar.
- Kesehatan fisik yang lebih baik: Ini juga memiliki manfaat kesehatan fisik, seperti mengurangi risiko penyakit kronis, meningkatkan kualitas tidur, dan meningkatkan kebugaran fisik secara keseluruhan.
Dengan memprioritaskan perawatan diri, individu mungkin lebih cenderung melakukan kebiasaan sehat, seperti olahraga teratur dan diet seimbang.
- Hubungan yang lebih kuat: Menekankan koneksi dan interaksi sosial membantu memperkuat hubungan dengan orang yang dicintai dan meningkatkan rasa kebersamaan.
Dengan meluangkan waktu untuk terhubung dengan orang lain, individu dapat menumbuhkan rasa memiliki dan dukungan.
- Peningkatan kreativitas: Slow Living dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi, karena individu memiliki lebih banyak waktu dan ruang mental untuk mengeksplorasi ide-ide baru dan mengejar semangat kreatif.
Dengan terlibat dalam kegiatan seperti menulis, melukis, atau musik, individu dapat mengalami rasa kepuasan dan tujuan yang lebih besar.*/dari berbagai sumber