ERA global adalah era dunia yang dilipat, demikian istilah seorang pakar. Bagaiaman tidak? Melalui sains dan teknologi, realitas baru membuat orang bisa berhubungan dengan lainnya dari berbagai belahan dunia dalam waktu cepat.
Hanya saja, pada saat yang sama, capaian sains dan teknologi yang dibanggakan itu tidak sedikit yang menimbulkan problem bagi kehidupan. Tidak terkecuali dalam soal mendidik anak.
Sering kita dengar keluhan orang tua, “Saat ibu dan ayah seusiamu, shalat sudah gak perlu disuruh-suruh lagi.” Ada juga, “Ketika kami dulu dipanggil orang tua, tidak pernah kami menunda apalagi asyik bermain hape.”
Ungkapan tersebut adalah wujud dari rasa kecele banyak orang tua terhadap perilaku anak-anaknya. Tetapi, inti permasalahannya adalah, apakah kita sebagai orang tua telah melakukan evaluasi diri, sehingga muncul kesadaran bahwa dari orang tualah perubahan atas perilaku anak itu mesti dimulai.
Tidak sedikit orang tua memudahkan persoalan seolah anak dengan sendirinya akan sadar dan memahami, kemudian menjadi baik layaknya dirinya sendiri, sehingga tidak sedikit di antara pasangan suami istri merasa cukup hanya dengan menyekolahkan anak-anaknya dan mohon maaf agak abai dalam membina mereka secara mental di dalam rumah.
Padahal, kalau kita telusuri di dalam Al-Quran, sumber utama pendidikan anak itu tidak lain adalah orang tuanya sendiri, bukan sekolah atau orang lain.
Mari kita simak beberapa fakta tentang bagaimana orang tua mendidik anak-anaknya.
Pertama, mendengar dengan sangat antusias dan merespon dengan penuh kesungguhan. Keteladanan seperti itu diberikan oleh Nabi Ya’kub terhadap putranya Nabi Yusuf Alayhimassalam.
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَباً وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” (QS. Yusuf [12]: 4).
Mendengar ucapan putranya yang sesungguhnya cukup belia itu, beliau merespon dengan sangat serius.
قَالَ يَا بُنَيَّ لاَ تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُواْ لَكَ كَيْداً إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإِنسَانِ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Yusuf [12]: 5).
Kalau kita dalami, dari dialog inilah sebenarnya kisah mengagumkan Nabi Yusuf Alayhissalam dimulai. Ya, dari sebuah dialog yang menunjukkan perhatian dan antusisasme seorang ayah terhadap ucapan anaknya.
Pelajaran yang bisa kita petik di antaranya adalah untuk membuat anak mendengar kemudian yakin dengan nasehat orang tuanya, maka hal utama yang mesti dilakukan oleh orang tua adalah bersungguh-sungguh mendengarkan ucapan, ungkapan, kisah, atau pun keluhan anak-anaknya. Apalagi ketika anak sudah menginjak usia remaja. Yang apabila orang tua gagal menjadi “pendengar yang baik” mereka akan berkeluh kesah di media sosial.
Kedua, terus-menerus menanamkan tauhid kepada anak. Hal inilah yang dicontohkan oleh Luqman Al-Hakim.
Dimulai ajaran agar anak tidak mensekutukan Allah, kemudian pemantaban keyakinan bahwa segala amal perbuatan pasti akan dibalas oleh Allah, meski amal perbuatan itu seberat biji sawi dalam bentuk kebaikan atau pun keburukan, semua Allah hitung dan akan diberikan balasan.
Selanjutnya, Luqman Al-Hakim menekankan pentingnya mendirikan shalat sepanjang hidup dan amar ma’ruf nahyi munkar dan bersabar atas apa yang menimpa diri. Jangan menjadi pribadi sombong dan berlemah lembutlah dalam berbicara. Demikianlah perkara penting yang diteladankan Luqman Al-Hakim yang termaktub di dalam Al-Quran dari ayat ke 13 hingga ayat ke 19.
Ketiga, mendoakan anak-anak untuk komitmen pada perkara-perkara asasi, seperti tauhid dan shalat. Demikianlah yang diteladankan Nabiyullah Ibrahim Alayhissalam.
رَبِّ ٱجۡعَلۡنِي مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِيۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلۡ دُعَآءِ ٤٠
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim [14]: 40).
Keempat, terus memastikan tauhid anak-anak, meskipun mereka sudah dewasa, berkeluarga dan memiliki keturunan. Demikianlah yang diteladankan oleh Nabiyullah Ya’qub Alayhissalam.
أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah (2): 133).
Pertanyaan Nabi Ya’qub tersebut menunjukkan bahwa komitmen dalam tauhid itu tidak mudah, mesti terus diawasi. Setidaknya, jangan sampai dalam hal mencari rizki anak-anak kita menerabas ketentuan syariat, meninggalkan shalat, menghalalkan segala cara yang pada akhirnya merusak aqidah dan ketauhidan mereka kepada Allah Ta’ala, sehingga yang sejatinya disembah bukan lagi Allah Ta’ala, tetapi kedudukan dan kekayaan.
Demikianlah Al-Qur’an memaparkan tentang bagaimana orang tua mendidik putra-putrinya. Dengan kata lain, seperti itulah Al-Qur’an mengidamkan setiap orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Mungkin tidak mudah, tetapi di situlah hikmah perintah mujahadah yang jika terus diupayakan akan berbuah jannah. Wallahu a’lam.*