Ulama itu dipenjara karena mencegah agar minyak yang ia beli secara kredit tidak dijual ke orang lain
Hidayatullah.com | MUHAMMAD bin Sirin atau dikenal Ibnu Sirin, seorang tabi’in ini dan dikenal ulama ternama di Basrah. Beliau sangat dihormati karena kedalaman ilmunya, kemuliaan, kesungguhan ibadah dan pesona akhlaknya.
Ibnu Sirin juga sangat dihormati oleh para pemimpin muslim saat itu. Namun, ia sangat menjaga diri dari mereka. Beliau seorang ahli fikih yang takut berdekatan dengan penguasa.
Suatu ketika, ‘Umar bin Hubairah al-Fazary, seorang tokoh besar Bani Umayyah dan penguasa kawasan Iraq memberinya hadiah 3.000 dinar. Namun, Ibnu Sirin menolaknya.
Beliau lebih memilih berdagang untuk mendapatkan rezeki yang halal. Sayangnya, peristiwa buruk membuatnya menghadapi cobaan berat.
Suatu hari beliau membeli minyak secara kredit senilai 40.000 dinar. Tatkala dia membuka salah satu tutup minyak yang terbuat dari kulit itu, beliau mendapati seekor tikur yang mati dan membusuk.
“Sesungguhnya semua minyak ini berasal dari satu tempat penyaringan. Najis yang ada bukan hanya ada di dalam satu wadah ini saja. Jika, aku kembalikan kepada si penjual karena alasan ada aibnya, barangkali saja dia akan menjualnya lagi kepada orang lain,” kemudian beliau menumpahkan semuanya.
Hal yang tidak diinginkan terjadi. Saat beliau mengalami kerugian besar sehingga dililit hutang, pemilik minyak itu menagih uangnya.
Sang pemilik mengadukan Ibnu Sirin ke penguasa. Dan ulama kharismatik itupun kemudian dipenjara.
Saat mendekam di penjara, seorang penjaga penjara merasa kasihan terhadapnya.
“Wahai Syaikh, jika malam tiba pulanglah engkau ke rumahmu dan bermalamlah di sana. Jika pagi menjelang, kembalilah ke sini. Lakukanlah begitu hingga engkau dibebaskan.”
“Tidak!” jawab Ibnu Sirin tegas. “Aku tidak akan melakukan hal itu. Jika kulakukan itu, berarti aku membantumu untuk melakukan pengkhianatan.”
Ketika Anas bin Malik RA., dekat ajalnya, beliau berwasiat agar yang memandikan dan mengimami shalat atasnya adalah Muhammad bin Sirin yang saat itu masih di penjara. Tatkala Anas wafat, orang-orang mendatangi penguasa itu dan memberitakannya perihal wasiat shahabat Rasulullah ﷺ, lalu mereka meminta izinnya agar membiarkan Ibnu bin Sirin ikut dikeluarkan untuk memandikan.
“Aku tidak akan keluar hingga kalian meminta izin juga kepada si tukang minyak sebab aku dipenjara hanya karena ada hutang yang aku harus bayar kepadanya,” kata Ibnu Sirin. Dan si tukang minyakpun mengizinkannya.
Setelah memandikan, mengkafani dan memakamkan Anas RA, beliau kembali ke penjara sebagaimana biasanya dan bahkan tidak sempat menjenguk keluarganya sendiri di rumah.
Hafshoh bintu Rasyid, seorang wanita ahli ‘ibadah bercerita. “Adalah Marwan al-Mahmaly tetangga kami. Beliau seorang ahli ibadah dan pegiat dalam berbuat ta’at. Ketika wafat, kami sedih luar biasa. Di dalam tidur aku bermimpi melihatnya, lalu aku bertanya kepadanya.”
“Wahai Abu ‘Abdillah, apa yang diperbuat Rabbmu terhadapmu.?’
“Allah telah memasukkanku ke dalam Surga, “ jawabnya.
“Lalu apa lagi?
“Lalu aku dinaikkan untuk bertemu Ash-habul Yamin (Golongan kanan, ahli Surga),” jawabnya lagi.
“Kemudian apa lagi?’ tanyaku lagi.
“Kemudian aku dinaikkan lagi untuk bertemu al-Muqarrabun (Generasi awal).”
“Siapa saja yang engkau lihat ada di sana.?’ Tanyaku lagi.
“Ada al-Hasan al-Bashary dan Muhammad bin Sirin…,” jawabnya.*