FULAN, bukan nama sebenarnya. Dua bulan sudah menyelenggarakan tahun ke 46. Bertepatan itu, rezeqi dari Allah Subhaahu Wata’ala datang padanya, berupa amanah jabatan dan kedudukan yang terhormat. Menjadi salah satu orang terpenting di sebuah perusahaa BUMN ternama di negeri ini. Ia mengaku, lebih 22 tahun, semenjak lulus kuliah ia selalu diberi kelancaran rezeki dan kemudahan. Karirnya meroket hingga kini. Namun Allah mengingatkannya dalam sebuah musibah kecil. Penyumbatan darah yang menyebabkan stroke ringan. Dua minggu istirahat di rumah sakit dia mengaku banyak mendapatkan hikmah.
”Puluhan tahun saya sibuk jungkir balik mengejar dunia, hingga saya lupa asal dan kedudukan saya, “ ujarnya pendek.
Fulan mengaku dibesarkan dari keluarga santri, ayah dan ibunya tokoh agama terkemuka. Namun semenjak memasuki dunia kerja, kedekatan dengan agama seolah makin jauh. Ia mengaku, selalu diberi kemudahan Allah Subhanahu Wata’ala dalam rizki, namun selalu dicoba dengan anak-anak yang susah diatur. Setiap ada teman-teman lamanya datang mengajak untuk meluangkan waktu memikirkan Islam, selalu yang dijawabnya sama. “Kapan-kapan saja deh, kalo saya pensiun. Sekarang masih sibuk.”
Banyak teman-teman lamanya mengaku kecewa. Mereka kecewa, mengapa ia selalu mengelak jika diajak memikirkan masalah-masalah keumatan, bahkan seolah-olah urusan agama hanya menunggu waktu sisa, waktu pensiun.
Ia mengaku bersyukur, baginya dua minggu diistirahatkan Allah untuk merenang kembali tentang kesehatan, jabatan, kedudukan dan semua rezki yang kini diberikan oleh Allah kepadanya. Ia berharap, jika Allah masih mengizinkan, sisa hidupnya digunakan untuk kebaikan dan kemuliaan Islam.
Setiap amanah akan dipertanggungjawabkan
Siapapun dia, sesungguhnya ia tengah mengemban amanah sangat agung. Amanah yang ditolak oleh langit, bumi dan gunung, tetapi manusia bersanggup menerimanya (QS: Al Ahzab: 72). Karena itulah Allah memberikan kepada kita fasilitas nomor wahid, yang tiada diberikan pada makhluk lainnya. Yakni pendengaran, penglihatan dan hati.
Namun apa jadinya, jika ternyata berlimpahnya fasilitas tiada meningkatkan kinerja. Justru sebaliknya, ia lalai, bernikmat-nikmat di atas fasilitas, menggunakan bukan untuk tujuan pelimpahannya. Atau lebih celaka, ia memakai fasilitas untuk melawan kehendak tuannya. Ia telah berkhianat atas amanah yang diembankan kepadanya.
Dan jika analogi di atas kita pakai untuk mengaudit hubungan kita dengan Yang Maha Kuasa, layak kiranya jika kita melempar sebuah tanya. Adakah hamba yang berani mengkhianati Tuhannya? Tiada perlu mendebat, kita menjawab dengan sepakat, tentu saja ada. Bahkan banyak jumlahnya.
Betapa banyak manusia yang menggunakan fasilitas pendengaran, penglihatan, dan kalbunya untuk melawan kehendak Tuhan. Alih-alih bertindak sebagai khalifah dan ‘abdullah, justru ia mendongak berpongah, berlalu lalim lagi serakah.
Sungguh Allah telah mengingatkan kita dalam QS: Al A’raf: 179:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.” [QS: Al A’raf: 179]
Allah menyebut golongan tak tahu diri ini dengan sebutan binatang ternak, bahkan lebih hina lagi. Mengapa demikian? Mari kita renungkan.
Pernahkah pembaca sekalian memelihara hewan, sebutlah ayam misalnya. Jika setiap pagi kita memberi makan ayam tersebut dan memanggilnya dengan panggilan tertentu (siulan contohnya), maka setelah lewat sebulan dua bulan, ayam akan mendatangi kita, ketika bersiul, meskipun bukan jam makan, meskipun bukan di pagi hari. Perilaku ini berlaku hampir pada seluruh hewan seperti anjing, kuda, kerbau, kucing dan lain sebagainya.
Lalu bagaimanakah dengan manusia? Allah bukan saja memberikan makan kepada kita sekali dalam sehari. Karunianya tiada terbilang dengan alat cacah dan alat ukur apapun. Karunianya seutuh bumi dan seluas semesta. Tapi apakah yang kita lakukan ketika Ia memanggil…”Hayya ‘alash sholaaah… Hayya ‘alash sholaaah.” Adakah kita bersegera seperti ayam mendatangi siulan tuannya. Jika tidak, benarlah bahwa kita bahwa sesungguhnya sindiran al-Quran, bahwa selama ini kita (maaf) tidak jauh, bahkan lebih sesat dari binatang ternak.
Hanya kadang kadangkala manusia bersilat lidah membela dirinya. Ia berdalih, menalar untuk membungkan nurani, bahwa yang ia lakukan baik adanya. Membawa mashlahat besar bagi sesama. Padahal Allah Yang Maha Tahu sudah membaca alibinya, sehingga ia mengancam para pelakunya dengan seburuk-buruk siksa,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً
أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْناً
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al Kahfi: 103-105).
Semoga kita bukan masuk bagian golongan yang disindir Allah lebih buruk dari binatang ternak akibat menyia-nyiakan kesempatan, waktu untuk beramal dan mengabdi kepada Allah Subhanahu Wata’ala sehingga hanya ujungnya masuk neraka tanpa sedikitpun amal-amal yang akan mengangkat kita.*/Syamsul Arifin, Sulawesi