Dalam pandangan Islam kepemimpinan merupakan faktor penting untuk mengatur kehidupan bersama
Oleh: KH. Ainul Yaqin
Hidayatullah.com | RAMADHAN adalah bulan yang diistimewakan oleh Allah, merupakan salah satu dari waktu-waktu istimewa yang disediakan secara berkala agar manusia mau melakukan perbaikan diri.
Ramadhan dapat disebut juga sebagai bulan pelatihan, karena manusia ditempa terutama dengan ibadah puasa agar kelak paska Ramadhan kembali menempuh jalan taqwa (lurus) dan meninggalkan jalan fujur (bengkok).
Sebagai bulan pelatihan, di bulan Ramadhan terdapat banyak fasilitas yang lebih dari bulan lainnya, seperti dilipatgandakan pahala amal kebajikan yang dilakukan di dalamnya, dibelenggunya setan, ditutupnya pintu neraka, dibukanya pintu surga, dan disediakan Lailatul Qodar.
Bahkan amaliyah yang bersifat mubah bisa dinilai sebagai ibadah, seperti tidurnya orang yang berpuasa karena lelah dikategorikan sebagai ibadah yang sebenarnya di hari biasa adalah perkara mubah.
Pada bulan Ramadhan pulalah al-Qur’an diturunkan. Sebagimana diungkapkan dalam al-Qur’an.
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ
“Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an yang merupakan petunjuk bagi manusia serta penerangan yang merupakan petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang batil.” (QS: Al-Baqarah [2]: 185).
Betapa eratnya momen Ramadhan dengan al-Qur’an, di bulan ini ada dua Nuzul Al-Qur’an, pertama al-Qur’an diturunkan dari Lauh al-Mahfudz ke Bait al-Izzah langit dunia, tepatnya pada malam al-Qadar. Kedua, di bulan ini pula surat pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui perantara malaikat Jibril yakni lima ayat pertama dalam QS. al-Alaq, tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan.
Tanggal turunnya surat pertama adalah sama dengan tanggal terjadinya perang Badar atau yauma l-taqa al-jam’aan, tetapi di tahun yang berbeda, sebagaimana diinformasikan dalam QS. al-Anfal [8] ayat 41. Hadirnya bulan Ramadhan setiap tahun mengingatkan manusia agar selalu berpegang teguh pada al-Qur’an. Maka saatnyalah memperbanyak tadarrus al-Qur’an, disamping membaca secara tartil juga mengkaji isi kandungannya.
Turunnya al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah rahmat Allah untuk semua manusia, kemudian Allah menyerukan kepada manusia agar menyambut rahmat-Nya.
Allah berfirman:
وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ مُبَارَكٌ فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُوا۟ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS: Al-An’am [6]: 155).
Maka Allah mengecam orang-orang yang mengingkari rahmat-Nya itu. Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling.”(QS: Al-An’am [6]: 157).
Rahmat artinya kasih sayang. Allah mengasihi dan menyayangi hamba-Nya dengan menurunkan pentunjuk disertai dengan mengutus Rasul-Nya untuk menjelaskan petunjuk-Nya itu agar manusia memperoleh kebahagiaan hidup yang paripurna di dunia dan di akhirat.
Karena itulah al-Qur’an bersama dengan penjelasan-penjelasan dari Nabi ﷺ berupa ucapan, tindakan, ataupun persetujuan beliau yang semua disebut al-sunnah, merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an dan al-Sunnah melahirkan aturan-aturan yang disebut syariat Islam yang dengannya manusia mengatur bagaimana berinteraksi dengan Tuhannya, berinteraksi dengan sesama muslim, berinteraksi dengan sesama manusia, serta berinteraksi dengan alam dan kehidupan.
Al-Qur’an dan al-Sunnah memberikan solusi yang benar dalam menghadapi kehidupan bersama pada suatu masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia ini termasuk memberikan rambu-rambu toleransi.
Syariat Islam dan kepemimpinan
Syari’at Islam juga memberikan rambu-rambu memilih pemimpin. Saat ini di tengah-tengan bangsa ini sedang mempersiapkan menghadapi suksesi nasional serta pada saat yang sama juga mempersiapkan pemilihan umum kepala daerah, umat Islam perlu memahami tuntunan Islam dalam soal kepemimpinan.
