هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS: Al-Jumuah [62]: 2).
DALAM tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) mengutus Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw) dengan membawa syari’at yang agung.
Di dalamya terdapat petunjuk dan penjelasan segala sesuatu yang mereka butuhkan, baik yang menyangkut kehidupan dunia maupun akhirat. Sekaligus mengajak kepada amalan yang mendekatkan mereka kepada surga dan keridhaan Allah.
Senada, Syeikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di memaparkan, setelah pembelajaran dan penyucian itu, mereka akan menjadi manusia paling berilmu, manusia yang berakhlak baik, dan yang paling baik petunjuk dan jalannya.
Salah satu misi besar Rasulullah adalah menyempurnakan akhlak. Dengannya Nabi mengadakan kegiatan tazkiah dan taklim untuk umatnya. Sebagai titah langsung dari Allah, misi mulia tersebut menjadi kewajiban yang harus ditunaikan dengan benar.
Olehnya, diketahui bahwa kegiatan tazkiyah dan taklim bukan hanya kewajiban Nabi atau ulama sebagai waratsah al-anbiya (pewaris Nabi). Tapi juga mencakup kewajiban bagi setiap Muslim, sebagai orangtua, teman, saudara dan sebagainya.
Bahwa seorang Muslim wajib berdakwah dan mengajak kepada kebaikan, mencegah dari keburukan serta saling menasihati dalam kesabaran.
Imam al-Ghazali dalam Kitabnya Ayyuhal Walad menetapkan makna taklim adalah ibarat seorang petani yang mencabut duri dan membuang tanaman asing yang mengganggu tanamannya agar tumbuhan tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik. Inilah keistimewaan seorang pendidik dan pendakwah kebaikan.
Misi mulia tersebut harus sungguh-sungguh dijalankan oleh seorang guru. Olehnya jangan pernah menganggap remeh tugas seorang guru atau pendidik. Sebagaimana jangan sampai di antara Muslim yang merasa minder dan malu melaksanakan kewajiban tersebut.
Meski demikian, tugas selaku pendidik tidaklah bisa dikatakan mudah. Tugas guru atau pendidik tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja, tetapi juga transformasi nilai serta adab kepada murid-muridnya. Guru tak cuma diminta berbagi wawasan dan teori semata tapi juga dituntut adanya keteladanan yang mutlak. Sebagai figur yang sempurna, Rasulullah telah menampilkan akhlak karimah. Sebuah teladan yang mesti jadi panutan buat siapa saja yang menjadi pendidik hari ini.
Untuk itu, mengapa seorang Muslim harus minder menjadi seorang pendidik, sedang perintah tersebut adalah misi mulia, sebagaimana Nabi ketika mendidik sahabat dan generasi orang-orang shaleh terdahulu.
Mengapa pula harus malu, sedang kewajiban tersebut adalah perintah mutlak yang berlaku bagi siapa saja. Dengannya seorang Muslim akan beroleh ganjaran pahala ajrun ghairu mamnun (pahala yang tak pernah putus).
Terakhir, mari bersiap sejak dini menjadi pendidik yang baik. Pendidik yang punya kompetensi yang mumpuni dan bekal ruhani yang kuat serta adab yang menghias setiap perkataan dan perbuatan dia nantinya.*/Arsyis Musyahadah, seorang pengajar