Jangan sampai di dunia kita sudahlah miskin, di akhirat kelak eh, malah mendapat siksa karena meninggalkan ibadah kepada Allah
Hidayatullah.com | DALAM konsep Islam bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah beribadah dan menghamba kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Dalam tafsir Kemenag RI dijelaskan bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad beristiqamah dalam mengajak umatnya mengesakan Allah karena sesungguhnya itulah tujuan penciptaan.
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk kebaikan-Ku sendiri. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan hidup mereka adalah beribadah kepada-Ku karena ibadah itu pasti bermanfaat bagi mereka. Aku menciptakan manusia dan jin hanya agar mereka beribadah, bukan agar mereka memberi balasan apa pun kepada-ku. Aku tidak menghendaki rezeki atau balasan sedikit pun dari mereka dan aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-ku, seperti halnya mereka memberi sesajian kepada dewa atau tuhan yang mereka sembah (pagan).”
Jadi penghambaan dan ibadah kepada Allah bukan karena Allah yang butuh tapi karena manusialah yang harus banyak bersyukur. Analogi sederhananya ibarat anak kepada orang tua tanpa disuruh karena memang orang tua tidak pernah menuntut untuk berbakti apalagi sampai meminta balasan materi kepada anak, tapi anak yang baik akan memberikan bakti terbaiknya kepada orang tua karena telah membesarkan dan mengasuh mereka.
Itu kepada sesama manusia, apalagi kepada Allah, Tuhan maha pencipta yang telah memberikan banyak karunia dan kehidupan.
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa manusia itu akan selamanya berada pada kegelapan selama dia tidak beribadah kepada Allah. Sebaliknya dia akan mendapatkan terangnya kehidupan saat dia terhubung dengan Allah SWT melalui ibadah dan penghambaan.
Jadi jelas bahwa ibadah adalah merupakan hakekat dari eksistensi manusia. Dan meninggalkan ibadah seperti sholat adalah pembangkangan yang amat nyata terhadap Allah, ujar Abu A’la Al-Maududi.
Di akhirat nanti tugas ibadah ini akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah sebagai konsekwensi logis bahwa kehidupan tidak ada yang sia-sia (maa khalaqta hadza bathila).
Sebagai bentuk kasih sayang Allah melalui lisan Baginda Nabi memberikan gambaran bahwa nanti di akhirat akan ada empat jenis kelompok dan beserta alasannya masing-masing, serta hujjah Allah dalam membantah alasan mereka.
Dalam kita Nashaihul Ibad karangan Ibnu Hajar Al Asqalani terdapat hadits, Nabi ﷺ yang artinya: “Pada hari kiamat kelak Allah akan berhujjah menjadikan 4 orang nabi sebagai alasan untuk menghakimi 4 golongan manusia sebagai berikut:
Hujjah Allah dengan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam:
Allah akan berhujjah kepada orang-orang kaya dengan nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Allah bertanya kepada mereka: Mengapa kalian meninggalkan ibadah kepadaKu? Jika mereka menjawab: “Kami sibuk dengan harta”. Maka Allah berhujjah: “Adakah kerajaan yang lebih besar dan orang yang lebih kaya dari Nabi Sulaiman ‘alaihissalam? Namun Nabi tidak meninggalkan ibadah kepadaKu.
Hujjah Allah dengan Nabi Yusuf ‘alaihissalam:
Allah akan berhujjah kepada hamba sahaya dengan Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Allah bertanya kepada mereka: Mengapa kalian meninggalkan ibadah kepadaKu? Jika mereka menjawab : “Kami sibuk melayani majikan kami.” Maka Allah berhujjah : Hambaku Nabi Yusuf adalah seorang budak dari raja Mesir dan permaisurinya, namun ia tetap beribadah padaKu.
Hujjah Allah dengan Nabi Ayub ‘alaihissalam:
Allah akan berhujjah kepada orang orang yang sakit dengan nabi Ayub ‘alaihissalam. Allah bertanya: Mengapa kalian meninggalkan ibadah kepadaKu? Jika mereka menjawab: “kami sakit,” maka Allah berhujjah: Hambaku nabi Ayub As juga pernah sakit sangat parah, namun ia tidak meninggalkan ibadah.
Hujjah Allah dengan Nabi Isa ‘alaihissalam:
Allah akan berhujjah kepada orang-orang fakir dengan nabi Isa ‘alaihissalam. Allah bertanya: Mengapa kalian meninggalkan ibadah kepadaKu? jika mereka menjawab: “Kami telah disibukkan dengan susahnya kefakiran hidup”, maka Allah berhujjah: Hambaku nabi Isa As adalah orang yang paling fakir di muka bumi ini, dia tidak memiliki sesuatu dari dunia ini, dia tidak memiliki tempat tinggal, harta dan istri, namun dia tidak meninggalkan ibadah kepadaKu.
Perlu kita fahami bahwa Allah berhujjah bukan karena Allah tidak kuasa untuk menghakimi hamba-Nya, justru hal ini sangat rasional bahwa Allah maha adil dan bijaksana. Dan inilah kebenaran karena antara teks hadits di atas sesuai dengan fakta yang ada bahwa kebanyakan manusia tanpa terkecuali muslim sekalipun terkadang lalai dengan empat keadaan di atas sehingga disebut golongan berarti banyak.
Jadi agar kita selamat maka hendaknya hadits di atas menjadi panduan cerdas dalam mengelola kehidupan agar senantiasa tetap pada orientasi utama yakni ibadah kepada Allah. Jika Allah beri harta kekayaan dan jabatan maka tetaplah rendah diri dan ibadah kepada Allah.
Jika sebagai hamba sahaya, kerja pada majikan, kerja pada satu perusahaan, penjaga toko dan lainlainnya tetaplah jaga ibadah kepada Allah. Selanjutnya andai Allah beri ujian jangankan yang hanya beberapa hari, lama sekalipun seperti Nabi Ayyub tetaplah sholat sesuai dengan kemampuan dan yang terkahir kondisi miskin seperti apapun tetaplah jaga ibadah kepada Allah terutama sholat.
Jangan sampai di dunia sudahlah miskin di akhirat kelak mendapat siksa karena meninggalkan ibadah kepada Allah. Tapi mejalani hidup miskin sebagai jalan terbaik menurut Allah lalu tetap istiqomah dengan ibadah maka insya Allah janji kebahagiaan dan kekayaan di akhirat akan didapat. Allahu A’lam.*/ Mohammad Ramli