Dalam pandangan Islam kepemimpinan merupakan faktor penting untuk mengatur kehidupan bersama. Jangankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam lingkup yang kecil saja seperti kehidupan keluarga menuntut adanya kepemimpinan.
Dalam kehidupan keluarga, suami adalah pemimpinnya. Rasulullah ﷺ menyampaikan, suami bertanggungjawab dalam menjalankan kepemimpinan di keluarganya.
Bahkan pada saat bepergian bersama-sama pun menuntut adanya pemimpin. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud disampaikan: “Apabila ada tiga orang yg keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin”.
Atas dasar itulah para ulama telah berijma bahwa mewujudkan kepemimpinan dalam kehidupan bersama merupakan kewajiban agama. Al-Mawardi (1989:3) menyampaikan bahwa kepemimpinan (al-Imamah) merupakan tempat penggantian kenabian dalam memelihara agama dan mengatur kehidupan di dunia, memilih orang yang menduduki kepemimpinan tersebut di tengah-tengah kehidupan hukumnya adalah wajib berdasarkan ijma’.
Senada dengan itu, Ibnu Taimiyah dalam karyanya al-Siyasah al-Syar’iyah (1983: 138) menyampaikan: “Wajib diketahui bahwa kekuasaan untuk mengatur urusan manusia termasuk sebesar-besar kewajiban agama. Bahkan urusan agama dan dunia tak akan tegak tanpa adanya pemimpin”.
Ibnu Taimiyah beralasan tidak akan sempurna kemaslahatan manusia kecuali dengan menjalin interaksi dalam kehidupan bersama karena adanya kebutuhan satu sama lain, untuk itulah perlu ada pemimpin yang bisa mengatur dalam berinteraksi tersebut.
Sedemikian penting kehadiran kepemimpinan, sampai-sampai Ibnu Taimiyah (1983: 139) menggunakan bahasa hiperbola menyampaikan, “Enam puluh tahun dengan pemimpin yang sewenang-wenang masih lebih baik dari pada semalam saja tanpa pemimpin”. Ungkapan ini tidak berarti setuju dengan kehadiran calon pemimpin yang dzalim. Ibnu Taimiyah pun mengutip hadits Nabi ﷺ yang artinya:
“Barangsiapa memilih seorang pemimpin padahal ia tahu ada orang lain yang lebih pantas untuk dijadikan pemimpin dan lebih faham terhadap kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan semua orang beriman.” (HR: al-Thabrani).
Ungkapan hadits tersebut menegaskan adanya kewajiban memilih orang yang terbaik untuk menjadi pemimpin. Memilih pemimpin terbaik adalah menyerahkan urusan kepada orang yang memiliki kompetensi.
Rasulullah ﷺ juga menyampaikan, menyerahkan urusan sesuatu kepada orang yang bukan ahlinya adalah sama dengan menunggu kehancuran.
Al-Qur’an menyampaikan dalam banyak ayat, bahwa diantara kriteria utama calon pemimpin yang bisa dipilih adalah orang yang seiman. QS. al-Ma’idah [5]: 51 menegaskan larangan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani menjadi awliya. Dengan pesan yang hampir sama QS. Ali Imran [3]: 28 menegaskan larangan bagi kaum mukmin menjadikan orang kafir menjadi awliya.
Kata awliya bentuk jamak dari kata wali, bisa bermakna orang kepercayaan, orang dekat, atau orang yang dipercaya diserahi urusan yang termasuk di dalamnya pemimpin.
Jika dengan pemahaman menggunakan qiyas awlawiyat, menjadikan orang kafir sebagai teman dekat tidak diperbolehkan, maka lebih tidak diperbolehkan lagi menjadikannya sebagai pemimpin, karena pemimpin adalah orang yang diserahi untuk mengurus berbagai urusan yang akan memberikan kemaslahatan umat.
Dalam pandangan Islam peran pemimpin dalam hal ini adalah untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Karena itu yang pantas dipilih tidak sekadar seiman, pemimpin ideal adalah orang yang cakap, amanah, dan dapat dipercaya.
Merujuk pada kepemimpinan Nabi ﷺ, kriteria pemimpin yang layak dipilih adalah yang mempunyai sifat siddiq, amanah, tabligh dan fathanah.*
Ketua MUI Jatim