Bersambung artikel PERTAMA
Kedua. Nilai silaturahim
Silaturahim berarti menghubungkan kasih sayang sebagaimana berkasih sayangnya sesama saudara kandung. Manusia berasal dari satu nenek moyang Adam dan Hawa, tetapi karena begitu jauhnya masa dan begitu telah banyaknya perkembang biakan manusia, maka seakan yang satu dengan yang lain berasal dari nenek moyang yang berbeda. Karena itu dengan perkawinan diingatkan lagi akan satu nenek moyang manusia. (An Nisa:1)
Pernikahan dalam Islam bukan hanya mengikat hubungan suami istri tetapi juga mengikat persaudaraan antar kedua keluarga besar. Sehingga memperluas tali kekerabatan antara anak menantu dengan mertua, adik ipar, paman, dan keponakan. Sehingga nabi ketika menasihati calon mempelai membacakan surat Al-quran surat An Nisa ayat pertama.
Ketiga. Nilai gotong royong dan tolong menolong
Dimanapun perkawinan dilaksanakan maka disana nilai-nilai gotong royong dan tolong menolong diterapkan. Dalam Islam pernikahan diikuti dengan jamuan makan bagi sanak keluarga, para tetangga dan terutama kaum fakir miskin yang disebut dengan al walimah. Pada beberapa tempat di masyarakat Indonesia mengenal tradisi arisan pernikahan dan arisan kematian yang disebut pagetan dalam rangka meringankan beban hajatan. Walaupun kemudian nilai-nilai luhur ini banyak tergerus dengan budaya materialistis sehingga bergeser kepada motif komersil dan ekonomis.
Keempat. Nilai musyawarah
Setiap masalah penting yang menyangkut kehidupan individu dan masyarakat dalam Islam diperintahkan untuk dilakukan melalui musyawarah. Dengan tegas Al Quran menyatakan, “Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imra :59) dan “Urusan mereka senantiasa dimusyawarahkan di antara mereka” (Asy Syura: 38). Bahkan dalam masalah persengketaan antara suami dan istri tentang biaya pengasuhan anak jika terjadi perceraian dalam kondisi hamil dan punya anak kecil, Al Quran menyuruh suami istri untuk “bermuktamar dengan cara yang makruf” (Ath Thalaq: 6 )
Kelima. Nilai ishlah atau menempuh cara perdamaian dalam menyelesaikan setiap konflik
Baik itu konflik besar yang menjurus peperangan antar dan internal suatu bangsa seperti yang disebutkan dalam surat Al Hujurat ayat 9, maupun konflik kecil yang menyangkut perpecahan keluarga seperti yang disebutkan dalam surat An Nisa ayat 128.
Keenam. Nilai toleransi dan kerukunan
Masyarakat Indonesia sejak awal kedatangan Islam terbiasa hidup dalam toleransi dan kerukunan. Sebagaimana juga prinsip ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Quran dengan tegas menanamkan toleransi dalam masalah agama sekalipun. Ayat ke 256 surat Al Baqarah menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam urusan agama” adalah turun berkaitan di antaranya dengan seorang sahabat Anshar yang dilaporkan kepada Nabi ia memaksa keluarganya untuk memeluk agam Islam. Pada saat yang sama Al Quran juga memerintahkan bergaul dengan baik dan berlaku santun kepada ibu bapak sekalipun mereka berbeda agama dengan anaknya (Luqman : 13).
Ketujuh. Nilai kesetiakawanan dan tanggungjawab sosial yang tercermin dalam perhatian terhadap nasib anak-anak yatim dan orang lanjut usia
Banyaknya berdiri rumah yatim dan panti asuhan merupakan salah satu bukti terserapnya nilai agama yang mengajarkan kecintaan dan kepedulian terhadap sesama terlebih kepada kaum lemah. Al-Quran dan hadits nabi banyak sekali mengingatkan kewajiban menolong anak yatim dan orang tua yang lemah. Nilai kesetiakawanan, kepedulian dan sikap berbagi dengan orang lain dilembagakan dalam Islam dalam bentuk kewajiban menunaikan zakat, tuntutan bersedekah, infaq, wakaf, berqurban dan berwasiat.
Semua nilai-nilai Islami di atas tidak dapat dipungkiri telah melembaga dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, dan dapat dipastikan berperan besar dalam mengarahkan masyarakat Indonesia untuk mencapai kehidupan keluarga yang lebih baik dan berkualitas.
Menurut UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Pasal 1 angka 10 dan 11 disebutkan “Keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasar perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggungjawab, harmonis, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”. “Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik material guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir batin”.
Semua kriteria keluarga berkualitas dan ketahanan keluarga yang disebutkan pada Pasal 1 Penjelasan Umum UU/52/2009 di atas, secara substansi telah terdapat dalam konsep keluarga samara dan hayatan thayibah menurut ajaran Islam. Hanya saja pada tataran praktis nampaknya baru dua aspek yang dapat tersosialisasi reatif lebih merata pada keluarga Indonesia, yaitu bahwa keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang dibangun di atas ikatan perkawinan yang sah, bukan kumpul kebo atau pergundikan.
Dasar keabsahan pernikahan di Indonesia telah diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan aspek ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai landasan kehidupan berkeluarga.
Karena itu, konsekwensi dari kelompok mayoritas yang ditakdirkan menjadi kaum yang termarjinalkan sejak masa kolonialisasi hingga masa orde baru, keluarga Muslim Indonesia sebagian besarnya masih jauh tertinggal dari umat-umat yang lain dalam banyak bidang kehidupan. Karena itu perlu dirancang suatu pola sosialisasi gerakan pembangunan nasional melalui pendekatan dan gerakan pemikiran keagamaan dengan paradigma baru yang berorentasi tidak hanya kepada penguatan iman dan taqwa dalam makna normatif, tetapi juga diarahkan kepada pemaknaan konseptual dan aplikatif sehingga dapat menopang proses pembangunan keluarga yang berualitas berdasar standar dan kriteria yang diatur dalam undang-undang.
Salah satu sarana terdekat dan sudah tersedia adalah meningkatkan gerakan pemberdayaan ekonomi umat melalui optimalisasi pengelolaan zakat, infaq, sedekah, wakaf dan bahkan dana abadi umat. Selain itu juga tidak kalah pentingnya politik hukum pemerintah harus lebih tegas berpihak kepada kepentingan masyarakat kecil dan keseriusan dalam pengentasan kemiskinan dan penguatan ekonomi kerakyatan. Wallahu alam bishawab.*
Penulis iInisiator MIUMI, Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Pesatuan Islam (PERSIS)